Cowok-Cowok Badung dari Zaman ke Zaman, Ali Topan hingga Dilan

Cowok-Cowok Badung dari Zaman ke Zaman, Ali Topan hingga Dilan

Ada kalanya industri film di Indonesia menampilkan tema-tema remaja yang melahirkan tokoh idola. Film bertema kisah remaja itu lantas membentuk dunianya sendiri. Para pemainnya menjadi idola idola baru anak muda pada waktu itu. Film-film tersebut jadi pilihan hiburan teratas.

Melihat potensi pasar yang besar ini, para pembuat film akhirnya membidik peluang ini. Pada 1970an 1980an misalnya, film bertema remaja menjamur. Dalam perjalanannya, film-film ini tidak hanya menyajikan hiburan dan gambaran tentang dunia remaja di Indonesia. Lebih jauh, sebagai film yang secara spesifik bicara tentang remaja, film-film ini memuat asumsi-asumsi ideologis tertentu terkait dengan realitas remaja. Ditambah lagi, situasi sosial politik membuat film ini mampu mewakili semangat zaman.

Tonton saja film Yang Muda, Yang Bercinta (1977). Film yang disutradarai oleh Sjuman Djaya ini bercerita tentang Sony (WS Rendra), mahasiswa dan penyair yang belum punya penghasilan tetap. 

Dalam kondisi bokek dan jiwa remaja yang menggebu, Sony masih dibiayai ayahnya (Maruli Sitompul), seorang pensiunan pegawai negeri jujur. Ia marah dengan kondisi miskin sang ayah. Hal ini berbanding terbalik dengan pamannya yang kaya raya tapi hartanya tidak diperoleh dengan cara-cara halal (Sukarno M. Noor). 

Tapi Sony masih terlalu mentah untuk tahu makna kejujuran. Kesenjangan sosial antara kekayaan paman, sahabatnya dengan lingkungan pribadi dan pacarnya, Titiek (Yati Octavia) jadi masalah bagi Sony. Kemarahan Sony kepada ayahnya makin berlipat-lipat. 

“Saya tak mau seperti bapak. Bapak jujur dan baik. Tapi sayang bapak macet,” kata Sony suatu waktu.

Kemarahan yang dimulai dari rumah ini ia tampilkan dalam bentuk puisi. Sikap Sony yang gemar protes, darah muda yang mendidih dan gesekan antar generasi menjadi premis film ini.

Memasuki pertengahan 1990an, film Indonesia mengalami mati suri. Jumlah judul film turun drastis.  Film remaja tak banyak lagi diproduksi. Namun, setelah mengalami kelesuan produksi, seiring dengan krisis yang melanda dunia perfilman Indonesia pada 1990an, film bertema remaja kembali menjadi ujung tombak di awal dekade 2000an, terkhusus cinta.

Anda boleh tidak percaya jika banyak orang yang bermimpi menjadi Rangga saat film Ada Apa Dengan Cinta dirilis pada tahun 2002 lalu. Sayangnya, tak semua orang bisa berpuisi atau berwajah setampan Nicolas Saputra. Ya begitulah, tiap generasi mencari idolanya sendiri. Berikut saya akan menyodorkan beberapa tokoh yang karakternya menjadi idola.

Ali Topan

Ali Topan merupakan tokoh dalam karya Teguh Esha yang merupakan cerita bersambung yang dimuat di majalah Stop pada tahun 1972. Lima tahun setelahnya, Teguh Esha mengekranisasikan karya tersebut dalam bentuk film dengan judul yang berjudul Ali Topan Anak Jalanan (1977). Junaedi Salat didapuk menjadi Ali Topan. Sedangkan Yati Octavia memerankan sosok Anna Karenina, kekasih Ali Topan.

Ali Topan adalah anak Kebayoran di zamannya yang marah dengan kondisi keluarga. Bapaknya khas bapak-bapak Orde Baru yang begitu mengagumi pembangunan dan gemar cari selingkuhan. Jalanan pun jadi rumah karena tak ada kasih sayang di rumah. Kemarahan Ali makin tak terbendung. Ia makin ugal-ugalan. Cinta remaja berujung nestapa. Pacarnya hamil. Orang tua sang pacar tak setuju.

Merujuk Korrie Layun Rampan dalam bukunya Perjalanan Sastra Indonesia (1983), Ali Topan sarat dengan kritik sosial yang tajam. Di kesempatan yang lain, Korrie menyatakan bahwa tokoh Ali Topan merupakan prototipe remaja tahun 1970an: ekspresif, brutal dan jenius.


Lupus

Lupus sama dengan Ali Topan: sama-sama anak Jaksel. Bedanya dia tak sebrutal Ali Topan. Lupus juga bermula dari novel berjudul berjudul Lupus I: Tangkaplah Daku Kau Kujitak Lupus yang terbit pada Desember 1986 Seminggu usai diterbitkan, buku tersebut laku 5 ribu eksemplar. 

