Dari Perang dan Jalanan ke Lapangan

Ketika sepakbola memulai kampanye berbau politik, entah itu dukungan untuk hak-hak LGBT, kesetaraan gender, penolakan terhadap rasisme, perang, hingga islamofobia, pasti muncul suara “jauhkan politik dari sepakbola!”.

Ini hal yang aneh. Suporter sepakbola jelas punya pandangan politik, begitu juga pemain sepakbola. Pengurus asosiasi sepakbola tingkat negara dan federasi regional jelas-jelas harus berpolitik untuk melaksanakan tugasnya. UEFA atau FIFA misalnya, ketika berbagai asosiasi sepakbola negara menolak bermain melawan Rusia setelah invasi mereka ke Ukraina, mau tidak mau mereka harus mengambil keputusan untuk mencekal negeri beruang merah agar turnamen tetap berjalan.

Tidak hanya mempengaruhi petinggi sepakbola, tensi yang berasal dari isu sosial-politik dari negara asal pemain/suporter juga bisa termanifestasi di lapangan. Pertandingan sepakbola jadi lebih panas karena pemain dan suporter punya motivasi lebih untuk mengalahkan lawan. Tidak jarang ini membuat permainan jadi lebih keras, lebih emosional, dan lebih banyak drama.

Di turnamen Euro kali ini, beberapa tim yang ikut memiliki rivalitas yang termotivasi oleh masalah sosial-politik, entah itu karena konflik di masa lalu, perbedaan pandangan politik, hingga perbedaan budaya. Tapi tentu saja karena ini adalah rivalitas di sepakbola, hal yang terjadi di lapangan juga menjadi pemanas persaingan ini.
Dari Perang Dunia ke Lapangan Hijau
Rivalitas tak akan ada tanpa konflik. Bagi banyak negara Eropa, sumber dari rivalitas itu adalah Perang Dunia II. Jerman, yang dulunya menjadi agresor utama di peristiwa itu, sekarang menjadi korban. Sentimen anti-Jerman muncul dimana-mana, terutama di Belanda. 

Sentimen anti-Jerman sebetulnya bukan hal baru di Belanda. Kemunculan sentimen ini bisa ditelusuri dari abad ke-17, ketika Belanda yang saat itu sudah makmur dibanjiri oleh ribuan imigran Jerman—Yahudi, Kristen Lutheran, orang-orang miskin—yang kabur dari peperangan. Sentimen ini menurun seiring dengan berjalannya waktu, tapi muncul lagi ke permukaan di Perang Dunia II. Nazi Jerman menduduki Belanda yang mengambil posisi netral kala itu, membunuh 100 ribu lebih Yahudi Belanda dan puluhan ribu tentara Belanda, serta menciptakan bencana kelaparan di tahun 1944-1945.

Kekejaman Jerman begitu membekas di hati sampai banyak dari mereka yang menolak menapak kaki ke tanah Jerman. Rasa sakit hati ini juga dibawa sampai ke lapangan hijau. Kekalahan Belanda melawan Jerman Barat di final Piala Dunia 1974 begitu traumatis sampai diingat sebagai de moeder aller niederlagen alias ibu dari segala kekalahan. Apalagi Belanda kala itu menjadi favorit juara karena inovasi taktik Total Football mereka. Makanya, takluk 2-1 terasa seperti tamparan keras.

Sentimen anti-Jerman ini juga disebabkan oleh banyaknya suporter dan pemain yang merasakan langsung dampak dari Perang Dunia II.  Wim van Hanegem adalah salah satunya. Dia kehilangan saudara lelaki dan perempuan dari pengeboman yang dilakukan oleh Nazi. Kematian mereka meninggalkan bekas yang mendalam sampai-sampai ia dikenal sebagai pemain yang paling vokal menyuarakan kebenciannya terhadap tim Jerman. Konon, Johan Cruyff waktu itu mencoba meyakinkan Hanegem untuk bergabung ke pesta penutup Piala Dunia. Tapi karena Hanegem tahu bahwa akan ada pemain Jerman di situ, dia menjawab, “Tidak mungkin aku bisa melakukannya, Johann. Tidak setelah apa yang mereka lakukan. Aku membenci mereka dan akan tetap begitu selamanya.”

Bagi para pemain Jerman, mereka menyayangkan bagaimana kebencian yang berasal dari Perang Dunia II disalurkan di pertandingan sepakbola. Walau begitu, mereka tidak banyak membalasnya karena menghindari membicarakan hal itu. Namun ini bukan berarti mereka sekedar pasrah menghadapi permainan kasar dari pemain Belanda. Permainan antar dua negara selalu berjalan keras.

Kepahitan kekalahan di Piala Dunia belum bisa dibalas Belanda hingga Euro 1988. Saat itu, Belanda berhasil mengalahkan Jerman yang menjadi tuan rumah di semi final. Belanda akhirnya menjadi juara setelah menang melawan Uni Soviet, tapi selebrasi besar sudah dilakukan setelah laga semi final. Pelatih Belanda kala itu, Rinus Michael, bahkan menyatakan dengan gamblang, “Kita memenangkan turnamen, tapi kita semua tahu bahwa semi final adalah final sesungguhnya.”

