Teror demi teror menyambut Adi dan Ayu di tengah perjalanan turun dari Gunung Ceremai, Jawa Barat. Mereka mendengar tawa cekikikan, ucapan salam, bahkan orang marah-marah dalam bahasa Sunda. Namun, suara-suara tersebut tidak bisa diketahui asalnya. Tak terhitung pula berapa kali mereka secara bergantian menjumpai penampakan-penampakan dedemit; bayangan-bayangan hitam berkelebat di antara pepohonan, seekor kuda aneh tanpa sosok penunggang, pocong, hingga orang-orang yang kepalanya jatuh menggelinding sambil tertawa, dan sebuah keranda terbang.
Pada mulanya perjalanan berlangsung lancar. Memang Adi dan Ayu memutuskan turun saat hari hampir malam. Namun, tak ada yang aneh atau terasa janggal hingga mereka beristirahat di pos Batu Lingga dan Ayu membuang pembalut bekas haidnya ke rimbunan semak. Nyi Linggi, yang dikisahkan sebagai salah satu penguasa Ceremai, merasa tersinggung atas perbuatan Ayu dan sejak itulah perjalanan mereka berubah menjadi wisata horor di alam terbuka.
Pengalaman Adi dan Ayu semula diunggah oleh Aras Anggoro di Facebook, kemudian diceritakan kembali oleh Fajar Aditya via kanal Youtube RJL 5. Ia bahkan sampai menggelar sesi tanya-jawab live bersama Aras Anggoro untuk membuktikan bahwa ceritanya bukan fiksi semata. Selain RJL 5, Prasodjo Muhammad sempat juga turut membacakan cerita serupa di kanalnya.
Ini hanya satu contoh kisah horor pendakian gunung yang menyita perhatian banyak warganet sejak pertama kali diunggah. Dalam beberapa tahun terakhir, kisah-kisah horor pendakian gunung sudah menjadi tren tersendiri di tengah popularitas konten bertema paranormal experience di Youtube. RJL 5 dan kemudian Prasodjo Muhammad, misalnya, kerap mendulang ratusan ribu hingga jutaan views tiap kali mengunggah konten soal horor pendakian gunung di kanal mereka. Biasanya mereka membacakan kisah kiriman penonton atau cerita yang sudah lebih dulu viral di media sosial. Selain itu, mereka memiliki sesi tersendiri untuk menghadirkan orang-orang yang mengaku punya pengalaman diganggu roh jahat dan sejenisnya sewaktu naik gunung.
Siapapun yang rutin menonton RJL 5 dan Prasodjo Muhammad pasti sudah tidak asing dengan cerita pendaki nyasar ke kampung yang peradabannya seperti sudah sangat tua, ketemu orang-orang dengan pakaian ala prajurit di film kolosal atau seperti pengantin dan para pengiringnya, pasar misterius, binatang-binatang aneh, sampai kena teror berbagai jenis hantu. Semua unsur ini hampir selalu hadir dalam cerita-cerita yang diunggah RJL 5 atau Prasodjo Muhammad.
Selain mirip satu sama lain, pengalaman supranatural para pendaki tersebut juga biasanya dihubungkan oleh satu benang merah: yaitu bahwa mereka mengalami gangguan karena telah mengusik lingkungan gunung yang mereka naiki dan menyinggung para penunggunya.
Keyakinan mengenai kekuatan-kekuatan gaib di balik gunung merupakan salah satu warisan orang-orang zaman baheula dalam memahami kerja-kerja alam; mereka mengeramatkan sungai dan pohon-pohon besar dan percaya bahwa manusia tidak boleh sembarangan memperlakukan semua itu jika tak mau dicelakai makhluk penunggunya.
Abad pencerahan dan perkembangan sains boleh saja membuat banyak orang mulai skeptis terhadap segala sesuatu yang sifatnya supranatural. Namun cerita tentang kualat atau, katakanlah, bernasib buruk karena mengganggu kelestarian lingkungan, dan bagaimana semua itu direpresentasikan melalui tindakan-tindakan makhluk selain manusia, selama ini tetap kita jumpai dalam berbagai teks budaya pop. Bahkan jenis novel, komik, film, dan berbagai produk budaya pop lain yang mereproduksi kengerian akibat persoalan ekologis itu memiliki sebutannya sendiri: ecohorror.
