Cuma Primus Yustisio Pejabat yang Juga Sobat Anker

Di hari Minggu yang lumayan mendung, saya menaiki MRT dari stasiun Blok A. Lalu turun di stasiun Bundaran HI untuk lanjut jalan kaki ke halte Bundaran HI. Dari luar bangunan ini terlihat megah, tapi imaji itu langsung buyar ketika masuk ke dalam. Untuk halte sebesar ini, hanya ada tiga mesin tiket dengan ruang berdiri yang sempit. Hanya ada dua orang petugas halte yang mengurus tiket; keduanya kewalahan mengurusi calon penumpang yang tiketnya bermasalah. Antrian kacau dan saya mulai sebal. 

 

Sepuluh menit kemudian antrian mulai lancar karena mesin tiket kembali bekerja. Tapi jangan harap di dalam lebih lega—justru lebih kacau karena puluhan orang berjubel dalam ruang tunggu yang tak kalah sempit. Untungnya, semakin ke dalam volume orang semakin menipis. Pandangan saya beralih ke monitor kedatangan bus, melihat angka estimasi kedatangan bus rute 1 berubah dari 3 menit menjadi 15 menit.

 

Estika #1, Fungsionalitas #Sekian

 

Untuk kota dengan transportasi paling terintegrasi se-Indonesia Raya, transportasi publik Jakarta masih perlu diperbaiki. Cerita di atas mengilustrasikan apa yang salah: 1) halte/stasiun yang mengutamakan estetika daripada fungsionalitas; 2) mesin tiket terbatas dan sering eror; 3) waktu estimasi kedatangan (kecuali MRT, itu pun karena hanya melayani satu jalur) yang tak bisa diandalkan; dan terakhir 4) waktu tempuh lama karena keterbatasan koridor yang memaksa bus-bus ini berputar-putar. 

 

Seiring dengan waktu, perbaikan fasilitas dan rute terus bergulir. Revitalisasi halte yang akhir-akhir ini digencarkan pemerintah DKI Jakarta adalah langkah positif. Halte baru terasa lebih manusiawi karena—akhirnya!—punya toilet dan mushola (!) yang layak. Dua fasilitas yang seharusnya sudah dibuat sejak beroperasinya Transjakarta pada 2004 baru direalisasikan 2 dekade setelahnya. 

 

Namun begitu, revitalisasi halte terus melahirkan kontroversi. Bagi pengguna kendaraan pribadi, pembangunannya membuat kondisi jalanan semakin macet. Sedangkan bagi urbanis dan penjaga cagar budaya, pembangunannya justru merupakan mimpi buruk. Pemicunya? Halte Bundaran HI.

 

Urbanis dan ahli cagar budaya menganggap halte dua lantai ini menghalangi cagar budaya Monumen Selamat Datang, Hotel Indonesia, dan Sarinah. Ketiganya merupakan landmark warisan Sukarno, Edhi Sunarso, dan Henk Ngantung yang menandakan perubahan dari ibukota kolonial ke ibukota nasional. Tapi malah berakhir dipaksa ‘mengalah’ dengan halte dua lantai tersebut, seperti yang ditulis sejarawan JJ Rizal. 

 

(1) JJ Rizal on Twitter: "pak gubernur @aniesbaswedan mohon stop pembangunan halte @PT_Transjakarta tosari-bundaran hi yg merusak pandangan ke patung selamat datang en henk ngantung fontein warisan presiden sukarno dgn gubernur henk ngantung sbg poros penanda perubahan ibukota kolonial ke ibukota nasional https://t.co/tSGkKSZYRn" / Twitter

 

Kecaman serupa juga dilayangkan oleh Ketua Tim Sidang Pemugaran (TSP) DKI Jakarta Boy Bhirawa. Pembangunan halte tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sedangkan arsitek Bambang Eryudhawan menyatakan halte Bundaran HI mengganggu kenyamanan peradaban kota. Menurutnya, halte sudah seharusnya berfungsi sebagai halte saja, bukannya ikut merangkap sebagai atraksi turis. 

