Buku Self Help: Menolong Siapa?

BUKU SELF-HELP: MENOLONG SIAPA?

 

Syarif Maulana

 

Tak dapat dipungkiri bahwa buku-buku bertema self-help atau self-improvement sangat laris di pasaran. Sebelum menganalisis mengapa buku kategori demikian bisa punya banyak pembaca, mari definisikan terlebih dahulu apa yang dimaksud sebagai buku self-help atau self-improvement

Gagasan kunci dari kategori semacam itu adalah “pengembangan diri”. Pertanyaannya, adakah bacaan yang tidak membuat pembacanya menjadi berkembang? Bukankah setiap bacaan (termasuk yang “tak bermutu”), dalam kadar yang berbeda-beda, memberikan wawasan bagi pembacanya sehingga membuat si pembaca menjadi berkembang? Jika setiap bacaan membuat diri pembaca menjadi berkembang, lantas, apa yang khas dari buku berkategori self-help atau self-improvement?

Micki McGee dalam bukunya yang berjudul Self-Help, Inc: Makeover Culture in American Life (2005) menuliskan bahwa ciri penting dari buku self-help adalah “saran spesifik tentang bagaimana sebaiknya seseorang menjalani hidupnya.” Pengertian tersebut saja masih terlalu umum, karena dengan demikian, sangat banyak buku yang bisa dikategorikan sebagai self-help, termasuk buku tentang filsafat moral dan politik, bahkan juga kitab suci! 

McGee kemudian menjabarkan lebih jauh dengan mengacu pada kondisi sosial dan historis masyarakat Amerika: buku-buku self-help lahir sebagai saran spesifik untuk individu yang dianggap kurang kompeten dalam menghadapi keadaan politik dan ekonomi di Amerika. Artinya, dalam buku-buku self-help, memang terdapat tujuan, yakni pengembangan diri, tetapi hal yang lebih penting untuk dipertanyakan: pengembangan diri untuk apa? McGee menuliskan bahwa pengembangan diri yang dimaksud lebih diarahkan pada aspek immaterial dalam diri setiap individu seperti aspek mental dan emosional, supaya tiap-tiap individu tersebut mampu bersaing di dunia kerja.

Dunia kerja? Bukankah self-help menawarkan bantuan bagi kehidupan manusia secara umum dan tidak spesifik soal dunia kerja? Kita bisa ambil satu contoh buku self-help laris di Amerika karya Po Bronson berjudul What Should I Do in My Life? (2002). Bagi Bronson, bekerja memberikan makna hidup bagi seseorang. Melalui cerita tentang karier Heidi Olson yang berpindah-pindah tempat kerja, Bronson hendak mengajarkan pada kita bahwa tidak ada pekerjaan yang ideal, karena segalanya mengacu pada cara pandang kita terhadap pekerjaan itu sendiri. Kebahagiaan tidak diukur dari apakah kita mendapatkan pekerjaan impian atau bukan, melainkan bagaimana kita melihat sebuah pekerjaan sebagai sebuah tanggung jawab dan kita berjuang di dalamnya. 

Petuah Bronson tersebut tampak universal, hal penting yang diperlukan semua orang. Namun penting untuk diingat, seperti yang dijabarkan oleh McGee, bahwa kemunculan buku-buku self-help tidaklah ahistoris, melainkan timbul dari kondisi yang dianggap genting dalam masyarakat Amerika. Jika kita hendak gamblang merangkum pernyataan McGee, kita bisa katakan bahwa buku-buku self-help lahir dari kondisi masyarakat liberal–kapitalistik, yang belum tentu dapat diterapkan pada setiap keadaan, terlebih lagi membayangkan kondisi universal manusia. Namun watak dari buku self-help itu sendiri seringkali mengandaikan bahwa setiap orang memerlukan saran-saran demikian, seolah-olah “pengembangan diri” merupakan konsep yang jelas, tidak perlu diperdebatkan dan berlaku umum. 

