#Corecore, Ketidaknyamanan sebagai Estetika Generasi TikTok

Di antara semua tren TikTok yang pernah eksis–kecuali tren video kucing dan anjing–yang paling menangkap perhatian saya adalah #corecore. Video pertama yang saya tonton dari genre ini dibuka oleh perempuan yang mengeluhkan pekerjaan korporatnya setelah enam bulan, lalu berpindah ke video cara seseorang menghabiskan uang jajan sebesar $15.000, diikuti dengan video “hari di hidupku setelah dipecat dari Google”. Video-video yang dijahit selanjutnya jauh lebih acak, tapi jauh lebih suram dan memberikan perasaan bahwa kita semua terjebak di neraka kapitalisme. 

 

Tapi yang menjadi pertanyaan, #corecore itu apa sih?

 

Pencarian pertama membawa saya ke laman Know Your Meme. #corecore didefinisikan sebagai totalitas dari semua ‘#-core’ yang pernah ada. Ini berarti menggunakan meme gen Z yang tak punya konteks dan maksud yang jelas (‘schizoposting’) dengan kualitas gambar atau video yang ultra jelek (‘deepfried’).

 

Genre ‘-#core’ sendiri sebetulnya sudah ada jauh sebelum internet, seperti genre musik hardcore. Penggunaan ‘-core’ dalam konteks internet dan tak ada hubungannya dengan musik baru masuk di tahun 2013 lewat genre ‘normcore’. Istilah ini muncul dari K-Hole, kolektif fesyen yang memprediksikan tren fesyen tahun itu tidak lagi terfokus pada keunikan individual, tapi mengikuti selera normie alias orang-orang biasa karena menjadi unik sendiri sudah terlalu mainstream. 

 

Dari #normiecore, muncul jenis #core baru yang lebih fokus terhadap estetika yang dipecah menjadi genre yang lebih kecil, seperti #cottagecore, #brokecore, #barbiecore, #balletcore, dan masih banyak lagi. Genre-genre #core ini baru muncul di Tumblr pada tahun 2018, yang akhirnya diikuti oleh #corecore di tahun 2020 sebagai respon terhadap banyaknya genre #core yang muncul. 

 

Meski bernama sama, tren #corecore di Twitter dan Tumblr tahun 2020 jelas berbeda dengan #corecore TikTok tahun 2021. Apabila #corecore di Twitter dan Tumblr muncul sebagai parodi dari genre #-core, TikTok justru menggunakan istilah ini untuk merujuk pada video-video yang menggabungkan media dari berbagai medium dan genre, tapi punya pesan yang sama: pandangan negatif terhadap kehidupan modern, atau lebih spesifiknya lagi, bagaimana kapitalisme dan misogini menyedot semua harapan dan kebahagiaan dari setiap ceruk kehidupan.

 

[bikin slide tiktok keinspirasi sama #corecore, masukin cuplikan skrinsot dari American Psycho, Cyberpunk 2077, Fight Club, EEAAO dengan meme schizo yang aneh-depresif – contoh: (1) https://www.tiktok.com/@wordpocket17/video/7177609800271039790?is_from_webapp=1&sender_device=pc&web_id=7187702685088253442; (2) https://www.tiktok.com/@nichelovercore/video/71830427087380909354?is_from_webapp=1&sender_device=pc&web_id=7187702685088253442; (3) https://www.tiktok.com/@diosgf.fr/video/7186001049969413422?is_from_webapp=1&sender_device=pc&web_id=7187702685088253442]. 

 

Video-video ini banyak ditonton karena ia berhasil memantik perasaan ke para penontonnya–dari spektrum positif sampai negatif. 

 

Dari segi artistik, #corecore bisa disebut sebagai bukti bahwa tren editing di TikTok sudah cukup matang. Bahkan mungkin bisa dibilang #corecore merupakan jenis edit video yang sangat khas TikTok: berbagai media dijahit, dicampur, dibuat se-random mungkin, tapi pada akhirnya bisa membuat poin yang koheren. 

 

Lebih dari itu, HyperAllergic menyebut kekacauan yang dihadirkan oleh #corecore mirip dengan gerakan dadaisme. Sebagai gerakan seni yang lahir di Perang Dunia I, dadaisme mengungkapkan absurditas aspirasi-aspirasi borjuis yang memicu dan mempertahankan perang. Ditarik lebih lanjut, dadaisme menolak sistem, kebenaran, jawaban, dan bahkan kebenaran. Dada ada untuk membuat penonton tak nyaman dan memaksa kita untuk mengevaluasi pandangan kita terhadap dunia. Mirip dengan #corecore, ‘kan?

 

Namun layaknya dada, efek #corecore terhadap jalannya dunia bisa dibilang minim. Apalagi argumen politik yang dibawa oleh #corecore tidak begitu eksplisit, hanya menunjukkan bahwa hal-hal buruk di dunia diakibatkan oleh kapitalisme dan patriarki. Apalagi genre ini juga tak memberikan solusi yang konkrit. 

 

Genre ini juga mengingatkan saya pada kampanye presiden fiktif Nurhadi-Aldo yang saya teliti 4 tahun yang lalu. Sebagai gerakan internet, Nurhadi-Aldo bahkan jauh lebih politis dan menarget masalah spesifik, tapi tetap mengusung selera humor gen Z dan millennial yang absurd. Pun gerakan ini gagal membuat perubahan yang berarti dan berujung menjadi meme obskur. Alasannya sesimpel bahwa banyak orang apolitis dan hanya bersikap sebagai konsumen pasif.

 

Moral ceritanya, jangan berharap banyak terhadap ekspresi ketidakpuasan di internet. Karena buat apa aktivisme digital kalau tak ada gerakan langsung?