Budaya Pop Amerika Akan Habis Disikat Produk-Produk Asia Timur
Pertanyaan ini sedang menghantui Amerika Serikat. Kongres mereka, per 7 Maret lalu mengajukan undang-undang yang ingin melarang perusahaan dan teknologi dari negara-negara asing untuk beroperasi di AS apabila mereka dianggap mengancam keamanan nasional. UU ini ramai dibicarakan karena langsung menyasar TikTok. Namun UU ini sebetulnya menarget negara-negara yang dianggap ‘musuh’ AS, yaitu Tiongkok, Kuba, Iran, Korea Utara, Rusia, dan Venezuela.
Jauh sebelum UU ini meliputi level nasional, pemerintah dan beberapa sekolah dan universitas AS sudah melarang akses TikTok. Pegawai pemerintah tak bisa menginstall atau menonton video TikTok di gawai kerja mereka, sementara pemblokiran di wilayah sekolah dan universitas dilakukan via WiFi. Tapi tak semua media mendukung UU ini. NPR pesimis Kongres bisa memblok TikTok dari AS karena perannya di lanskap kebudayaan masyarakat sudah begitu mendarah daging; The Guardian menuding tindakan ini sebagai kover untuk ‘perang teknologi’ AS dengan Tiongkok. Sentimen yang kurang lebih sama juga disuarakan oleh MIT Technology Review—toh kalau soal panen data pengguna, aplikasi buatan AS juga sudah melakukannya dari dulu.
Sikap antagonis yang dipegang oleh AS terhadap Tiongkok bukan hal yang baru. Pemerintahan Donald Trump pada 2020 lalu berencana memblokir WeChat dan TikTok karena dianggap sebagai ‘ancaman terhadap keamanan publik’ dan ‘menghalangi Tiongkok untuk menyebarkan propaganda’. TikTok dan WeChat boleh terus beroperasi kalau mereka menjual saham mereka ke AS. Sebagai perlawanan, TikTok menuntut balik pemerintah AS. Pada 2022, AS melarang impor dari Xinjiang karena tuduhan perbudakan etnis Uyghur.
Raksasa Baru dari Timur
Dari ketakutan penyadapan data, tindakan yang dilakukan untuk menolak diskriminasi dan perbudakan, dan segudang alasan lainnya sebenarnya menunjukkan bahwa AS sadar pengaruh soft power mereka mulai melemah. Kalau invasi adalah hard power mereka, maka invasi dan kebudayaan pop ialah soft power-nya. Sebagai negara dengan sejarah disrupsi teknologi dan kebudayaan yang panjang, AS kerap menggunakannya untuk menarik sekutu-sekutu baru.
Sayang, pengaruh AS di aspek ini semakin melemah. Dalam bidang teknologi, penemuan teknologi AS yang benar-benar merevolusi bagaimana kita berkomunikasi adalah iPhone, diikuti dengan iPad. Lalu diikuti dengan Friendster, yang kemudian melahirkan Facebook, Twitter, dan Instagram. Soal kebudayaan pop, ada Marvel, DC Comics, Universal Pictures, Paramount Pictures, Warner Bros, dan sederet nama besar lainnya. Produk terpopuler mereka? Pahlawan super.
Inovasi besar-besaran ini begitu terasa pada 2000-2010 awal. Orang-orang menggunakan gawai dan akun media sosial mereka layaknya mainan baru. Film-film pahlawan super sedang ramai-ramainya di bioskop; fans dan penonton kasual tak sabar menunggu kelanjutan cerita pahlawan kesukaan mereka. Optimisme menguar di udara—setelah berhasil menaklukkan resesi global, inovator-inovator baru muncul untuk membuat hidup kita lebih mudah. Kira-kira penemuan apa lagi yang akan muncul di 2-3 tahun ke depan?
Setelah iPhone, media sosial, dan adaptasi film Marvel, kemajuan teknologi dan kebudayaan populer mendadak mandeg. Yang berkembang dari iPhone hanya ukuran layar, jumlah kamera, dan harganya. Film-film Marvel semakin ke sini mulai kehilangan hype-nya karena alur plot—atau dalam istilah mereka, timeline dan phase—yang semakin tak karuan. Film DC dan Android buatan AS yang digadang-gadang bisa menjadi kompetitor dalam hal inovasi tidak kunjung mengubah status quo.
Di sini industri Asia Timur mulai masuk. Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong ternyata bisa membuat produk budaya yang jauh lebih menarik dengan kualitas mumpuni.
Sudah lama budaya populer Barat masuk ke masyarakat Asia, berawal dari operasi-operasi militer pada 1920-1960an. Salah satu dampak operasi-operasi ini adalah dorongan bagi masyarakat untuk mencampur yang lokal dengan yang asing. Salah satunya adalah musik trot dari Korea Selatan yang kembali digandrungi anak-anak muda. Gempuran film dan animasi Hollywood dan Eropa juga berandil dalam pembentukan anime Jepang dan film aksi Tiongkok dan Hongkong.
Lalu muncullah negeri-negeri jiran yang menjadi penikmat kedua—yang pertama tentu saja warga lokal sana. Polanya: produk pop terkenal di negara asal lalu diekspor ke negeri-negeri jiran, yang kelak mulai tertarik dengan produk lainnya dan melahirkan pasar baru. Tak heran dekade 1990-2000 dipenuhi k-drama, film wuxia, jpop, anime, dan paling terakhir, kpop.
