Dari Tambak Oso ke Tambak Bayan

Dari Tambak Oso ke Tambak Bayan
Anugrah Yulianto Rachman

Kesenian Ludruk selalu erat kaitannya dengan keseharian dan keresahan masyarakat  Jawa Timur. Satu lakon ludruk ini tak liyan seorang jawara paling bengal atau bengel jika dalam bahasa Belanda. Ia selayak kisah Minak Jinggo yang dicintai masyarakat miskin yang rentan diambil hak hidupnya dan begitu dibenci oleh para priyayi kerajaan, pun jago kelahi dan tukang rampok uang haram para pejabat macam Si Pitung. Si bengel ini, Sarip namanya. 

Si Bengel Sarip diwujudkan sebagai pahlawan bagi masyarakat tani Tambak Oso Wetan yang mendapat perlakuan timpang dari pemerintah Hindia-Belanda atas penarikan pajak di awal abad ke-20. Kisahnya dapat kita lacak melalui salah satu artikel jurnal milik James L. Peacock, Sarip Tambak Oso. Peacock menggambarkan Sarip sebagai penentang keras kolonialisme dan musuh bagi para priyayi yang menjilat kaki Hindia-Belanda. Perkara utama yang menjadikannya sebengal itu dan melegenda, hanya satu satu alasan: Sarip menolak praktik pajak para komprador dan sikapnya ditegaskan oleh Peacock sebagai begundal anti-kolonial. 

Kesamaan dari berbagai catatan tertulis dan lisan, sikap kontranya menjadi-jadi dan semakin getol menggondol curian dari para pejabat dan dibagikan pada para miskin. Tentu saja, ini bikin lurah Gedangan di Sidoarjo naik pitam! Sarip ditandai sudah dan dijadikan bandit. Rumah Sarip pun sampai didatangi oleh lurah Gedangan. Saat itu hanya ibu Sarip yang berada di rumah, dan lurah tersebut bersikeras menyeret ibunya ke kantor polisi. 

Tak lama kemudian ketika peristiwa itu masih berlangsung, Sarip sampailah di rumahnya. Tanpa tedeng aling-aling ia pasang kuda-kuda dan beradu silat dengan lurah Gedangan. Sarip mana terima ibunya yang jadi ‘sandera culik’ lurah Gedangan dan diseret paksa ke kantor polisi. Aksi alot di medan laga halaman rumah Sarip, ia akhirnya mengalahkan dan membuat sang lurah terbunuh. Habis sudah! Bebannya bertambah. Kehidupannya mulai detik itu jadi pelarian dari kejaran pemerintah kolonial.

Matinya lurah Gedangan, Sarip makin buron. Ia jadi incaran banyak orang yang punya kedudukan. Salah satu yang mencarinya yakni lurah desanya sendiri, lurah Tambak Oso. Hingga akhirnya, Sarip bertemu dan harus lawan-tarung menghadapi Paidi—pengawal lurah Tambak Oso sekaligus jawara dari Tambak Oso Kidul. Di pertarungan ini pun, dengan terpaksa Sarip menambah satu korban lagi, Paidi mati di tangannya. Kondisi ini semakin membuatnya getir. Lurah itu tak segan menandai Sarip sebagai kriminal yang harus ditangkap bahkan dibunuh. 

Alih-alih cerita. Konon, ibunyalah yang memegang kunci kesaktian dan kelihaian tarung Sarip. Banyak kabar dan bisik-bisik, jejampi ibunya bisa bikin Sarip kebal; alah peluru dan pedang tak ada guna sama sekali. Tak perlu jejampi, bahkan tangis dan teriaknya saja sudah bisa kasih tuah pada Si Bengel. Kiranya, kabar bisik-bisik tadi cukuplah jadi pegangan wedana dan polisi kolonial. Intinya ibunyalah titik lemah Sarip.

Pada kali kedua usaha pelemahan Sarip, yang pertama mereka lakukan yakni menangkap dan membungkam mulut ibunya selihai mungkin agar Si Bengel tak bertuah. Sarip tak berdaya dan pertarungan payah itu membawa kematiannya. 

Ada pula versi lain tentang kematiannya yang alot. Kisah ini bisa jadi mengingatkan pada Si Pitung, begitu juga dengan Si Bengel, ia mati dihujam peluru perak.

Kisah Sarip yang menjadi buah bibir dan akhirnya melegenda tak lain lahir dari kesakitan masyarakat kaum papa yang tersingkirkan selama seabad lamanya di tanahnya sendiri, yakni sejak Raffles melakukan pelelangan tanah ulayat menjadi tanah pribadi para priyayi di era Daendels dan dilanjutkan kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel). Setelahnya, masyarakat tak bertanah ini ketika menjadi buruh tani pun masih kena sial pula dengan pemberlakuan pajak. Mereka dipaksa menyumbangkan 40% dari hasil pertaniannya kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda; baik berupa upeti dari hasil tani atau juga dalam bentuk gulden.