Contoh lain yang lebih vulgar adalah buku karya Napoleon Hill berjudul Think and Grow Rich (1937) yang kerap dianggap sebagai salah satu “kitab suci” self-help (selain Science of Getting Rich-nya Wallace D. Wattles). Hill menjabarkan tiga belas langkah menjadi kaya yang beberapa di antaranya mengajarkan kita untuk memiliki keyakinan dalam mencapai tujuan, memulainya dengan ambisi besar, memanfaatkan imajinasi untuk membayangkan sasaran dan melihat bagaimana sasaran tersebut kelak dapat tercapai, terus berjuang dengan gigih tanpa peduli pada berbagai rintangan, dan lainnya. 

Melalui langkah-langkah praktis sebagaimana diurai Hill atau paparan Bronson tentang hidup bermakna melalui kerja, rasanya tidak sukar untuk memahami mengapa genre semacam ini amat digemari. Pertanyaannya justru bisa dibalik: untuk mereka yang tidak suka atau tidak setuju, memang di mana letak kesalahannya? Bukankah saran-saran semacam itu baik adanya? Kondisinya bisa jadi lebih rumit jika kita masukkan buku-buku yang lebih spiritual sebagai buku self-help atau self improvement seperti Ikigai: The Japanese Secret to a Long and Happy Life (2017) yang ditulis oleh Héctor García dan Francesc Miralles atau The Seven Spiritual Laws of Success (1994) yang ditulis oleh Deepak Chopra. 

Buku-buku self-help atau self-improvement juga punya banyak tema mulai dari ekonomi, filsafat, agama, dan bahkan sains. Artinya, suatu buku dikategorikan sebagai self-help bukan terletak dari tema yang dibahasnya, melainkan bagaimana tema tersebut dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi apa yang disebut McGee sebagai “saran spesifik tentang bagaimana sebaiknya seseorang menjalani hidupnya”. 

Dengan demikian, bukankah buku-buku tentang etika atau filsafat moral seperti bahasan tentang stoisisme, utilitarianisme, atau bahkan imperatif kategorisnya Immanuel Kant, dalam arti tertentu, juga bisa dikatakan self-help karena mengajarkan bagaimana kita sebaiknya bertindak? Kita tidak bisa dengan gegabah mengatakan bahwa bacaan semacam itu cocok digolongkan pada kategori self-help. Alasannya, meski sama-sama “praktis”, buku-buku self-help umumnya dikemas sebagai bacaan siap saji yang tidak perlu menimbulkan perdebatan atau diskusi terlalu panjang. 

Kita tidak akan ngobrol panjang lebar soal makna kerja dalam What Should I Do in My Life? sebagaimana kita memperdebatkan argumen moral Kantian dalam Critique of Practical Reason atau tolok ukur “manfaat” dalam Utilitarianism-nya John Stuart Mill. Artinya, hal yang membedakan buku-buku self-help dan filsafat moral terletak pada daya pertimbangannya. Pada Think and Grow Rich misalnya, jika kita ingin menjadi kaya (secara material, tentunya), Hill menawarkan tiga belas prinsip yang seolah-olah mengimplikasikan pesan: ikuti tiga belas prinsip itu jika ingin menjadi kaya dan tinggalkan jika tidak ingin menjadi kaya. 

Dalam arti tertentu, Kant juga menawarkan prinsip alias maksim yang salah satu bunyinya adalah: “Bertindaklah dengan hanya mengacu pada suatu maksim yang kita kehendaki, pada waktu bersamaan, menjadi suatu hukum universal.” Pernyataan Kant bisa menimbulkan pertimbangan misalnya: bagaimana kita mampu membayangkan suatu hukum universal? Apakah memang ada yang dinamakan sebagai hukum universal? 