 

Kekhawatiran mereka memang punya landasan kuat. Pasalnya, pemerintah Jakarta punya dosa besar dalam penghancuran cagar budaya. Tapi pemerintah bisa saja berdalih ini adalah cara untuk merevitalisasi fasilitas umum untuk membuat Jakarta yang lebih modern dan mendorong masyarakat untuk lebih sering menggunakan transportasi umum. Dengan logika seperti ini, maka tak heran pemerintah akan mengikuti logika pasar. Kebetulan saja logika pasarnya mendikte fasilitas umum harus dibuat se-Instagrammable mungkin. 

 

Pejabat Kecanduan Mobil

 

Masalah-masalah di atas hanya bisa lahir dari pejabat yang jarang—atau bahkan tak pernah—memijakkan kaki di transportasi publik. Ya buat apa menggunakan transportasi publik, kalau negara sendiri sudah menyediakan kendaraan dinas? Aturan ini tertuang Permenkeu 76/2015 yang menspesifikasikan kendaraan dinas yang bisa didapatkan para pejabat.   

 

 

Sumber: Spesifikasi Kendaraan Dinas Pejabat - Klinik Hukumonline

 

Aturan ini memang tidak mewajibkan pejabat untuk menggunakan kendaraan dinas mereka. Laode Ida saat menjabat wakil DPD RI mengembalikan mobil dinas seharga Rp 1,3 milyar ke negara karena merasa tak pantas hidup mewah kala rakyat masih sengsara. Tapi ia merupakan pengecualian—banyak pejabat negara yang justru ogah mengembalikan mobil dinas mereka setelah masa dinas selesai. 

 

Hal ini hanya bisa terjadi karena aturan soal mobil dinas itu sendiri. Aturannya menyatakan tiap pejabat eselon IV harus mendapatkan mobil dinas mewah dengan dalih “menunjang pekerjaan pejabat”. Berhubung pejabat-pejabat merasa sudah bekerja untuk rakyat dan kepalang nyaman dengan mobil dinas, mereka tak mau mengembalikan properti negara. Atau kalau ditarik lebih jauh lagi, mereka merasa tidak setara dengan rakyat yang mereka pimpin, sehingga menggunakan mobil dinas—yang harus diakui punya prestise dan privilese tersendiri—terasa seperti kewajiban. 

 

Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), melihat ini sebagai isu yang harus segera diselesaikan. Pada tahun 2013, ia mempertimbangkan peraturan untuk mewajibkan pejabat dan PNS DKI Jakarta untuk menggunakan transportasi publik selama sehari. Ia juga mencontohkan Jokowi yang bersepeda ke kantor tiap hari Jumat, sebagai contoh pejabat yang patut ditiru.

 

Tapi implementasinya sampai sekarang masih 0. Justru ketika Jokowi naik menjadi presiden, para pejabat pemerintahannya masing-masing mendapat mobil dinas di atas Rp 1 miliar. Pemerintahannya pula yang mencanangkan akan mengubah mobil dinas dari mobil BBM ke mobil listrik, alih-alih mengakselerasi pembangunan transportasi publik dan mendorong pejabat untuk menggunakannya. 

 

Pun sejauh ini baru anggota DPR Primus Yustisio yang rutin menggunakan KRL sejak 2015. Itu baru 1 dari 575 anggota DPR, belum menghitung pejabat eselon IV dari kementerian, pemerintah provinsi, dan lembaga negara lainnya. Kalau begitu, ya jangan harap transportasi publik akan lebih banyak dibangun dan manusiawi. Fasilitas transportasi umum selanjutnya mungkin bakal terlihat seperti halte Bundaran HI: hanya enak dilihat dari luar, tapi kacau di dalam.