Yang Dilakukan Para Capres Untuk Kampanye Caper ke Anak Muda

Yang Dilakukan Para Capres Untuk Kampanye Caper ke Anak Muda?

Lihat capres Ganjar Pranowo yang punya second account dengan handle jajang_genjar yang membagikan momen-momen konyol bersama keluarga. Capres Prabowo Subianto yang awalnya tenar oleh kucingnya, Bobby, lalu naik tingkat dengan gelar “gemoy” dan joget Tiktok-nya. Tak mau kalah, Anies Baswedan dikenal sebagai cat daddy alias bapak kucing lewat akun pawswedan. 

Second account, kucing, dan gemoy, benar-benar paket lengkap untuk menarik perhatian Gen Z.

Komunikasi Politik Capres Periode-Periode Sebelumnya

Jauh sebelum perang bintang kampanye untuk menarik perhatian anak muda seperti sekarang, kampanye dan komunikasi politik para capres-cawapres sebelumnya juga tak kalah seru. Mari kita berkaca pada Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) yang terpilih lewat pemilu pertama di tahun 2004. Keduanya kerap menggunakan medium iklan di TV sebagai cara kampanye. Beberapa iklannya antara lain video musik SBY dan JK bernyanyi “Bersama Kita Bisa” yang berdurasi 60 detik, lalu iklan Sajadah Panjang yang diiringi nyanyian Bimbo. Dalam dua iklan kampanye tersebut, SBY dan JK terlihat akrab dengan rakyat.

SBY kerap memainkan kartu latar belakangnya sebagai ‘wong cilik’ dari Pacitan, lalu sukses meniti karirnya sebagai tentara. Kartu yang sama juga digunakan kembali di kampanye 2009, kali ini dengan cawapres Boediono. Sama seperti SBY, Boediono punya latar belakang keluarga sederhana. Ayahnya pedagang batik yang tuna netra karena glaukoma, sedangkan ibunya berjualan perhiasan. Namun jangan salah, ia termasuk satu dari sedikit orang yang punya latar pendidikan bagus—berbekal beasiswa Colombo Plan, ia melanjutkan pendidikan S1-nya di University of Western Australia. S2 dan S3-nya juga ditamatkan di negeri kangguru itu.

Strategi kampanye ‘anak kampung’ kembali digunakan di kampanye pemilu 2009. Salah satu iklan yang berjudul ‘Dari Rakyat Untuk Rakyat’ meyakinkan bahwa mereka berdua punya kesamaan dengan para penonton lewat kalimat “keluarga sederhana, keluarga rakyat seperti kebanyakan kita”. Latar belakang sederhana ini (SBY sebagai tentara, Boediono sebagai guru) menunjukkan bahwa tujuan mereka adalah “mengabdi, bukan memperkaya diri”. 

Tipe kampanye ini begitu sukses sampai-sampai ditiru oleh Jokowi. Senada dengan SBY, Jokowi juga hadir dari kalangan “wong cilik”. Ia menunjukkan dirinya sebagai sosok yang doyan blusukan, bercengkrama langsung dengan rakyat. Jokowi juga sering kali terlihat melipat lengan kemejanya, tanda siap bekerja. Ini pula yang branding bagi Jokowi: kemeja kotak-kotak atau warna putih dengan lengan dilipat. Saking suksesnya, kampanye a la Jokowi dicontoh oleh politisi-politisi lainnya. Blusukan jadi dianggap basi karena yang lain cuma ikut-ikutan saja.

Dari dulu memang template kampanye selalu ‘dekat dengan rakyat’. Hanya saja di pilpres kali ini, rakyat yang disasar adalah anak muda.

Komunikasi Politik Capres Kekinian

[Anies]

Mari kita buka dengan model komunikasi dari capres nomor urut pertama, Anies Baswedan. Dalam ranah rencana kepemimpinan, Anies merepresentasikan sebagai sosok yang kontra dari Jokowi. Misalnya, bentuk kritikannya terhadap IKN dan juga kritikannya terhadap penurunan demokrasi di era Jokowi kala debat capres pertama. berbeda dengan dua paslon lainnya yang mencitrakan diri sebagai penerus Jokowi. 