Dalam contoh lain, filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre juga memberikan panduan “praktis” terkait bagaimana seseorang mestinya hidup dengan menuliskan bahwa manusia dikutuk untuk bebas sehingga seluruh putusannya menentukan esensi hidupnya sendiri. Apakah pandangan Sartre tersebut praktis? Iya, dalam artian menunjuk langsung apa yang harus kita lakukan dalam hidup. Namun di sisi lain, pandangan Sartre juga sekaligus tidak praktis karena kita tetap mesti merenungkan dan merumuskan apa yang dimaksud dengan kebebasan, kutukan, dan esensi hidup. Sartre tidak menyuruh kita melakukan hal spesifik untuk tujuan spesifik (seperti menjadi kaya atau sukses), melainkan suatu tindakan abstrak yang bentuk konkretnya kita sendirilah yang memutuskan.   

Menyalahkan Diri Sendiri

Mengapa kita perlu membandingkannya dengan buku filsafat bertemakan moral demi menjawab pertanyaan berkenaan dengan problem buku self-help? Hal terpenting adalah filsafat bukanlah semacam doktrin. Filsafat tertentu memang menawarkan solusi, tetapi selalu dapat dikritik dan diperdebatkan. Cara kita mengikuti filsafat berbeda dengan cara kita tunduk pada katakanlah, dogma agama. Sementara itu, buku self-help, mengutip kata McGee, justru lebih dekat pada “agama sekuler”, seperti kitab suci tentang bagaimana cara hidup dengan hukum-hukum yang sudah “jelas”. 

“Hukum tindakan” inilah yang membuat buku-buku self-help menjadi digemari sekaligus problematik. “Hukum tindakan” menjadikan hidup seolah-olah punya rumusan pasti untuk memperoleh kebahagiaan dan manusia tinggal menjalankannya saja. Siapa yang tidak tergiur dengan jaminan semacam itu? 

Namun “hukum tindakan” juga menciptakan problem di sisi sebaliknya: mereka yang gagal, tidak sukses, artinya tidak sanggup mengikuti langkah-langkahnya (yang diklaim sebagai suatu kepastian). Jika kita tidak menjadi kaya, maka mudah untuk dituding bahwa kita tidak menjalankan tiga belas prinsip yang sudah capek-capek dirumuskan oleh Hill. Jika kita mudah mengeluh di dunia kerja, maka siap-siap dituduh bahwa kita telah sesat dari ajaran Bronson. 

Dapat dikatakan juga, buku-buku self-help dengan tema pengembangan dirinya membebankan segala sesuatunya pada “diri”, pada individu, pada aku yang memutuskan. Kalau aku miskin, itu salahku; kalau aku tidak bahagia, itu problemku; kalau aku menderita, itu adalah pilihan bebasku. Karena kan, rumus hidup sudah jelas, “hukum tindakan” sudah pasti, mengapa aku tidak menjalankannya? 

Pertanyaannya, apakah kita benar-benar dapat menyandarkan hidup pada “hukum tindakan” yang mensyaratkan kemampuan dan kemauan diri untuk menjalaninya? Poin inilah yang justru dapat diperdebatkan dari buku-buku self-help. Kenyataannya, tidak semua problem dalam hidup adalah perkara kedirian, tapi juga bisa ditimpakan pada problem struktural. Misalnya, seseorang merasa telah membaca ratusan buku self-help dan ia mendapati fakta bahwa dirinya tetap saja di posisi yang sama. Gajinya tidak naik signifikan dan jabatannya tetap di level bawah dalam sepuluh tahun terakhir. 

Dalam ajaran “agama self-help”, ia akan dituding sebagai ‘pendosa’, sebagai orang yang tidak bisa mengubah pola pikirnya ke arah yang lebih maju. Padahal mungkin ia sudah mempraktekkannya setiap saat. Pikirannya dipenuhi energi positif, cara pandangnya selalu optimistik. Saat ia menemui kegagalan terus menerus, tidak hanya orang-orang menyalahkan dirinya, tetapi mungkin ia juga akan menyalahkan dirinya sendiri. 