Stephen A. Rust dan Carter Soles, dalam Ecohorror Special Cluster: Living in Fear, Living in Dread, Pretty Soon We’ll All Be Dead (2014), menyebut bahwa istilah ecohorror telah banyak digunakan sejak pertengahan 1990-an dan seringnya mengacu pada teks-teks (budaya pop) tentang bagaimana alam menyerang balik manusia sebagai hukuman karena manusia telah mengganggu kelestarian lingkungan. Godzilla, misalnya, menjadi salah satu monster yang kerap disebut sebagai bagian dari kengerian ekologis, merespon akibat perang nuklir.
Rust dan Soles juga menggarisbawahi pemahaman ecohorror yang mencakup teks-teks mengenai perbuatan mengerikan manusia terhadap alam atau bagaimana teks dan kiasan-kiasan mengerikan dipakai untuk mengampanyekan kesadaran ekologis, mewakili krisis lingkungan, atau mengaburkan perbedaan antara manusia dan yang bukan manusia. ecohorror bisa juga dikatakan sebagai genre sekaligus mode atau bahkan wacana dalam industri budaya, yang menarasikan gangguan terhadap lingkungan dan pengaruhnya dalam hubungan antara dunia manusia dan yang bukan manusia. Yang bukan manusia ini tidak selalu mengacu pada monster atau jin, melainkan juga mencakup persoalan polusi, kepunahan spesies tertentu, hingga cuaca ekstrem.
Kajian mengenai ecohorror memang kebanyakan berkutat di seputar komik, novel, dan film. Namun Christy Tidwell dan Carter Soles, dalam Fear and Nature: Ecohorror Studies in The Anthropocene (2021), memberi pandangan bahwa ecohorror adalah mode yang cukup fleksibel. Artinya, dalam kajian ecohorror, intinya adalah bagaimana kita mengamati perkembangan budaya kita dalam urusan menggunakan media untuk menakut-nakuti diri sendiri dengan teror ekologis.
Narasi pengalaman klenik para pendaki dalam Youtube, seperti RJL 5 atau Prasodjo Muhammad bisa juga kita pandang sebagai bentuk ecohorror yang saat ini tengah populer di negara kita. Sebab cerita-cerita di kanal mereka kerap merefleksikan alam gunung sebagai titik tengah di antara relasi manusia dengan yang bukan manusia seperti jin, demit, hantu, roh jahat, binatang buas, hutan, dan lain sebagainya.
Sampai sini, saya kira menarik untuk mengatakan bahwa, dalam perkembangan teknologi serta media yang semakin canggih, narasi ecohorror kita justru banyak dipopulerkan melalui tuturan lisan, sebuah cara penyampaian pesan yang jauh lebih tua ketimbang novel, komik, sinetron, atau film.
Hal ini tentu saja tidak bisa kita pisahkan dari tren vlog maupun podcast yang memungkinkan siapa saja bisa memproduksi konten secara sederhana, bebas, bahkan tanpa ongkos produksi yang besar. Walhasil, imaji kita mengenai hantu di media saat ini tidak melulu didominasi oleh film-film atau sinetron yang diproduksi industri bermodal besar. Kini kita bisa mendengar bahkan menonton seseorang menuturkan pengalamannya diganggu roh jahat sebagaimana kita biasa menjumpai kawan sejawat menuturkan pengalaman klenik dalam obrolan-obrolan santai di warung.
Selain populer dengan bentuk tutur lisan yang klasik, hal menarik lainnya tentu saja muatan wacana dalam cerita-cerita pendakian di Youtube yang tetap merefleksikan keyakinan lampau leluhur kita mengenai kekuatan-kekuatan supranatural di balik kerja-kerja alam.
