Buka Dulu Topengmu

Anda merasa tidak bahagia di tempat kerja dan ingin resign saat pandemi? Bila ya, bisa jadi karena Anda tidak punya atau kehilangan sahabat di kantor. 

 

Anda mungkin menganggap saya bergurau. Di tengah persoalan dunia kerja yang kompleks–mulai dari durasi jam kerja berlebih sampai gaji di bawah UMR, tak bersahabat dengan rekan kerja memang seolah menjadi persoalan sepele. Tapi data menunjukkan, menjalin persahabatan dengan rekan kerja mempengaruhi kebahagiaan seseorang di tempat kerja, terutama saat pandemi. 

 

Perusahaan konsultan Gallup dalam survei mutakhirnya menemukan 32 persen responden yang menjalin persahabatan dengan rekan kerja puas dengan tempat kerjanya. Tapi, hanya 15 persen responden tanpa persahabatan dengan rekan kerja yang mengaku puas dengan tempat kerjanya. 

 

Kesenjangan itu lebih lebar daripada hasil survei Gallup pada 2019 atau sebelum pandemi. Saat itu persepsi masing-masing kategori responden angkanya 33 persen berbanding 23 persen. 

 

Sejalan dengan hal itu, survei tersebut pun menemukan responden yang menjalin persahabatan dengan rekan kerja cenderung enggan resign saat pandemi. Hanya 37 persen responden kategori ini yang menyatakan sedang mencari pekerjaan di tempat lain. Angka ini lebih rendah dari sebelum pandemi yang mencapai 42 persen. 

 

Sebaliknya, kecenderungan responden yang tak menjalin persahabatan dengan rekan kerja untuk resign justru menguat saat pandemi. Pada 2019, 48 persen responden kategori ini menyatakan sedang mencari pekerjaan di tempat lain. Pada 2022, 49 persen responden kategori ini yang menyatakan demikian.   

 

Malahan, mereka yang menjalin persahabatan rekan kerja cenderung merekomendasikan tempat kerjanya ke orang lain, seperti bisa dilihat di data berikut ini: 

 

 

 

Sobat Kubikel: Bukan Cuma Teman Brunch

 

Pada dasarnya punya sahabat di kantor bukan sekadar memiliki teman makan siang (ini penting juga sih sebetulnya). Lebih dari itu, menjalin persahabatan dengan rekan kerja berarti memiliki orang kepercayaan untuk berbagi hal-hal penting dalam hidup. 

 

Hal itu sebagaimana pendapat Mario Small, profesor sosiologi dari Harvard, manusia selalu butuh bercerita ke orang lain. Sementara itu, dalam bukunya yang berjudul Someone to Talk To (2017) manusia cenderung terbuka kepada orang-orang ada di sekitarnya dan bisa ditemui secara rutin. 

 

Hasil penelitian Jeffrey A. Hall, akademisi Departemen Komunikasi University of Kansas, memperkuat pendapat tersebut. Ia menemukan aktivitas bercakap-cakap dengan orang lain bisa menghilangkan kesepian dan meningkatkan kebahagiaan seseorang, termasuk bercakap dan menjalin pertemanan dengan rekan kerja. 

 

Sepanjang pandemi, pekerja semakin rentan stres, kesepian, dan cemas karena bekerja remote dan hybrid. Pola baru ini mengharuskan pekerja beradaptasi ulang di tengah tanggung jawab kantor yang tetap menumpuk. Belum lagi banyak pekerja yang dibebani tanggung jawab domestik. Para ibu yang bekerja adalah contoh utamanya. Sementara itu, banyak pekerja tak mendapat tunjangan lebih pengasuhan anak

 

Bekerja hybrid pun terbukti menciptakan sejumlah persoalan baru di tempat kerja. Hasil survei Gallup pada Juni 2022 kepada 8.090 pekerja hybrid, menemukan tiga masalah utama yang mereka alami: kurang akses ke sumberdaya dan peralatan kerja (35%), merasa kurang terhubung dengan kultur kantor (32%), dan kolaborasi tim berkurang (30%). 

 

Dalam kondisi semacam itu, pekerja membutuhkan peran sahabat di kantor. Keberadaan sahabat di kantor bisa menjadi pendukung emosional yang membuat pekerja merasa tak sendirian. Karena, mereka saling menjadi cermin satu sama lain. 

 

Ketika pekerja merasa terbebani dengan setumpuk pekerjaan, ia bisa menghindari stres ketika merasa punya rekan senasib sepenanggungan. Setidaknya mereka bisa berbagi solusi yang tepat, mengingat sama-sama tahu duduk persoalan masing-masing. 

 

Selain itu, persahabatan di kantor juga bisa menjadi sumber koneksi. Dalam kerja hybrid, ketika salah satu mendapat giliran kerja di rumah, maka yang bergiliran di kantor bisa menjadi saluran informasi agar tetap terhubung dengan tim mereka. Minimal bisa dapat info mood bos sehingga bisa pekerja bisa mengantisipasi jika si bos sedang nafsu marah-marah. 

 

Sulitnya Menjalin Persahabatan di Kantor

 

Masalahnya, menjalin persahabatan dengan rekan kerja tak mudah. Terutama bagi pekerja baru di masa pandemi. Karena, mereka sangat mungkin langsung bekerja remote atau hybrid. Sehingga, sangat sulit untuk menjalin interaksi dengan rekan kerjanya. 

 

Studi menemukan butuh waktu 200 jam interaksi pertemanan agar bisa berubah menjadi persahabatan. Sementara, data menunjukkan pekerja hybrid lebih banyak bekerja secara independen selama di rumah. Kolaborasi dengan rekan kerja lebih banyak terjadi ketika mereka bekerja di kantor dan itu terbatas. Walhasil, hanya 17 persen pekerja hybrid yang menjalin persahabatan di kantor pada 2022. 

 

 

 

Meski demikian, menjalin persahabatan di kantor tetap bisa dilakukan selama pandemi. Perusahaan bisa menjadi katalis mengeratkan ikatan di antara para karyawannya. Misalnya dengan membuat pelatihan bersama di satu tempat tertentu, seperti yang dilakukan perusahaan konsultan keuangan KPMG kepada 2.800 karyawan magang mereka. 

 

Bisa juga dengan bikin gathering senang-senang. Tak perlu jauh sampai ke luar kota kalau dianggap berisiko secara kesehatan. Karaoke dan ngebir bareng pun cukup. 

 

Pastinya pekerja juga perlu berusaha sendiri menjalin persahabatan dengan rekannya. Bisa dengan membangun komitmen kolaborasi pada proyek tertentu, bikin arisan bulanan, bikin kuis sebelum zoom meeting, atau membuat grup WhatsApp di luar milik kantor. 

 

Tapi satu hal yang pasti membuat persahabatan di kantor bisa terjalin. Seperti kata Bang Boriel, “buka dulu topengmu.”