Tiap produk kebudayaan punya masanya sendiri. Pada 1989, Akira (1988) memenangkan penghargaan di Berlin International Film Festival. Setahun selanjutnya ditandai dengan kejayaan film dan musik Hong Kong—dari yang aksi a la John Woo, Tsui Hark, dan Ringo Lam sampai genre alternatif seperti besutan Wong Kar Wai dan Clara Law. Di dekade yang sama, tepatnya pada 1996, Walt Disney Studio memperoleh hak untuk mendistribusi dan menerjemahkan semua film Ghibli, secara efektif memperkenalkan kekayaan animasi Jepang ke dunia.
Korea Selatan terhitung terlambat dalam memasuki kancah budaya pop internasional. Tak mengherankan mengingat negara ini baru saja pulih dari guncangan ekonomi besar. Pada 1997, Korea Selatan terpaksa meminjam 57 miliar dolar AS ke IMF karena ekonominya—yang baru saja menggeliat—hancur diterpa krisis ekonomi global. Alih-alih terus terpuruk, mantan presiden Kim Dae-jung memutuskan untuk memfokuskan sumber daya ke industri baru.
Industri ini tak lain dan tak bukan adalah industri hiburan. Pemantiknya? Pertama jelas, keinginan untuk melakukan ‘rebranding’ supaya investor mau kembali. Kedua, sang mantan presiden terinspirasi dengan kesuksesan AS dan Inggris di bidang musik dan film. Ia yakin Korsel bisa mereplikasi kesuksesan budaya industri kedua raksasa tersebut. Kemuakan terhadap gempuran kebudayaan pop Jepang juga menjadi motor penggerak. Lagi-lagi bukti bahwa dendam menahun bisa menjadi motivator dahsyat.
Membangun kerajaan budaya pop bukanlah hal yang mudah. Tapi lewat perencanaan jangka panjang, inovasi, dan adaptasi terhadap tren global membuat Korsel bisa menjadi raja baru kultur pop Asia Timur. Jepang mencoba untuk meniru kesuksesan hallyu lewat Cool Japan, tapi lagi-lagi gagal total. Ya bagaimana tidak, Korsel punya infrastruktur mumpuni untuk mendukung industrinya. Dari investasi besar-besaran ke internet yang menciptakan kultur siber yang menarik, cepat tanggap dalam menerjemahkan konten-konten mereka ke bahasa Inggris, dan hukum hak cipta yang tidak seketat Jepang.
Perkembangannya bisa dibagi menjadi beberapa gelombang: dari hallyu 1.0 lewat ekspor k-drama ke negara-negara tetangga; hallyu 2.0 yaitu kpop yang diprakarsai oleh BoA, TVXQ, SNSD, Super Junior, dan Wonder Girls; hallyu 3.0 adalah k-culture seperti mempopulerkan bahasa, makanan, dan kebudayaan tradisional Korsel; dan terakhir adalah hallyu 4.0 yang mempopularitaskan k-style—dari gaya pakaian, produk kecantikan, dan gaya makeup a la idola kpop (Kim, 2015).
Kalau Korsel fokus ke soft power, maka Tiongkok bermain di ranah software. Apalagi kalau bukan TikTok, atau versi khusus Tiongkok mereka, Douyin?
Dalam hal inovasi, belum ada yang bisa mengalahkan TikTok. Secara ide, TikTok memang tidak orisinil karena ia mengkopi Vine yang dulunya terkenal karena format video pendek. Tapi bedanya TikTok bisa mengkapitalisasi ide awal Vine dan mengubahnya menjadi jauh lebih baik. Dari segi durasi, TikTok jauh lebih panjang dari Vine yang hanya 6 detik. Platform ini juga menambahkan fitur filter—yang tentu saja diambil dari Snapchat dan Instagram—serta library musik yang lengkap. Pengguna bisa mengunggah ‘sound’ mereka sendiri dan mengedit video mereka dengan CapCut.
Dalam waktu pendek, TikTok bisa meraih status raksasa internet. Bahkan ketika diterpa oleh isu keamanan data dan paranoia di AS dan Uni Eropa, TikTok tetap berjaya. Ia bahkan melakukan berbagai langkah untuk memastikan data-data pengguna “tidak akan diberikan ke rezim otoriter Tiongkok”. Ketakutan akan pengambilan data pengguna yang secara spesifik ditujukan ke TikTok lebih terasa seperti cara AS untuk meredam soft power Tiongkok. Belum lagi raksasa teknologi Instagram dan Facebook sudah merasa cengkraman mereka di ekonomi atensi mulai melemah. Usaha mereka untuk meniru fitur TikTok gagal total.
Pendek kata, kekuatan soft power Asia Timur sulit disetop. Korsel mulai merajai tangga Billboard dan Oscar, Jepang masih punya anime, merchandise, dan pasukan wibu yang tersebar di seluruh dunia, dan TikTok-nya Tiongkok sudah menjelma media sosial paling penting di seluruh jagad maya. Perlahan tapi pasti, pandangan miring dunia Barat terhadap ketiga negara ini mulai sirna. Bagi tiga macan ini, melampaui AS hanya butuh hitungan tahun—atau kalau boleh kelewat optimis, bulanan.