Padahal kita bisa renungkan dalam-dalam: mungkin dia gagal bukan karena pola pikirnya kurang ampuh, tapi karena struktur membuat dirinya akan terus berada di level bawah. Ia bukan siapa-siapa: tidak punya privilese, tidak punya kenalan orang dalam, tidak pernah punya uang untuk bersekolah tinggi-tinggi, dan sekian problem bawaan lainnya. 

Dalam arti demikian, buku-buku self-help jarang sekali memandang struktur sebagai persoalan fundamental. Alasannya sederhana: buku-buku self-help justru membangun struktur, membuat para pembacanya mesti menerima suatu kodrat bahwa sukses tidaknya seseorang ditentukan oleh usahanya sendiri. Ajaran semacam itu, senada dengan kata-kata McGee, tidak lain tidak bukan, adalah doktrin mendasar dari liberalisme. 

Pertanyaan berikutnya, memang apa salahnya doktrin liberalisme? Pertanyaan semacam itu tentu diserahkan kembali pada spektrum pandangan masing-masing. Namun satu hal yang lebih pasti: buku-buku self-help bukanlah suatu ajaran universal, melainkan bersifat historis, mengacu pada suatu kondisi masyarakat tertentu dengan ideologi tertentu. Ia bukanlah kitab suci, bukan pula “hukum tindakan”, melainkan sekadar pengalaman yang dibagi lewat klaim-klaim bombastis. Bahkan kita bisa curigai lebih jauh jika buku-buku self-help dibuat sedemikian rupa oleh mereka yang sudah berada dalam posisi memenangkan persaingan, agar orang-orang kalah tetap yakin bahwa mereka bisa menyalip posisi atas, padahal kemungkinannya sangat kecil. 

Jadi, jika bukan lewat buku-buku self-help, bagaimana kita bisa memperbaiki dan mengembangkan diri? Pertanyaannya justru dibalik: mengapa seseorang memerlukan buku-buku self-help supaya bisa memperbaiki dan mengembangkan diri? Banyak bacaan yang merangsang pikiran, menggugat keyakinan, menguji prinsip mendasar, tanpa perlu mendikte bagaimana kita semestinya berbuat untuk mencapai kesuksesan. Bahkan literatur tertentu bisa saja menggugat definisi “kesuksesan” itu sendiri. 

Penulis seperti Albert Camus misalnya, tidak pernah menggiring kita untuk melakukan tindakan konkret tertentu. Ia hanya menuliskan bahwa hidup ini absurd, sia-sia, berbagai pertanyaan yang kita ajukan tentang dunia hanyalah berujung ketiadaan jawaban. Meski hidup ini tidak punya kejelasan, Camus mengajak kita untuk tetap berjuang: jangan bunuh diri, jangan kabur pada kehidupan setelah-mati, hiduplah untuk masa sekarang. 

Terdengar seperti self-help? Sedikit, tetapi sangat mudah untuk membedakannya: tulisan Camus begitu murung, penuh labirin, dan jauh dari kesan optimistik. Perjuangan versinya mensyaratkan kehancuran total akan kepercayaan kita terhadap dunia, berbeda dengan ajaran Hill yang mengajak kita untuk berjuang demi suatu makna dunia yang dikarangnya sendiri: kekayaan material. 

Kita bisa membaca buku apapun yang bukan self-help, disertai keyakinan bahwa kondisi kemenangan dan kekalahan bukan ditentukan oleh para penulis buku self-help, melainkan oleh sikap kritis kita terhadap kompleksitas problem dari dunia. Tidak ada yang disebut dengan “hukum tindakan”, selama tindakan-tindakan kita sekaligus ditentukan oleh kuasa di luar sana. Menjadi kaya dan sukses tentu baik, tetapi ingat berapa banyak orang yang kita tindas dan singkirkan demi membuka jalan ke arah sana.