Car Free Day dan Sepedaan adalah 'Budaya Kolonial' yang Harusnya Kita Adopsi

Car free day alias CFD yang sering kita jumpai di kota-kota besar Indonesia sebetulnya berakar ‘budaya penjajah’. 

 

Ini setengah serius setengah bercanda. Alkisah pada 1970, negara-negara Eropa mencapai tingkat kemakmuran yang tak pernah mereka rasakan di era-era sebelumnya. Perkembangan teknologi dan ekonomi yang begitu pesat membuat mereka meninggalkan sepeda. Mobil pun menjadi moda transportasi utama. 

 

Berhubung jalanan kota-kota Belanda sempit, kecelakaan menjadi ‘kejadian rutin’: dua penduduk Amsterdam tertabrak mobil setiap minggunya. Puncaknya pada 1971, Belanda mencatat 3.300 kematian–dengan 500 kematian merupakan anak-anak–yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. 

 

Penduduk yang berang menggelar protes Stop de Kindermoord (Stop Membunuh Anak-anak). Mereka menginginkan pemerintah untuk membatasi lalu-lalang kendaraan bermotor di kota. Para pendukung gerakan ini kerap berdemo di jalanan menggunakan sepeda, memenuhi daerah kecelakaan, dan mengorganisir hari-hari spesial dimana mereka memblokir jalanan supaya anak-anak bisa bermain dengan aman. 

 

Pada 1972, TV Belanda menayangkan film dokumenter yang menggambarkan daerah kecil Amsterdam bernama De Pijp. Dokumenter yang diambil dari perspektif anak ini menceritakan pengalaman anak-anak De Pijp yang ‘digusur’ oleh mobil yang memenuhi jalanan kecil mereka. Banyak yang merasa simpatik dengan penderitaan anak-anak ini sehingga ikut memblokade jalan raya di sekitar lingkungan. Ujung-ujungnya mereka mendapat banyak cacian dari para pengendara mobil yang marah-marah. 

 

Setahun kemudian, muncullah krisis minyak bumi yang diakibatkan oleh perang Yom Kippur di Oktober 1973. Mesir dan Syria melancarkan serangan ke Israel sebagai bentuk protes terhadap pendudukan tanah Palestina. 

 

Awal mulanya Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel menolak membantu Israel. Tapi mereka mengubah pemikiran kala Uni Soviet memberikan bantuan berupa suplai senjata ke Mesir dan Syria. Dana yang digelontorkan sebanyak $2,2 juta. Bantuan ini terbukti bisa memukul mundur tentara Mesir dan Syiria.

 

Negara-negara Arab tentu saja berang melihat ini. Mereka yang tergabung dalam OPEC memutuskan untuk memberlakukan embargo minyak bumi terhadap Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, dan Jepang. Negara-negara ini yang sebelumnya menikmati harga super miring tiba-tiba kelabakan. Bagaimana tidak, sebelum perang harga minyak hanya $2,75 per barel, lalu tiba-tiba naik menjadi $11,1 per barel pada Maret 1974.

 

Untuk mengurangi belanja negara, negara-negara yang terkena embargo terpaksa menjatah dan mengirit penggunaan minyak bumi. Belandalah yang pertama kali mengaplikasikan aturan pengencangan ikat pinggang lewat larangan menggunakan kendaraan bermotor di hari Minggu, kecuali untuk pemadam kebakaran, ambulans, dokter, dokter gigi, dokter hewan, turis asing, dan pedagang yang harus membawa barang-barang mereka ke pasar, restoran, dan hotel. Sisanya? Jalan kaki dan sepedaan.  

 

Negara-negara lain seperti Belgia mengikuti jejak Belanda, lalu Jerman Barat menghentikan konvoi kendaraan bersenjata mereka sebagai upaya untuk merasionalisasikan penggunaan minyak bumi. Inggris melakukan pemadaman listrik rutin, membatasi penggunaan barang-barang rumah tangga yang mengkonsumsi listrik, dan tak lagi menayangkan acara TV setelah jam 10.30 malam. 

 

Namun, dari semua negara Eropa yang terkena imbas embargo minyak mentah murah OPEC, hanya Belanda yang tetap konsisten 

 

CFD Belanda Sekarang

 

Tidak jelas kapan Belanda menghentikan program CFD mereka. Tapi yang pasti peraturan ini menjadi bahan bakar baru untuk demonstran anti-mobil. Tekanan demi tekanan yang dikeluarkan oleh penduduk terbukti berhasil: pemerintah Belanda akhirnya membuat jalur khusus sepeda (fietsstraat) dan membatasi kecepatan mobil ke 30 km/jam di jalanan khusus sepeda. Jalanan khusus sepeda ini tak hanya terbatas di satu daerah saja, tapi juga terintegrasi dengan daerah lain supaya keamanan dan kenyamanan pesepeda terjamin.

 

Tak hanya itu, kota Amsterdam juga membuat orang malas mengendarai mobil. Beberapa cara yang ditempuh adalah membuat tarif parkir yang mahal, membatasi jalanan supaya sulit dilewati mobil, dan mengurangi area parkir mobil dan menggantinya menjadi area parkir sepeda. Belanda memang masih jauh dari menjadi negara yang bebas mobil—toh buktinya 42% penduduk Belanda memiliki mobil pada 2019. 

 

Namun, angka ini tidak serta-merta membuktikan bahwa kebijakan ramah pesepeda Belanda tidak efektif. Justru Belanda memiliki infrastruktur pesepeda terbaik di seluruh dunia. Infrastruktur yang baik terbukti berhasil mendorong publik untuk lebih sering bepergian dengan sepeda atau jalan kaki. Dan infrastruktur yang ramah pesepeda ini hanya bisa didapatkan lewat protes keras masyarakat dan pemerintah dipaksa mendengar.