Tapi soal anak muda, Anies rupanya setuju dengan saingan-saingannya bahwa anak muda adalah ladang emas untuk Indonesia—yang membuat para capres jadinya ikut berkolaborasi dengan anak muda. 

Bisa jadi itu yang membuat Anies menunjukkan jati dirinya sebagai pecinta kucing. Paling tidak, ada 57% anak muda (milenial dan Gen Z) yang memelihara kucing. Anies mengabadikan momen di Instagram ketika ia mengadopsi kucing yang tengah sakit di pasar. Kini, kucing itu dijuluki “Lego si penguasa rumah” dan kesehariannya ditampilkan di akun Pawswedan. Ia juga mengabdikan akun YouTube-nya untuk memperkenalkan kucing-kucingnya. 

Namun yang paling menarik dari kampanye Anies adalah bagaimana fans-fans mudanya ikut meramaikan kampanyenya secara organik. Spesifiknya, fans-fans Kpop yang memparodikan live TikTok Anies lewat Anies Bubble. Lewat akun X, para fans Kpop membuat berita dan interaksi Anies layaknya idola Kpop. 

[Prabowo]

Kedua, ada Prabowo Subianto. Dibanding Anies, Prabowo lebih dulu membranding dirinya sebagai pecinta kucing lewat Bobby, kucing kesayangannya. Suatu hari teman-teman saya sampai berkesimpulan, “Wah, keren juga public relation-nya Prabowo, bisa memperdagangkan Bobby sampai bikin orang lupa dengan masa lalu”. 

Selain Bobby, di ajang pilpres 2024, Prabowo sudah rebranding menjadi sosok gemoy. Pergeseran imej dari yang tegas dan militeristik menjadi gemoy adalah bukti sukses kembali lahirnya Prabowo ke mata publik. Menariknya, rebranding ini diterima baik oleh pendukungnya, bahkan Gerindra sendiri, menggunakan kesempatan ini untuk memparodikan setiap gerak-gerik Prabowo beratasnamakan “gemoy”

Nilai plus lainnya adalah bagaimana Prabowo menggandeng Gibran Rakabuming Raka—anak rivalnya dulu—untuk merepresentasikan generasi muda di ranah politik. Lalu, apakah upaya itu berhasil? Tentu saja, Prabowo paling banyak kebanjiran komentar seperti  “capres tergemoy” atau “all in Prabowo untuk Bobby”.


[Ganjar]

Ketiga, Ganjar Pranowo, tampak kekinian di media sosial. Ia lebih suka selfie-selfie, mengikuti tren di Instagram dan juga muncul di publik bersama artis-artis muda. Lalu, hobi-hobi Ganjar yang berkaitan dengan fisik seperti lari dan bersepeda menyumbang poin yang besar ke imejnya. Anak muda seolah memiliki keterkaitan dengan Ganjar karena punya hobi yang sama, apalagi dua hobi itu memang hobi yang paling banyak digandrungi milenial dan Gen Z karena mudah dan murah meriah.

Terakhir, munculnya second account Ganjar yang pamer kekocakan keluarganya jadi sorotan. Rasanya, boomers main Instagram saja sudah ajaib—kebanyakan dari mereka cenderung bermain Facebook—apalagi punya second account. Nama second account Ganjar juga nyeleneh yang kemungkinan berasal dari plesetan jajar genjang.

Lantas untuk Ganjar, apa yang diparodikan masyarakat? Beredar sebuah video orang berambut putih mirip Ganjar yang melakukan breakdance. Warganet dibuat terkekeh, bahkan mereka mengusung jargon “tuanku yo breakdance” plesetan dari jargon Ganjar yakni “Tuanku ya Rakyat”.

