Bukan Orang Arab yang Bikin Lebaran Kita Makin Meriah, Bro
Jangan dicemilin gitu dong kuenya, kasihan nanti yang lain enggak kebagiaan.
Kalimat peringatan dari ibu itu sering saya dengar saat hari Lebaran. Kalimat itu awalnya dipakai dengan nada yang santai. Lama-lama nada ibu saya meningg tiap mengulangi kalimat tersebut. Tapi dasar tambeng, kalimat itu saya anggap angin lalu saja. Kue nastar yang tak lepas dari tangan itu tetap saya ganyang sampai habis.
Saat itu, saya sebal dan menggerutu dalam hati: Kenapa sih sama kue nastar aja pelit banget? Lebih-lebih kue itu kan cuma ada setahun sekali. Ya, maklumin dong, Bu.
Tapi ibu tak bergeming. Kue itu spesial buat tamu, kata ibu saatnya marahnya mereda. Tanpa penyebab yang jelas, saya jadi hilang selera terhadap kue itu. Kuenya bikin enek, itulah alasan saya ketika ditanya kenapa saya tak menyukai kue nastar. Alasan itu terkesan dibuat-buat.
Lantaran enggan memakan kuenya, hal tersebut juga membuat saya mencari tahu sejarahnya. Untuk hal ini, saya waktu kecil lumayan bawel menanyakan sejarah makanan, seperti rendang misalnya.
Tapi, seiring bertambahnya umur dan meluasnya akses informasi, saya akhirnya menemui fakta jika nastar adalah kuenya orang Belanda. Nama nastar merupakan gabungan dari bahasa Belanda yaitu ananas yang berarti nanas dan taartjes atau tart yang berarti kue.
Racikan resep nastar terinspirasi dari olahan pie ala Belanda yang dibuat dalam loyang-loyang besar dengan dipadukan dengan selai blueberry, apel atau stroberi. Kala itu–karena kerinduan akan kampung halaman– orang-orang Belanda ingin membuat kue pie.
Tapi sayang, mereka kesulitan mencari blueberry, stroberi dan apel yang tekstur kematangannya seperti buah yang ada di tanah Belanda. Tak kehabisan akal, mereka kemudian mendapat ide mengganti buah-buahan itu dengan nanas yang mudah ditemui di nusantara. Selain lebih mudah didapat, buah nanas juga dipilih karena rasanya rasanya yang asam manis jadi solusi menggantikan stroberi atau apel.
Tak hanya nastar, kue lidah kucing merupakan warisan dari zaman Kolonial Belanda. Di negeri asalnya, kue ini dikenal dengan nama Kattentongen yang berarti lidah kucing. Bentuknya pipih dan memanjang layaknya lidah kucing,
Seiring berjalannya waktu, variasi rasa dari kue lidah kucing jadi beragam. Bahkan, saat ini warnanya tak hanya sebatas berwarna kuning seperti awal dikenal. Selain warna, rasanya bervariasu seperti cokelat, kopi, hingga keju. Sampai sekarang, lidah kucing jadi salah satu pilihan kue Lebaran lantaran rasa dan tekstur renyahnya yang bikin orang kangen.
Awalnya, kue-kue tersebut dibuat dalam tradisi Natal orang-orang Belanda. Tetapi, saat lebaran, orang-orang Belanda juga mengirim kue-kue pada keluarga bangsawan pribumi seperti priyayi. Seiring berjalannya waktu akhirnya para priyayi tersebut berpikir bahwa kue-kue tersebut juga bisa digunakan sebagai menu lebaran.
Dari kue nastar dan lidah kucing, kita seakan memahami jika sebagai bangsa kita sudah terlatih untuk mengadaptasi segala yang dirasa cocok. Ambil yang baik, buang yang buruk. Kurang lebih begitulah kalimat yang tepat.
Pembahasan mengenai bid’ah adalah mutlak jadi ajaran agama, kini tampaknya sudah tak relevan. Toh, sepanjang pengetahuan dan pengalaman saya yang pendek ini, tak ada makanan Arab seperti nasi kabsah atau nasi bukhari atau kue Arab yang tersaji di meja makan. Untuk memperlengkap pemahaman begitu terlatihnya umat Islam di Indonesia mengadaptasi hingga melahirkan tradisinya sendiri, saya akan jabarkan beberapa tradisi yang bukan milik Islam atau orang Arab, tapi kadung melekat di tiap lebaran.