Laga Jerman-Belanda kembali berjalan keras di Piala Dunia 1990. Laga ini diingat karena dua kartu merah yang diberikan ke pemain Belanda, Frank Rijkaard, dan pemain Jerman, Rudi Voller. Saat itu, Rijkaard mendapatkan kartu kuning yang akan memberikannya hukuman suspensi satu pertandingan. Kesal dengan keputusan tersebut, Riijkard meludahi Voller di lapangan. Voller melakukan protes ke wasit dan menunjukan ludah yang menempel di rambutnya kepada wasit, tapi wasit malah memberinya kartu kuning.

Setelahnya, Jerman mendapatkan tendangan bebas, Voller mencoba menyambut umpan dari tendangan bebas itu, tapi kiper Jerman, Hans van Breukelen lebih cepat menangkap bolanya. Voller mencoba menghindar dari tabrakan dengan van Breukelen dan terjatuh di kotak penalti. Melihat Voller terjatuh, Rijkaard membuatnya segera berdiri dengan menarik kupingnya. Pergumulan kembali terjadi, wasit laga tersebut, Juan Carlos Loustau, pun mengganjar kartu kuning kedua untuk Rijkaard dan Voller.

Tidak selesai di sini, Rijkaard kembali meludahi Voller di jalan ke ruang ganti. Voller, yang merupakan korban kezaliman terbesar di sini, tidak bereaksi dengan kekerasan. Dia hanya mencoba membersihkan rambutnya dari ludah Rijkaard selagi tim resmi Belanda mencoba membawa Rijkaard ke ruang ganti. Setelahnya, Rijkaard mengatakan bahwa dia menyesal telah melakukannya dan meminta maaf kepada Volle, yang berbesar hati menerimanya.

Insiden ini membuat Rijkaard mendapat julukan “Ilama” oleh media dunia. Sejak itu, rivalitas antara Jerman dan Belanda tidak setegang dulu. Persaingan antara dua tim besar Eropa ini masih ada, tapi sudah jarang membawa sentimen paska perang seiring normalisasi relasi Belanda dan Jerman. Apalagi, pemain-pemain dan suporternya juga sudah tidak terlibat langsung dengan perang dunia.

Pemain-pemain yang terlibat di rivalitas ini bisa melihat balik laga yang mereka jalani dulu sebagai pengalaman baik. ‘Der Kaizer’ Franz Beckenbauer mengatakan bahwa laga Jerman-Belanda adalah laga-laga berkelas dengan emosi dan tensi yang tak bisa dibandingkan. Begitu juga dengan mantan pelatih timnas Belanda, Bert van Marwijk, yang bersyukur relasi antara Belanda dan Jerman sudah membaik.

Tidak hanya Belanda, Inggris pun berseteru dengan Jerman. Perang Dunia II masih menjadi pemantik rivalitas ini, meski perseteruan mereka awalnya tidak berjalan sepanas Jerman-Belanda. Ini karena pemain dan suporter Inggris ingin melupakan apa yang terjadi di perang berdarah itu dengan sepakbola. Di final Piala Dunia 1966 misalnya, nyanyian mengenai perang memang ada, tapi minim. Padahal jarak antara laga itu dan perang dunia masih begitu dekat. Apalagi pelatih Inggris kala itu, Sir Alf Ramsey pernah ikut wajib militer di masa perang.

Namun hal yang serupa tidak bisa dikatakan untuk Jerman. Kekalahan Jerman Barat di final Piala Dunia 1966 akibat gol kontroversial memantik rivalitas yang panjang. Gol ini disebut “kontroversial” karena publik Jerman Barat menuduh Inggris mencetak gol hantu yang disahkan padahal bola belum melewati garis gawang. Beberapa dekade setelahnya, tuduhan ini tervalidasi lewat analisa video modern salah satunya lewat analisa video metrologi oleh Ian Reid dan Andrew Zisserman.

Yang menjadi pembeda dengan Belanda adalah bagaimana sentimen soal Perang Dunia II justru memanas seiring berkembangnya budaya hooliganisme di Inggris. Media yang masih menggunakan jargon-jargon yang mereferensikan perang juga membantu merawat tensi ini. Contohnya, Mirror pernah membuat artikel dengan judul “ACHTUNG! SURRENDER! For you Fritz, ze Euro 96 Championship is over.” (Perhatian! Menyerahlah! Untukmu Fritz, turnamen Euro 96 sudah berakhir) sebelum laga semi final melawan Jerman.

Lagu-lagu seperti Ten German Bombers dan Two World Wars, One World Cup bisa terdengar di periode 1960 sampai sekarang. Budaya hooliganisme hanya ingin mencari alasan untuk mengantagonis lawan, karen itu tidak heran apabila orang menyanyikan hal-hal yang tidak berkaitan dengan diri mereka secara personal. Yang penting adalah itu dapat meledek lawan dan membuat tim sendiri terlihat superior. Maka tak heran setelah tahun 1990an, fokus hooligan bergeser dari Perang Dunia menjadi skeptisme terhadap Uni Eropa.