Sistem tanam paksa bertujuan untuk melakukan eksploitasi terhadap buruh tani yang tak punya kuasa. Sebab komprador seperti wedana, bupati, dan lurah sendiri dibawahi oleh para gubermen. Kerja eksploitasi tersebut diawali penetapan aturan wajib pajak oleh pemerintah kolonial terhadap pribumi.

‘Membunuh komprador’ sendiri menjadi simbol yang disematkan pada Sarip sebagai kekacauan yang dapat memutus sistem perpajakan dan penjajahan di Tambak Oso, Sidoarjo. Untuk selanjutnya, kematian Sarip menjadi api perlawanan terhadap kolonialisme di Jawa Timur, khususnya bagi warga Surabaya dan Sidoarjo.

Kematian Sarip Dalam Jejak Surat Kabar Kolonial

Sarip bukan tokoh fiktif meski menjadi kisah fiksi dalam berbagai pementasan ludruk dan legenda simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Kematiannya juga tercatat dalam arsip kesejarahan. Setidaknya, ada dua surat kabar Belanda yang memberitakan kematiannya, yakni Algemeen Handelsblad dan Het Vaderland yang diterbitkan secara bersamaan pada 4 Maret 1912.

Celakanya, kedua tajuk dalam pemberitaan ala kolonial tersebut memiliki wacana yang berbeda dari narasi perlawanannya. Dalam pemberitaan Algemeen Handelsblad, mereka menggunakan pemilihan diksi yang menempatkan Sarip sebagai seorang liyan, yaitu “De Dood Van Een Roover” (Matinya Perampok). Sedangkan, Het Vaderland memilih tajuk “De Dood Van Sarip” (Kematian Sarip). Namun keduanya mengabarkan informasi yang sama, yaitu: kematian bandit.  

Di dua koran itu, penangkapan Sarip dituliskan sangat dramatik. Tentu dalam pelariannya Sarip mencoba kabur dari Surabaya. Sementara, para polisi berjaga dan menyisir dari perbatasan Gedangan sampai Wonokromo berhari-hari lamanya. Barulah pada 30 Januari, wedana Gedangan mendapatkan informasi dari mata-mata yang mengatakan Sarip sedang di rumah saudaranya daerah Tambak Reso, Sidoarjo. Akhirnya, mereka mulai memindahkan konsentrasi penyisiran di kisaran Pulungan, Tebel, dan Tambak Reso. Gerak Sarip dibikin mati kuku!

Sekitar pukul 8 pagi, polisi Gedangan melakukan penggeledahan di Tambak Reso, tepatnya di rumah saudara Sarip. Sarip tidak ditemukan. Salah satu polisi menyaut, ia menemukan jejak kaki di atas tanah lempung yang masih baru di belakang rumah saudaranya. Jejak kakinya menuju ke arah sungai. Polisi pun berhambur, berlari menggondol laras panjang mereka. Di arah sungai itu Sarip sudah menunggu, ia mengacungkan jagang (celurit) dan tanpa ragu berlari menyerang polisi.

Tanpa perlu perintah, Beaumont membidik Sarip dalam jarak sekitar 22.86 meter. Pelurunya bersarang di pundak kanan. Sarip masih berlari. Beaumont menggelegar sekali lagi di jarak 25 meter dan melubangi dada kirinya. Sarip terjatuh. Si Bengel tidak lagi bergerak.
 
Sungai membasuh merah darahnya. Hari itu pada 30 Januari 1912… jasad Sarip lunglai dibopong wedana Gedangan.

Bias Politik Wacana Kolonial

Pemberitaan ini menyiratkan sosok Sarip diposisikan sebagai kriminal dan perampok keji. Buronan yang bikin resah wedana dan gubermen. Itu ditunjukan dari tajuk dan isi berita yang menceritakan detik-detik kematian Sarip yang nihil tanpa arti. Kehadirannya harus dimusnahkan dari kehidupan sistem pemerintahan kolonial. 

Memori tentang perlawanannya tak satupun ditayangkan di dalam surat kabar di tanah Jawa saat itu, ia tak semujur Si Pitung yang tersiar di surat kabar Hindia Olanda 16 Oktober 1893. Sedang Sarip? Pada kedua berita tersebut tidak menjelaskan secara detail ihwal kasus pencurian yang dituduhkan kepada Sarip. Belum ditemukan juga pemberitaan lain terkait dengan kasus pencurian Sarip. Memori soal kehidupannya hanya terekam abadi pada dua artikel berita surat kabar di Belanda pada tiga bulan kemudian. 

Padahal imajinya di dalam lakon ludruk, sosok Sarip digambarkan ngeyel mempertahankan haknya. Seorang yang berani membunuh komprador yang dipatenkan Sarip sebagai antek.  Bagi penikmat kesenian ludruk, mereka percaya sosok Sarip sebagai pemberontak atas dominasi rezim kolonial. Imaji tersebut masih tersimpan rapi dalam setiap pergelaran yang menghadirkan lakon ini. Semangat perlawanannya pun masih dihadirkan di tiap pergelaran kesenian ludruk. 