Usai sholat Ied dan bermaaf-maafan, biasanya agenda di rumah adalah memberi angpao lebaran. Lembaran uang kertas yang masih bau bank itu lantas dibagikan kepada sanak saudara. Kadang pakai amplop, kadang tidak.
Merujuk The National News, tradisi memberikan angpao lebaran dimulai dari Benua Afrika pada abad pertengahan. Kala itu, Kekhalifahan Fatimiyah Afrika Utara memberikan uang, pakaian, atau permen kepada masyarakat di hari pertama Idul Fitri.
Sedangkan di tradisi China, pemberian angpao sudah dilakukan sejak zaman Dinasti Qin (sekitar 221-206 SM). Di awal kemunculannya, angpao berupa koin berlubang yang diikat dengan benang merah. Koin itu kemudian disebut yā suì qián yang berarti uang keberuntungan untuk mengusir roh jahat. Seiring berjalannya waktu, koin dan benang merah berubah menjadi uang yang disimpan dalam angpao yang kerap dibagikan saat Tahun Baru Imlek.
Di masa lalu, saat Sunan Kalijaga tengah aktif mensyiarkan ajaran Islam di Pulau Jawa, ketupat jadi makanan yang sakral. Bagi orang Jawa, ketupat tak sekadar makanan yang menjadi lebaran hidangan khas hari raya Lebaran. Tradisi ketupat (kupat) Lebaran menurut cerita adalah simbolisasi ungkapan dari bahasa Jawa: ku = ngaku (mengakui) dan pat = lepat (kesalahan). Pendeknya, ketupat adalah simbol untuk mengakui kesalahan.
Tapi, kini ketupatan tak lagi menjadi sesuatu yang sakral. Meski tak sakral, ketupat menjadi makanan wajib saat Lebaran. Lebaran belum sempurna tanpa ketupat.
Kata hampers berasal dari bahasa Perancis "hanapier", yang artinya "keranjang untuk piala". Hampers pertama kali dikenalkan oleh William the Conqueror, yang memerintah pada abad ke-11 tepat setelah Pertempuran Hastings.
Dalam periode tersebut, hampers diberikan kepada pekerja dan pembantu oleh majikan di saat Natal. Pemberian hampers itu dimaksudkan agar Natal bisa dirayakan dengan bahagia oleh semua orang. Isinya bervariasi mulai dari daging hingga buah-buahan.
Seiring waktu berjalan, di 1800-an saat revolusi industri tengah berjalan, hampers mulai digunakan sebagai bingkisan pada perayaan Natal. Tradisi ini makin berkembang bahkan ke Indonesia.
Kalau boleh jujur, soal hampers ini saya agak ketinggalan dan baru tahu ada tradisi ini beberapa tahun ke belakang. Biasanya keluarga saya sering dapet parsel yang berisi minyak goreng, gula atau biskuit.
Pernah ada kejadian lucu. Seorang teman mengirimkan hampers buat saya di Lebaran dua tahun lalu. Saya lantas mengucapkan terima kasih melalui pesan Whats-App atas pemberian ini. Sialnya ucapan saya dibalas: Kirimin gue hampers balasan woyyy..
Hadeuh.
PKI dan Masyumi boleh berseberangan soal ideologi. Tapi kalau soal THR, sejarah tak akan memisahkan namanya keduanya.
Mulanya adalah Soekiman, tokoh Masyumi yang dilantik menjadi Perdana Menteri pada April 1951 ini yang mencetuskan ide tersebut. Salah satu program kerja Kabinet Soekiman itu adalah meningkatkan kesejahteraan aparatur negara alias PNS.
Kebijakan ini bikin kaum buruh iri. Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) menggelar aksi besar-besaran hingga berujung dengan mogok kerja pada 1952.
Melalui aksi tersebut, Sobsi mendesak pemerintah memberikan THR bagi buruh. Selain untuk memenuhi kebutuhan, buruh merasa berhak mendapatkan THR karena ikut berkontribusi terhadap perekonomian Nasional.
Pemerintah akhirnya menyerah. Melalui Menteri Perburuhan Indonesia mengeluarkan surat edaran untuk menghimbau setiap perusahaan agar memberikan “Hadiah Lebaran” untuk para pekerjanya sebesar seperdua-belas dari upah di tahun 1954.
Di tahun 1962, pemerintah mewajibkan perusahaan memberikan THR kepada karyawan yang sudah bekerja minimal tiga bulan.
Ndak jelas berasal dari tradisi dan negara mana. Tapi yang jelas, banyak orang yang masih menjalankan tradisi ini tiap Lebaran…Chuaaaks.