Pengalaman horor para pendaki sering digambarkan sebagai buah dari perbuatan mereka mengusik lingkungan gunung. Ayu, misalnya, yang teledor membuang pembalut di wilayah penguasa Ceremai sehingga Adi harus mengambil benda sialan itu di Batu Lingga supaya urusan dengan para demit gunung berakhir. Prasodjo juga pernah membacakan kisah horor pendaki yang berak sembarangan di Gunung Lawu dan jiwanya hampir tak terselamatkan. Intinya, narasi kualat.
Meski begitu, banyak cerita lain yang tidak secara eksplisit mengarah pada tindakan mencemari lingkungan. Cerita-cerita ini biasanya bersimpangan dengan aspek lain seperti perkara kesusilaan dan sebagainya. Misalnya, bagaimana demit-demit gunung kerap dikisahkan membenci para pendaki yang berhubungan seks di kawasan milik mereka. Lelembut gunung juga digambarkan membenci pendaki-pendaki yang gemar mengeluh, melontarkan kata-kata kasar, sombong, atau mengenakan pakaian dengan warnanya pakaian kebesaran bangsa mereka.
Namun demikian, setiap narasi agaknya selalu meruncing pada satu nilai: gunung adalah tempat yang sakral hampir seperti rumah ibadah. Maka ketika kita naik gunung, kita harus sangat menghormati setiap komponen alam di gunung tersebut, juga segala tabu yang menyertainya.
Begitulah tren ecohorror yang berkembang melalui cerita-cerita pengalaman supranatural di masyarakat kita. Alih-alih cerita fiksi tentang monster yang tercipta dari polusi, atau cuaca ekstrem yang berpotensi menyebabkan kiamat, ecohorror Indonesia direpresentasikan lewat teror demit penjaga gunung yang moralis.
Bisakah cerita-cerita horor pendakian gunung ini memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar tontonan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat perdebatan mengenai ecohorror itu sendiri.
Cerita ecohorror memicu respon berupa rasa takut dari audiensnya sehingga kerap dianggap merefleksikan ecophobia. Definisi yang dikutip Tidwell dan Soles menyatakan ecophobia sebagai kebencian yang irasional dan tidak berdasar terhadap alam. Kebencian itu mungkin hadir secara halus dalam kehidupan kita layaknya homofobia atau rasisme. Dalam perspektif ini, ecohorror dianggap telah merepresentasikan alam sebagai lawan yang menyakiti, menghalangi, mengancam, bahkan membunuh manusia karena manusia gagal menguasainya. Cara pandang tersebut mengamini pendapat yang mengatakan bahwa ecohorror hanya menghadirkan rasa putus asa dalam diri kita saat menghadapi pembalasan alam.
Walau demikian, tidak sedikit pemikir di sekitar isu lingkungan yang lebih optimis melihat rasa takut. Sebagian memandang bahwa ketakutan kadang-kadang dibenarkan dan perlu, terutama untuk mendongkrak kepedulian orang terhadap alam sehingga bisa memicu perlawanan atas berbagai kegiatan yang merusak lingkungan.
Lebih jauh, dalam perkembangannya, cerita-cerita ecohorror juga kemudian dipandang melampaui ecophobia itu sendiri. Karena, alih-alih sekadar menekankan kengerian ekologis yang menciptakan rasa takut dalam diri audiens terhadap alam, ecohorror justru mampu merefleksikan relasi yang kompleks antara manusia dengan alam atau segala yang bukan manusia.
Sejauh ini tren horor pendakian Gunung, seperti yang muncul dalam kanal Youtube RJL 5 dan Prasodjo Muhammad, memang lebih dominan menonjolkan sisi keseraman demit ketimbang nilai-nilai moral tentang menjaga kelestarian alam. Sebab, kepentingan mereka cenderung mengarah pada upaya mendulang views melalui konten horor yang banyak disukai masyarakat, ketimbang menyuarakan isu-isu lingkungan. Namun, kisah horor para pendaki yang mereka hadirkan setidaknya membuka kesempatan untuk membicarakan lebih serius atau bahkan menggarap karya-karya yang lebih mendalam tentang relasi manusia dan alam—termasuk makhluk-makhluk lain yang bukan manusia.