Batu kristal yang satu ini tidak kalah berharganya dari safir kristal yang bernilai jutaan rupiah. Garam sudah seperti bumbu kehidupan bagi manusia yang bahkan sering digunakan dalam peribahasa. Salah satu pusat produsen garam Indonesia berada di Pulau Jawa. Eksistensinya telah ramai diperbincangkan sejak zaman kerajaan di Nusantara. Banyak bangsa asing berdatangan dan memonopoli hasil garamnya yang melimpah, salah satunya adalah bangsa Cina.
Garam merupakan salah satu produk populer di dunia sejak zaman kuno. Bumbu satu ini memiliki 1001 kegunaan bagi kehidupan manusia. Pada masa Dinasti Zhou Barat (1046-771 SM), garam digunakan sebagai persembahan untuk dewa dalam ritual keagamaan. Bangsa Tiongkok sendiri dikisahkan sudah mengenal garam selama 4000 tahun. Ada sebuah suku penghasil garam di pantai timur Tiongkok yang dipimpin seseorang bernama “Susha” yang kemudian berevolusi menjadi dewa garam. Garam juga biasa digunakan sebagai bahan pengawet. Contohnya daging asin yang telah menjadi produk rumah tangga populer di Tiongkok pada periode negara-negara berperang pada akhir zaman perunggu (Warring States, 475-221 SM).
Garam juga menjadi komoditas yang diperjualbelikan antar bangsa pada era perdagangan maritim. Sebagai bangsa maritim, Indonesia tidak terlepas dari masa-masa tersebut. Garam menjadi komoditas ekspor dari kerajaan-kerajaan terutama di wilayah pantai utara Jawa yang dikirim ke beberapa kawasan di Asia Tenggara oleh para penguasa pribumi. Kekayaannya pula membawa banyak bangsa asing berbondong-bondong mengeksploitasi hasil alamnya. Salah satunya adalah bangsa Cina yang sudah bermain peran cukup lama pada bidang perdagangan garam.
Garam juga digunakan sebagai alat tukar dalam perdagangan kuno layaknya uang. Didukung dengan wilayah lautnya yang luas, garam sangat berpotensi dikembangkan sebagai produk ekspor wilayah Nusantara. Beberapa daerah di Nusantara memiliki metode pembuatan garam dipengaruhi metode dari Hokkien yang sudah sejak lama digunakan petani garam di Fujian pada awal pemerintahan Dinasti Ming.
Cina telah memiliki ketertarikan pada garam di Jawa sejak lama. Hal ini mulai tampak pada masa Xin Tang Shu yang menyebutkan tentang mata air bergaram di Kuwu. Dahulu Kuwu berada di perbatasan barat wilayah dari Medang. Tempat ini sangat terkenal dengan gunung lumpurnya. Lumpurnya payau dan sudah sejak dahulu dimanfaatkan oleh penduduk sebagai sumur garam untuk menghasilkan garam yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal. Sumur ini diketahui oleh orang-orang Cina pada masa Dinasti T’ang. Dalam catatan dinasti T’ang yang menyebutkan tentang Kaling, merujuk pada Jawa, terdapat informasi tentang sebuah gua yang air garamnya bisa menggelembung secara spontan. Air asin di Jawa ini hanya ada di Kuwu dekat dengan Sungai Lusi yang sekarang menjadi tempat petani garam biasa memanen garam.
Produksi dan ekspor garam di Jawa pada awalnya dikontrol oleh para penguasa pribumi. Namun, lambat laun sebagian besar usaha tersebut dikuasai orang-orang Cina. Di Madura, para raja menjalankan sistem penjualan garam dengan caranya sendiri. Garam digadaikan terlebih dahulu ke orang-orang Cina. Setiap tahun, raja Madura menerima uang sebesar f2000. Namun harga garam di pasaran hanya dihargai f5 sampai 6 untuk setiap koyangnya.
Sistem pembelian gadai ini sangat menguntungkan orang-orang China. Ekspor-impor garam dari dan menuju Pulau Jawa yang dilakukan secara cuma-cuma tanpa dipungut pajak itu sangat menguntungkan pembeli yang menggadaikannya. Izin ini bermula ketika Plakaatboek mengenai garam pada 1648. Orang Cina Conjok yang telah memasang kuali-kuali garam di sebelah barat Batavia diizinkan melakukan ekspor dan diberi hak bebas bea asal garamnya dapat memenuhi kebutuhan Kompeni dan kaum burgher dengan harga yang ditetapkan yakni 8 rial dalam sekali muatan. Namun, peraturan ini kemudian dibatalkan pada 1654 karena kualitas garam yang menurun.
