Quiet quitting, yang mulai populer tahun ini melalui media sosial Tiktok, dapat diartikan sebagai sikap seseorang yang berhenti menjalankan tugas ekstra dalam pekerjaannya. Dengan kata lain, hanya fokus pada beban kerja yang disepakati dalam jam kerja yang juga telah ditetapkan sejak awal, tidak lebih. Motif dari sikap semacam ini bukan semata-mata soal kelelahan bekerja, melainkan keinginan dari para pekerja untuk menjalani hidup secara lebih seimbang dan tidak melulu menghabiskan waktu untuk pekerjaan. Sikap quiet quitting ini tentu saja membuat geram para bos yang berharap para pegawainya bisa diperas tenaganya melampaui jam kerja—supaya kemudian dianugerahi gelar “pegawai teladan”.
Meski dilakukan atas alasan work-life balance yang lebih baik bagi para pekerja, quiet quitting juga bisa dibaca sebagai perlawanan terhadap kibul-kibul motivasional. Kok bisa? Kita mesti masuk pada gagasan Karl Marx yang mengajak kita menelaah secara rinci bagaimana kapitalisme bekerja dengan menumpuk kekayaan. Mustahil sistem kapitalis menjadi kaya jika bukan karena pencurian nilai lebih yang salah satunya diperoleh dari kelebihan jam kerja yang didedikasikan oleh pekerja untuk perusahaannya. Sebelum masuk ke topik pencurian nilai lebih, bacalah ilustrasi sederhana berikut:
Untuk menghasilkan produk berupa sebuah tas dengan harga Rp300.000, dibutuhkan kerja lima orang buruh dengan bagiannya masing-masing (ada yang membuat pola, menjahit, mengelem, dan lainnya). Setiap dari mereka memerlukan waktu satu jam untuk menyelesaikan tugas, dengan upah Rp10.000 per orang. Artinya, untuk menyelesaikan sebuah tas, perusahaan perlu membayar tenaga kerja sebesar total Rp50.000 dengan waktu yang dikeluarkan total sekitar lima jam. Angka upah tersebut sebenarnya dapat dibuat masuk akal. Misalnya, Rp10.000 per orang selama satu jam itu adalah biaya yang perlu dikeluarkan pekerja untuk memulihkan tenaganya agar bisa kembali memproduksi. Jika ia bekerja selama lima jam, ia mendapatkan Rp50.000 sehingga bisa membeli bahan makanan, memasaknya dan makan tiga kali sehari.
Anggaplah kita hitung biaya lain seperti modal produksi Rp50.000 dan biaya operasional seperti listrik, pemeliharaan mesin, juga Rp50.000. Total biaya untuk menghasilkan satu buah tas adalah Rp150.000 dan jika perusahaan menjual produk tersebut dengan harga Rp300.000, maka terdapat keuntungan bersih sebesar Rp150.000 per satu buah tasnya.
Apa poin dari menjelaskan hitung-hitungan semacam itu? Hitungan di atas tergolong masih cukup fair, tetapi pada kenyataannya, kapitalis sejati tidak akan membiarkan keuntungan bersih itu hanya Rp150.000 per satu tasnya. Agar menjadi tajir melintir, mereka perlu melakukan beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama, menaikkan harga satu buah tas misalnya, jadi Rp450.000 agar keuntungan bersihnya menjadi Rp300.000 bagi perusahaan. Tentu ini agak berisiko karena ada kemungkinan ditinggalkan konsumen yang merasa harga setiap tasnya menjadi terlalu mahal.
Kemungkinan kedua, mempertahankan upah bagi pekerja, tapi menaikkan jam kerja agar produksi lebih berlipat. Misalnya, jika pengrajin tas tersebut diupah Rp10.000 untuk satu jam, maka hitungan sederhananya, ia diupah Rp50.000 untuk lima jam, Rp80.000 untuk delapan jam, dan seterusnya. Namun si kapitalis bisa mengubah hitungan tersebut, melalui sistem yang membuat si pekerja harus bekerja selama katakanlah, delapan jam dengan upah Rp50.000. Lah, ada kelebihan tiga jam yang tidak dibayarkan dong?
