Catatan Redaksi

Melihat ke belakang, tiga tahun terakhir terasa aneh, tapi nyata. Orang-orang masih shitposting dan berantem di Twitter, remaja dan dewasa muda berjoget ria di TikTok, seolah di luar sana tidak ada tragedi terbesar abad 21 alias pandemi Covid-19. Kalau kata orangtua: aneh, tapi nyata. 

Dua ekstrim fenomena ini mengundang banyak perhatian. Akademisi, seperti biasa, membedah bagaimana media sosial memiliki pengaruh dalam manajemen stres selama pandemi dan efek penggunaannya. Jurnalis melahirkan think pieces yang antara mengkritik penggunaan media sosial bisa memperburuk stres (benar) atau membela penggunaannya karena media sosial bisa mengalihkan perhatian dari permasalahan yang ada, walau untuk sementara saja (benar juga). Tapi media sosial juga membuat orang-orang lebih mudah panik (benar) dan gampang termakan konspirasi (lagi-lagi benar). 

Dari itu semua, yang paling menarik perhatian saya adalah bagaimana perhatian dan kesadaran terhadap kesehatan mental meningkat dengan pesat. Tentu pandemi menjadi biang kerok terbesarnya, tapi media sosial punya peran besar dalam menyebarkan opini, komentar, dan bahkan meme soal isu ini. Ia awalnya bermula di media dan media sosial berbahasa Inggris, tapi kemudian menetes ke lingkungan daring ‘warlok’ alias warga lokal (daring) Indonesia. 

Diskusi kesehatan mental kemudian melahirkan perbincangan soal neurodiversitas (saya dan teman-teman sendiri suka menyebutnya sebagai ‘bhinnekasyaraf’). Disebut sebagai neurodiversitas karena mereka menjalani dan merasakan kehidupan dengan cara yang berbeda dari orang-orang pada umumnya. Perbedaan ini tak hanya membuat mereka harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak ramah dengan mereka. 

Sudah begitu, mereka juga harus melawan stigma yang berat. Layaknya gangguan kesehatan jiwa seperti depresi, bipolar, gangguan cemas, skizofrenia, penyakit obsesif-kompulsif (OCD) serta gangguan kepribadian seperti gangguan kepribadian ambang, narsistik, antisosial, dan lain-lain, neurodiversitas juga dianggap sebagai penyakit yang harus disembunyikan. 

Kalau stigma terhadap penderita gangguan jiwa dan kepribadian seringnya dirasakan oleh orang-orang dewasa, stigma terhadap orang-orang neurodivergen sudah terasa dari mereka kecil. Ini karena ‘keanehan’ mereka kerap kali muncul dari kanak-kanak. Manifestasinya pun berbeda—anak laki-laki seringkali berbuat gaduh, hiperaktif, dan impulsif, sedangkan anak perempuan cenderung pendiam dan lebih seperti anak-anak neurotipikal karena mereka belajar untuk menjadi bunglon alias lebih jago menutupi simptom.  

Orang-orang yang mengalami kondisi di atas tentunya punya pengalaman yang berbeda dengan orang-orang biasa. Benar bahwa media sosial sebagian besar sudah memfasilitasi orang-orang untuk membagikan pengalaman mereka. Tapi acapkali postingan yang ada kurang memberikan konteks yang mendalam sehingga rawan untuk disalahartikan. 

Kami rasa perlu penjelasan yang lebih memadai soal kondisi yang sering menjadi bahan salah kaprah.  

Tapi banyaknya diskusi soal kesehatan mental di media sosial bukan berarti orang-orang punya pemahaman lebih soal itu. Oleh karena itu, penting untuk mengelaborasikan pengalaman yang dialami oleh orang-orang neurodiversitas dan yang mengidap gangguan kesehatan mental, orangtua dari anak-anak dari orang-orang itu, sekaligus para ahli kesehatan mental. Kami mengundang kalian semua yang memenuhi prasyarat tersebut untuk menceritakan pengalaman hidup kalian. Bagaimana rasanya hidup di dunia yang dibuat untuk neurotipikal? Aspek apa saja yang sering menjadi bahan salah kaprah di masyarakat?

Periode pengiriman artikel untuk tema ini adalah 8 Desember 2023 sampai 22 Desember 2023. Panjang maksimal tulisan adalah 750 kata dengan font Arial ukuran 11 dan dikirim dalam format Google Docs. Kirim tulisan ke [email protected] dengan informasi nama lengkap, nomor rekening, NPWP (wajib!), dan media sosial apabila ada/mau dipublikasikan. Contoh tulisan yang kami cari seperti tulisan ini Tak Ada yang Jenius dari Miskinnya Imajinasi Kita soal Autisme - Jurno.id yang ditulis oleh Yuviniar Ekawati,Depresi Pasca Kelahiran Juga Bisa Menimpa Pria - Jurno.id yang ditulis oleh Ahsan Ridhoi, dan Kamarku, Refleksi Keambyaran Mentalku - Jurno.id yang ditulis oleh Ann Putri.

Kami tunggu tulisannya!