Setahun berselang, Lupus kemudian difilmkan. Lupus yang diperankan oleh  Ryan Hidayat ini merupakan remaja SMA yang punya rambut jambul dan suka mengunyah permen karet. Ia dibesarkan dari keluarga kelas menengah. Di rumah ia tinggal bersama ibu dan adiknya yang bernama Lulu. Tak ada kemarahan dalam diri Lupus. Ia dengan sendirinya menjadi anti hero. Ia bukan jagoan, tapi punya banyak teman. Ia tak nakal, tapi hanya usil khas remaja, Lupus juga bukan tokoh yang kurang ajar macam Ali Topan atau Sony yang berani melawan orang tua.

Lupus menjadi alternatif idola kalau kamu merasa di sekolah kamu bukan orang yang brutal atau doyan bertindak kriminil. Kepopuleran Lupus berumur panjang. Pada 1995, cerita Lupus berubah menjadi sinetron yang ditayangkan di Indosiar.

Si Boy

Jika kamu tak lahir dari keluarga kaya raya, atau kamu tak hidup di kota besar, rasanya mustahil menganggap diri kamu adalah Boy. Boy adalah kebalikannya. Ia lahir di kota besar dari keluarga kaya raya. Karakter si Boy merupakan tokoh yang diambil dari film Catatn Si Boy yang dirilis pada tahun 1987.

Karakter Boy ini terlampau maskulin dan hedon sekali.  Berkali-kali saya menonton ini, berkali-kali pula saya merasa jika si Boy tak cocok untuk saya idolai. Saya tak dekat dengan dunia malam, perkelahian dan berebut perempuan. Ah, terserah Boy.


Balada Si Roy

Pada 13 Oktober 2022 lalu, Balada Si Roy diputar perdana sebagai film pembuka Jakarta Film Week 2022. Film ini juga ditayangkan di Festival Film Internasional BaliMakãrya pada 18 Oktober 2022 dan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival pada 29 November 2022.

Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Gol A Gong ini menceritakan sosok Roy yang hidup dalam petualangan. Bagi Roy, semua tempat harus ia taklukkan. Bersama anjing kesayangan bernama Joe, tiap hari ia bepergian demi mencari jati diri. 

Ia menjadi murid pindahan dari Bandung ke Serang. Di sekolah barunya itu, ia mendapat beberapa teman, termasuk Ani, gadis manis. Keduanya pun saling jatuh cinta. Tapi sekolah baru tak selalu menyenangkan. Di sekolah ia harus melihat kawan-kawannya dihinakan oleh geng bernama Borsalino. Geng ini diketuai oleh Dullah, anak penggede di Serang.

Roy geram bukan main. Menurut Roy, semua manusia setara dan tak pantas jika masih ada yang direndahkan. Sifatnya yang membenci penindasan ini. Tapi tak bisa dipungkiri, ketika membacanya di kemudian hari, saya mengkritik karakter Roy. Menurut saya, Gol A Gong sebagai pengarang begitu berusaha menunjukkan superioritas laki-laki yang nggak karu-karuan. 

Laki-laki, dalam imaji Roy adalah makhluk yang kuat dan tak boleh cengeng. Salah salah satunya bisa dilihat saat kawan Roy, Toni baru mengalami kecelakaan. Toni sedih bukan main. Kakinya akan diamputasi. Dalam keadaan teman yang sedang tepuruk itu, alih-alih menguatkan Roy malah menyemangati Toni dengan cara nyebelin: jangan cengeng dan kayak banci.

Eh Roy, gimana maksudnya?


Dilan

Kata orang, Dilan adalah Pidi Baiq 1990an. Saya nggak peduli. Tapi meski demikian, harus diakui Dilan memberi dampak besar bagi remaja hari ini. Baik novel atau filmnya, membuat pembaca dan penonton remaja terbawa perasaan dan terpengaruh sosok Dilan. Dilan adalah anak muda Bandung yang suka mengendarai motor dan ugal-ugalan di jalan.

Ia juga digambarkan sebagai sosok yang egois dan suka melawan guru. Tapi ia sosok yang humoris. Termasuk lucu ke orang terdekat. Banyak perempuan yang terpesona pada Dilan, salah satunya Milea. Cintanya jatuh ke Milea setelah melontarkan berbagai kalimat gombal yang bikin saya mengernyitkan dahi.

Jangan rindu. Ini berat. Kau takkan kuat. Biar aku saja.

Entahlah kenapa saya sama sekali tak berminat dengan karakter Dilan. Mungkin karena membaca novelnya di umur yang sudah dewasa kali, ya? Meski saya juga gak yakin sih apakah saya bakal kagum sama Dilan andai baca novel atau nonton filmya pas masih sekolah.

***


Kalau harus milih, saya mau jadi Ali Topan atau Lupus deh. Di antara dua itu pokoknya. Kalau kamu?