Pukulan keras bagi pengusaha Cina yang menekuni dunia garam di Jawa terus terjadi setelah mereka berhasil menerima keuntungan secara besar-besaran. Hal ini bermula pada masa kekuasaan Raffles di tanah Jawa. Ia menghapus sistem hak gadai yang sudah ada sejak lama dan mengambil alih pengelolaan garam yang dikuasai Cina. Di Madura, Raffles memberi imbalan raja Madura sebesar f5000 per tahun dan garam koyang sebanyak 50 buah pasca persetujuan itu. Garam itu digunakan untuk keperluan raja sementara uang tersebut sebagian digunakan untuk membayar kembali para pembuat garam.
Pengelolaan garam diawasi oleh kepala pengelolaan garam se-Jawa dan Madura yang diangkat oleh Raffles. Luas tanahnya dibagi menjadi tiga bagian dan masing-masing dipimpin seorang agen. Dan bagian tersebut juga masih dibagi dalam beberapa tempat lagi. Pada masa tersebut ada pusat dan pusat khusus sementara agen hanya sebagai eksekutor.
Pasca berakhirnya kekuasaan Inggris, monopoli garam kembali jatuh di tangan Pemerintah Kolonial Belanda. Pemerintah mengambil alih tambak-tambak besar milik orang Cina seperti di Gresik dan Sumenep. Pada 1818, produksi dan perdagangan garam sepenuhnya berada di bawah kontrol para residen di daerah-daerah. Namun keputusan ini dianggap gagal karena pemasukan berkurang sehingga diterapkan kembali pengelolaan modern yang telah diterapkan Raffles sebelumnya di bawah kontrol direksi dan dewan keuangan.
Pasca terjadinya Perang Jawa 1825-1830 yang mengakibatkan defisit keuangan, Pemerintah Kolonial pada 1929 membuat kebijakan untuk menyewakan pengolahan garam kepada pihak swasta (pachter). Para pachter tersebut berkoordinasi langsung dengan pemerintah. Hal ini kembali menjadi awal orang-orang Cina muncul kembali sebagai pengusaha garam yang berperan sebagai pachter atau penyewa yang mana hal tersebut sama halnya merugikan pribumi.
Pada 25 Februari 1882 dikeluarkan kebijakan tentang monopoli garam oleh Pemerintah Hindia Belanda. Peraturan ini terus disempurnakan dari tahun ke tahun. Dalam peraturan tersebut tertulis bahwa pembuat garam hanya bisa membuat garam atas izin pemerintah atau milik pemerintah itu sendiri. Aturan ini berlaku di beberapa wilayah penghasil garam seperti Pulau Jawa dan Madura, Bengkulu, Lampung, Palembang, dan lain-lain. Sementara itu produksi garam di Kuwu tidak dikenai aturan ini namun para produsen harus membayar pajak sebesar 50 sen per pikul.
Kegiatan impor ke wilayah-wilayah yang menjadi penghasil garam yang dituliskan dalam kebijakan Pemerintah Hindia Belanda juga dilarang kecuali dilakukan oleh pemerintah sendiri. Hanya pelabuhan-pelabuhan tertentu yang dapat digunakan sebagai pintu keluar masuk komoditi garam. Kegiatan monopoli garam juga semakin diperhatikan oleh Pemerintah Kolonial dengan dibentuknya jabatan khusus yang menangani bidang tersebut yakni Kepala Dinas Monopoli Garam (Hoofd van den Dienst der Zoutregie). Kebijakan ini mulai menampilkan titik terang dengan menunjukkan hasil ekspor garam terus meningkat pada periode tersebut. Pada 1902 sebesar 9.456.466 gulden, tahun 1913 sebesar 12.633.988 gulden, tahun 1922 sebesar 17.221.346 gulden, dan tahun 1931 sebesar 27.172.378 gulden.
Sayangnya nasib negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dalam membangun ”negara garam” ini harus berakhir tragis. Setelah mengalami berbagai kondisi, garam rakyat asal Indonesia justru semakin kehilangan eksistensinya pasca kemerdekaan. Bangsa yang sebelumnya aktif melakukan ekspor garam kini harus melakukan impor garam demi memenuhi kebutuhan garam dalam negeri. Pemerintah RI belum menempatkan garam sebagai komoditas strategis yang sebenarnya menguntungkan apabila dikelola dengan baik. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir ini kegiatan impor garam terus meningkat yang semakin menunjukkan tidak adanya peran signifikan pemerintah dalam pengaturan komoditas garam.