Second account biasanya hanya diperuntukkan bagi orang terdekatnya, kebanyakan orang akan menggembok akunnya. Tetapi, Ganjar sendiri tak menggembok jajang genjar. Mengapa? Mungkin agar dapat dilihat oleh ‘target’-nya atau ada alasan lainnya. Sekali lagi, apakah upaya itu berhasil? Berhasil! Komentar “Oppa Ganjar” dan “bapak dan anak sama-sama tampan” sudah melekat untuk Ganjar dan anak laki-lakinya.

Ya memang benar adanya kalau daftar pemilih pada pilpres nanti didominasi oleh anak muda. Dilihat dari data, generasi milenial sendiri menyumbang 66.82 juta orang dari total jumlah penduduk Indonesia sebanyak 278,8 juta jiwa pada 2023. Belum lagi Gen Z, terdapat 64,8 juta orang. Kalau Gen Z dan Milenial merepresentasikan anak muda, berarti jumlah kalangan anak muda yang akan nyoblos nanti sekitar 113,62 juta. Pantas saja para capres begitu ambisnya menarik perhatian kita, Anak Muda.


Sumber: Katadata


Apa Kata Anak Muda?
“Kalo menurut gue, mereka mencoba ngikutin trend aja, sih. Ya sekarang lihat data demografinya aja, paling banyak emang anak muda. Ya mereka berusaha dekat aja sama calon pemilihnya” - Salsa, 23 tahun.

“Gue emang sadar betul kalau mereka berusaha nge-branding diri sebagai perangkul anak muda. Entah nanti tiba-tiba muncul mereka ikutan fashion anak muda atau sampe ikut trend TikTok ya bisa jadi juga. Cuma sebenernya, apakah dengan mereka melakukan itu semua, mereka jadi tau apa masalah-masalah yang dialami generasi muda?” - Doni, 26 tahun.

“Sebenernya oke-oke aja, sih, sejauh ini branding mereka semua harmless. Selama nggak menyakiti satu sama lain ya nggak papa. Yang bikin risih itu para pendukungnya yang suka berantem.” - Fia, 19 tahun.

“Jujur kalau ngomongin anak muda ini kompleks, sih. Masalahnya di anak muda sendiri juga banyak lapisannya. Gue termasuk yang berprevilese, secara ekonomi, pendidikan, akses untuk fasilitas. Makanya gue bisa lihat kampanye lucu-lucuan mereka di media sosial. Tapi kalau anak muda yang di pelosok, nasibnya gimana? Anak-anak muda itu juga yang harusnya turut dijangkau sama capres-capres nanti, kan.” Ridwan, 22 tahun.

“Menurut gue hal ini wajar untuk komunikasi politik lewat campaign branding yang bisa gaet banyak suara. Apalagi arus informasi sekarang makin cepet, mereka harus pake campaign yang gampang diinget orang.” - Ifa, 24 tahun.

“Bentuk pendekatan semacam itu rasanya memang nggak jauh dari situasi bahwa pemilih muda lagi mendominasi pemilu kali ini. Sejujurnya, gue termasuk yang bete sebete-betenya waktu kata “anak muda” dan juga yang udah lebih dulu kayak “ibu-ibu” atau “anak-anak”, seolah kita semua jadi dianggep penting untuk kepentingan politik semata.” - Gaga, 23 tahun.

“Menurut gue, pertama, mereka mau mengundang perhatian di awal, selanjutnya balik ke individu masing-masing. Mau cari informasi lebih soal tiga paslon atau sekadar tertarik sama gemoy, kucing, second account, dan sebagainya. Buat gue, hal-hal tadi sekadar jadi gerbang pembuka aja biar orang tahu ciri khas mereka masing-masing.” - Dhani, 24 tahun.

Dari semua celotehan saya berbekal riset dan juga wawancara dengan generasi muda, sepertinya, memang sekarang ini para paslon pun menyadari dua hal: pertama, sasaran kampenye mereka dan kedua, bagaimana mereka harus berkampanye. Selagi cara mereka berkomunikasi dengan anak zaman now tak menimbulkan sakit bagi siapapun, saya rasa, mayoritas memaklumi model kampanye yang terbaru ini.