Sama seperti Belanda, rivalitas ini sudah tidak sepanas dulu. Lagu-lagu yang membawa sentimen dari perang dunia sudah jauh lebih sedikit, walaupun masih bisa terdengar dari minoritas kecil di Euro tahun ini. Selain karena kultur hooliganisme yang sudah jauh berkurang, ancaman pencekalan dari stadion oleh FA dan FIFA juga berkontribusi di sini.
Perang Balkan yang Masih Membekas
Apabila waktu akan melunturkan luka, maka 33 tahun masih jauh dari cukup untuk negara-negara yang terlibat di Perang Yugoslavia. Tidak heran, ini adalah rentetan perang yang berjalan 10 tahun, memecahkan Yugoslavia menjadi beberapa negara dan mengambil lebih dari 140.000 jiwa. Beberapa pemain yang bermain di Euro tahun ini merupakan korban dari perang ini. Salah satunya adalah Luka Modric yang terpaksa mengungsi setelah kelompok pemberontak Serbia membunuh kakeknya dan membakar rumahnya.

Tensi ini masih sedemikian panasnya sampai UEFA melarang Kosovo untuk melawan Serbia dan Bosnia-Herzegovina di babak grup. Di Euro 2024, UEFA memberikan hukuman suspensi 2 laga untuk pemain Albania, Mirlind Daku, yang menyanyikan yel-yel nasionalis dengan sentimen anti Serbia dan Masedonia setelah laga melawan Kroasia. UEFA juga memberi denda ke Asosiasi Sepakbola Albania karena yel-yel “Kill the Serb” yang disuarakan fans Albania. Serbia bahkan mengancam akan mundur dari Euro 2024 apabila suporter Albania tidak mendapat hukuman yang layak. 

Yel-yel dan nyanyian dengan sentimen anti Macedonia dan Kosovo juga masih terdengar walaupun kedua negara ini tidak berpartisipasi di Euro kali ini. Hal ini menunjukan sulitnya memisahkan sentimen nasionalis dan antagonisme lawan perang sipil ketika perang baru berakhir.
Rivalitas yang Merefleksikan Relasi antar Negara saat ini

Isu sosial politik yang mewarnai rivalitas sepakbola tidak hanya berakar dari perang. Rivalitas Skotlandia dan Inggris misalnya, lebih pas dianggap sebagai refleksi atas relasi antar negara Britania Raya dan Skotlandia alih-alih persaingan atas dua tim sepakbola tertua di dunia. 

Banyak warga Skotlandia yang ingin menjadi negara merdeka yang lepas dari Britania Raya. Tahun 2014, Skotlandia mengadakan referendum untuk melepaskan diri dari Britania Raya. Hasilnya, 55.3% menolak untuk lepas dari Britania Raya. Hal ini menunjukkan kondisi Skotlandia saat ini tidak memuaskan untuk banyak orang. Selain karena Skotlandia adalah bangsa yang memiliki sejarah dan identitas sendiri, keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa juga tidak menguntungkan Skotlandia yang melakukan banyak perdagangan dengan negara-negara Uni Eropa.

Di sisi lain, rivalitas sepakbola antara Inggris dan Skotlandia bukan hanya sekedar masalah politik. Kedua tim ini adalah rivalitas tertua antara dua negara yang melakukan laga internasional pertama di dunia. Kedua tim juga punya basis suporter yang passionate dan menjadikan banter sebagai bagian budaya mereka. Di beberapa momen, banter ini bisa berubah menjadi insiden kekerasan. Yang pasti, schadenfreude menjadi bagian besar dari budaya sepakbola kedua tim; fans Inggris berharap atas kejatuhan Skotlandia, begitu juga sebaliknya.

Karena itu, tidak mengherankan jika kalian bertemu suporter tim nasional Skotlandia yang menganggap Diego Maradona sebagai leganda terbaik Skotlandia. Alasannya? Karena Maradona mencetak gol yang mengalahkan Inggris di final Piala Dunia 1986 dengan Hand of God.

Apakah sepakbola bisa dipisahkan dari isu sosial politik? Saya pribadi merasa jawabannya adalah tidak. Walaupun demikian, dampak negatif dari kelindan sepakbola dan isu sosial politik bisa dimitigasi. Fakta bahwa FIFA dan UEFA melarang ekspresi politik dan nasionalis sambil mempromosikan agenda politik yang mereka mau mungkin akan mengundang klaim bahwa mereka adalah hipokrit, tapi sudah tepat dilakukan.

Saya rasa, hanya sangat sedikit orang yang menginginkan keributan dan kekerasan di dunia sepakbola. Tensi antar suporter dan tim memang membawa drama yang fans sepakbola inginkan, tapi hampir semua fans tidak ingin melihat orang terluka hanya karena sepakbola.