Ketika seniman ludruk juga mengadaptasi lakon ini, mereka membumikannya dengan permasalahan di masa sekarang. Ini menunjukan kelenturan lakon Sarip untuk dikontekstualisasikan dengan permasalahan kontemporer. Ia dihadirkan dengan semangat anti-kolonialisme di Tambak Bayan. Lakonnya diadaptasi dengan judul “Sarip Tambak Bayan Geger Ngoyak Mafia Tanah”. 

Kelompok Ludruk Masyarakat Tambak Bayan Tengah mementaskan pagelaran ini pada 6 Februari 2011. Banyak maestro ludruk Surabaya, seperti: Hengky Kusuma, Cak Pur, Sabil Lestari, dan kawan lainnya yang turut membantu helatan ini. Semangat dari seniman ludruk menunjukan lakon Sarip masih relevan dengan permasalahan masa sekarang. Ini dikontekstualisasikan dengan fenomena yang dihadapi oleh masyarakat Tambak Bayan. 

Warga Tambak Bayan menghadapi permasalahan perampasan ruang hidup. Mereka dipaksa untuk hengkang dari kampung halamannya karena permasalahan dengan korporasi. Itu menyebabkan ketegangan antara masyarakat, pemerintah, dan pengelola hotel Veni, Vedi, Veci (V3). Saya menduga hotel ini tidak berbeda dengan kolonial Hindia-Belanda. Di mata amatan gembel saya, nama hotel itu terdengar seperti frasa penaklukan ala Julius Caesar. Upaya penaklukan oleh hotel atas tanah kepemilikan warga kampung mulai terjadi semenjak 2006-2007 dengan melayangkan ancaman kepada anak kecil dan warga kampung yang sudah meninggal. 

Bahkan secara tak terduga, pihak hotel mengusir warga dengan kepemilikan 3 Sertifikat Hak Guna Bangun (SHGB). Warga dianggap oleh pemilik hotel, yaitu Setiadji Yudho alias Loe Tun Bi sebagai penduduk liar. Padahal, warga Tambak Bayan memiliki KTP Surabaya, dan mereka juga melakukan pembayaran pajak. Mereka tinggal dengan basis sertifikasi kepemilikan tanah negara eigendom verponding. Semenjak tahun 1930, warga mendapatkan izin tinggal dari Huisvesting Organisatie. 

Karena basis sertifikasi yang dimiliki pengelola hotel, warga mendapatkan gugatan. Mereka dipaksa untuk menyingkir dari kampungnya. Padahal, pemilik hotel sendiri bukanlah warga Tambak Bayan. Warga kampung tidak pernah mengenal Setiadji Yudho sebagai warga kampung, tetapi ia secara tiba-tiba memiliki SHGB untuk melakukan klaim kepemilikan tanah. Itu adalah bentuk upaya  penaklukan kampung Tambak Bayan oleh korporasi hotel. 

Berdasar permasalahan tersebut, masyarakat bersama seniman menanggapi penaklukan hotel V3 dengan menghadirkan sosok Sarip di tengah-tengah konflik ruang hidup. Ini menunjukan bahwa imaji ihwal Sarip, sebagai lakon anti-kolonial diejawantahkan, bahwa Sarip masih diresapi dalam kesadaran masyarakat lokal. Sosoknya dilihat sebagai simbol perlawanan terhadap status quo. Oleh sebab itu, tajuk yang diangkat pun sangat tegas, yaitu Geger Ngoyak Mafia Tanah (Bertarung Membredel Mafia Tanah). 

Di satu sisi, lakon Sarip direpresentasikan sebagai sosok preman dan penjahat dalam surat kabar kolonial. Di sisi lain, ia hadir sebagai suatu imaji ihwal perlawanan atas sistem yang diskriminatif dan menindas. Kehadirannya dirayakan oleh masyarakat dalam lakon ludruk. Bahkan di banyak tempat narasi tersebut terus berkembang, masyarakat meminjam mitos yang terbangun di dalam namanya untuk menyuarakan permasalahan mereka. 

Oleh sebab itu, lakon ini menjadi satu pertarungan wacana di antara nalar kolonialisme dengan imajinasi anti-kolonialisme. Keduanya saling bertarung posisi atas representasi Sarip.  Perlawanannya masih terdengar hingga hari ini. Bahkan, ia pun dihadirkan untuk merepresentasikan suara-suara masyarakat Tambak Bayan yang sedang menghadapi permasalahan ruang hidup.  

Bagaimanapun juga, lakon Sarip memiliki peranan sentral sebagai katarsis kelompok tertindas dan ditunjukkan dari narasi yang dikembangkan oleh para seniman ludruk dalam beragam wajah. Satu yang pasti, Sarip akan tetap menjadi api bagi siapapun yang dijajah dan direnggut ruang hidupnya.