Itulah yang dimaksud Marx sebagai pencurian nilai lebih. Kapitalis sejati menumpuk kekayaan salah satunya lewat “dedikasi” dari si pengrajin tas yang mau dibayar Rp50.000 untuk delapan jam. Sebenarnya ia bukannya mau, tapi lebih tepatnya “harus mau”, atau ia tidak punya pilihan lain kecuali mau melakukannya akibat terhimpit keadaan (misalnya, ikatan kontrak kerja atau tekanan bosnya: “Kalau kamu tidak mau, ya sudah saya cari yang lain, banyak kok yang bisa kerja seperti ini!”).
Lantas, di mana peran paradigma motivasional dalam perkara semacam ini? Meski terang-terangan mempraktikkan pencurian nilai lebih lewat “dedikasi” jam kerja dari pegawainya, tetap saja perusahaan manapun tidak mau dengan gamblang mengakuinya. Tidak mungkin bos di sebuah perusahaan mengatakan dengan jujur, “Ayo, kerja terus sampai malam, kami butuh lebih banyak uang supaya kami menjadi lebih kaya!”
Mereka akan membungkusnya dengan halus, lewat kalimat-kalimat misalnya, “Jangan mengeluh, setiap pekerjaan berat nantinya akan menjadi pengalaman berharga buat kalian,” “Milikilah sense of belonging terhadap tempat kerja ini. Hal itu menunjukkan kualitas kalian sebagai manusia yang penuh tanggung jawab,” atau jika yang berbicaranya adalah bagian HRD, ia kira-kira akan mengatakan hal semacam ini, “Kalau bos kamu ngasih kerjaan lebih, itu artinya dia percaya banget sama kamu.”
Kita bisa menyebut bahwa seluruh ekspresi tersebut merupakan turunan dari paradigma motivasional. Paradigma motivasional tidak melulu dijalankan oleh agen bernama motivator, tapi dipraktekkan secara sistemik oleh suatu perusahaan. Motivator, kita tahu, adalah orang yang dibayar oleh suatu perusahaan untuk meningkatkan kinerja para pegawainya dengan omongan seperti, “Memberi lebih bagi perusahaan adalah amal saleh yang akan dibalas dengan kesuksesan,” atau “Sering-seringlah keluar dari zona nyaman dan mau menghadapi tantangan supaya menjadi manusia bermental pemenang.”
Menyemangati bukanlah suatu kegiatan yang keliru. Hal yang lebih patut diwaspadai: para motivator ini seringkali menyemangati dengan tujuan mengeksploitasi. Kita juga tahu, tidak semua pernyataan motivasional tersebut benar-benar tulus ingin membuat para pekerja menjadi sukses atau bermental pemenang. Secara subliminal, isi pesan itu adalah sebagai berikut: “Bekerjalah lebih keras supaya kamu bisa beli motor dengan cara dicicil, sedangkan bos kamu bisa beli mobil dengan cara tunai.” Celakanya lagi, ucapan-ucapan para motivator ini sudah tidak sebatas diungkapkan dalam konteks seminar motivasi, melainkan sudah masuk pada pola pikir perusahaan dan diterapkan dalam berbagai lini komunikasi organisasi.
Dengan demikian, bersikap quiet quitting adalah sama dengan menolak pencurian nilai lebih oleh perusahaan dan juga sekaligus enggan terjebak dalam kibul-kibul motivasional. Sekarang tinggal bagaimana mengaitkan sikap quiet quitting dengan gagasan demotivasi yang punya landasan filosofis dalam menghantam pola pikir motivasional.
Apa itu demotivasi?
Jika kita mengetik kata demotivasi di mesin pencari, maka entri yang muncul biasanya terkait dengan ketiadaan motivasi, yang mesti diatasi supaya hidup kita lebih bersemangat, khususnya dalam menjalani pekerjaan sehari-hari. Dalam arti kata lain, demotivasi merupakan konsep yang dinilai negatif, bahkan suatu penyakit sehingga perlu disembuhkan. Benarkah demotivasi seburuk itu? Mungkin iya, tetapi apakah hal demikian menjadikan motivasi, di sisi lain, dapat dianggap sebagai konsep yang murni baik?
