Bodies Bodies Bodies: Mari Bersenang-senang, dengan Darah

Bodies Bodies Bodies

Mari Bersenang-senang, dengan Darah

Oleh: Candra Aditya

 

Dosa utama A24 saat mempromosikan Bodies Bodies Bodies adalah menyebutnya Scream versi modern. Pertama, hanya ada Scream di dunia ini. Dunia tidak perlu Scream berikutnya. Ia melahirkan begitu banyak sekuel dan begitu banyak film yang ter-influence olehnya. Kedua, A24 tidak tahu strength terbesar dari filmnya sendiri. Bodies Bodies Bodies dipasarkan sebagai horor slasher ala Scream padahal ia lebih seperti Euphoria dengan lebih banyak darah (lengkap dengan Charli XCX sebagai pengisi theme song-nya). Bayangkan jika Rue dan kawan-kawan terjebak di tempat yang sama seperti karakter di film ini. Saya tidak kaget kalau salah satu diantara mereka menjadi mayat.

Plot Bodies Bodies Bodies sangat sederhana dan begitu mudah dipahami. Sophie (Amandla Stenberg) dan pacarnya Bee (Maria Bakalova) mengunjungi teman-temannya saat badai mau datang. Term “teman-teman” ini agak berlebihan karena Sophie sendiri sudah terlalu lama tidak berkomunikasi dengan mereka. Group chat mereka lebih sepi daripada Plaza Semanggi dan begitu Sophie datang, penonton bisa melihat dari respons “teman-temannya” kalau kedatangannya tidak diharapkan.

Tapi tentu saja dengan sejarah pertemanan yang panjang dan fakta bahwa mereka Gen-Z yang tidak menyukai konfrontasi, Sophie disambut dengan tangan terbuka. Anak-anak muda ini tentu saja adalah Gen-Z ber-privilege yang bisa menikmati hari mereka di sebuah mansion besar tanpa supervisi orang tua. Makan dan minum tersedia, lengkap dengan narkoba yang lebih banyak daripada barang bukti di kantor polisi.

Kemudian mereka memutuskan bermain Bodies Bodies Bodies. Bayangkan Among Us atau Werewolf. Salah satu dari mereka menjadi pembunuh dan ketika lampu mati, si pembunuh harus menyentuh salah satu manusia dan si manusia akan ditemukan jadi mayat saat lampu menyala. Dan mereka harus menebak siapakah si pembunuh? What could go wrong? 

Of course salah satu dari mereka mati beneran. And they start pointing fingers. Siapakah pembunuhnya? Jordan (Myhal’la Herrold) yang sepertinya punya sejarah dengan Sophie? David (Pete Davidson) yang merupakan sahabat masa kecil Sophie? Emma (Chase Sui Wonders) yang merupakan pacar David dan mantan sahabat Sophie yang menjauh? Alice (Rachel Sennott) yang kelihatannya polos tapi tidak sepolos kelihatannya? Atau mungkin Greg (Lee Pace), pacar Alice yang merupakan satu-satunya orang tua di geng ini? 

***

Memang benar, misteri whodunit di Bodies Bodies Bodies menggerakkan filmnya. Tapi bagi saya sendiri, kenikmatan menonton film ini justru di interaksi antar karakternya. Melihat rahasia demi rahasia terungkap dan, terutama,  bagaimana setiap karakter merespons rahasia tersebut sensasinya melebihi semua adegan gila yang Tom Cruise lakukan di serial Mission:Impossible

Beberapa minggu yang lalu saya sempat bermain Werewolf dengan teman-teman saya. Tenang saja, tidak ada yang meninggal beneran dalam permainan tersebut. Tapi saya melihat bagaimana teman-teman saya begitu serius bermain permainan tersebut, literally sampai berdiri dan berteriak-teriak, saya hanya bisa menyeringai dan membayangkan apa yang terjadi jika kami beneran punya masalah satu sama lain.

Hal itulah yang membuat Bodies Bodies Bodies menurut saya bukan Scream versi baru. Ini sebenarnya adalah investigasi tentang pergaulan anak zaman sekarang dengan kacamata film misteri. Tidak ada jumpscare di film ini. Bagian menakutkan justru ketika dua karakter saling berhadapkan dan memuntahkan fakta demi fakta yang tujuannya untuk menyakiti orang lain.

Kehadiran narkoba dalam Bodies Bodies Bodies juga menurut saya bukan sekedar aksesori. Pengaruh drugs di film ini membuat reaksi karakter-karakternya menjadi meyakinkan. Gelap-gelapan, on drugs dan melihat satu teman kalian mati beneran setelah bermain game? Tidak mengherankan kalau semua orang menjadi paranoia. Bagian paling jenius mungkin ada di ending setelah matahari muncul dan membuat semua orang sober. Jawabannya mungkin tidak akan menyenangkan semua orang tapi menurut saya konklusinya sangat sempurna meskipun lumayan gelap.

Dengan barisan cast yang sungguh ciamik (mereka tidak hanya luar biasa good looking tapi juga bertalenta, bahkan Pete Davidson cocok banget nongkrong disini), Bodies Bodies Bodies juga menawarkan jokes yang sangat lucu kalau Anda adalah seorang Twitter user. Perhatikan dialog ini:

Emma: You’re always gaslighting me. 

David: Gaslight? Shut up. It’s a dumb word.

Emma: Excuse me?

David: Gaslight is one of the most overused words ever to, like, the point of annihilation. Okay? It doesn’t mean anything, other the fact that you read the internet or like, congrats, you have a Twitter account.

Dan itu sebelum Anda berkenalan dengan Alice yang diperankan dengan sempurna oleh Rachel Sennott. Sennott tidak hanya mempunyai comedic timing yang baik tapi setiap ia mengucapkan dialog, rasanya sungguh jujur. Tunggu sampai ia mengucapkan dialog seperti, “He’s a Libra moon! That says a lot.”

Saya tidak akan mengelak kalau setelah Anda menyaksikan Bodies Bodies Bodies dan merasakan sedikit cringe. Film ini memang terlalu kompeten dalam memotret budaya Gen-Z sehingga sensasi cringe itu akan muncul dengan sendirinya. Dan karena keberhasilannya itu, saya percaya kelak ia akan mengikuti Scream menjadi salah satu film remaja horor yang dikenang. Meskipun dalam kasus ini adalah kemahirannya dalam memotret kenihilan Gen-Z.

 

Bodies Bodies Bodies dapat disaksikan di Netflix