Motivasi, dalam arti psikologis maupun biologis, bisa jadi merupakan suatu gerak yang sifatnya alamiah. Tidak ada kegiatan yang tanpa motivasi: untuk makan, kita perlu motivasi; untuk menulis tentang demotivasi, kita perlu motivasi; bahkan untuk rebahan dan malas-malasan pun, kita perlu motivasi! Untuk motivasi semacam ini, tiada perdebatan berarti, terutama jika motivasi kita artikan secara sederhana sebagai “dorongan”.
Namun pada perkembangannya, muncul makna motivasi yang sifatnya artifisial, yang digerakkan oleh para motivator dengan membasiskan kekayaan dan kesuksesan pada pola pikir semata sebagai sebuah panacea (obat bagi segala). Mengandalkan pola pikir adalah hal yang tidak sepenuhnya keliru, tetapi menjadikan pola pikir sebagai satu-satunya penjelasan atas nasib seseorang berarti pula mengabaikan faktor lain seperti misalnya faktor struktural. Apa yang dimaksud faktor struktural?
Ilustrasinya begini: jika benar bahwa pola pikir menentukan segala nasib, maka mintalah Elon Musk atau Jeff Bezos untuk fokus memikirkan kemiskinan. Apa mereka akan miskin? Tentu saja sulit, karena mereka sudah mempunyai struktur yang memadai. Sebaliknya, seseorang yang harus bekerja dari pagi buta hingga malam hari untuk sekadar mendapatkan uang Rp30.000 per hari, tentu tidak bisa langsung sukses hanya dengan mengandalkan pola pikir. Seintens apapun orang-orang ini berpikir tentang kekayaan dan kesuksesan, masalah sebenarnya terletak pada struktur, bukan semata-mata perkara mindset.
Jika motivasi mengalami perkembangan makna, artinya boleh dong demotivasi pun mengalami perkembangan makna. Jika awalnya demotivasi diartikan sebagai penyakit menular yang mesti diobati, sekarang kita ubah maksud dan tujuannya: demotivasi adalah senjata untuk menyadarkan orang-orang dari motivasi artifisial. Dengan sedemikian masif dan terstrukturnya paradigma motivasional, maka demotivasi harus melawan dengan lebih keras supaya para pekerja tidak mudah terbuai oleh kalimat manis para panasbung korporat.
Caranya bagaimana? Demotivasi sekilas tampak main-main, tapi sesungguhnya dapat membuat kita berpikir ulang tentang tipu muslihat kalimat motivasional yang seolah-olah baik padahal sedang mengupayakan pencurian nilai lebih secara subtil. Lebih jelasnya, kita bisa ambil kalimat motivasional yang sudah digunakan sebagai contoh dalam paragraf-paragraf sebelumnya untuk kemudian dimasukkan ke dalam tabel berikut di kolom sebelah kiri. Sementara itu, kolom kalimat demotivasional di sebelah kanan merupakan respons kritis terhadap kalimat motivasional:
kalimat motivasional
“Memberi lebih bagi perusahaan adalah amal saleh yang akan dibalas dengan kesuksesan.”
“Sering-seringlah keluar dari zona nyaman dan mau menghadapi tantangan supaya menjadi manusia bermental pemenang.”
Kalimat Demotivasional
“Memberi lebih bagi perusahaan adalah amal saleh yang akan dibalas dengan kesuksesan (bos kamu)”
“Mereka yang menyuruh keluar dari zona nyaman, biasanya mengatakannya dari zona nyaman..”
Dengan sikap kritis yang dilontarkan oleh kalimat demotivasional, kata-kata motivasional diharapkan menjadi tidak punya kemampuan tipu daya lagi karena pekerja yang dibuainya sudah tersadarkan oleh demotivasi. Pertanyaannya, apakah demotivasi menjadi gagasan yang membawa para pekerja menjadi malas-malasan? Bukan. Demotivasi bukan ajaran untuk menjadi malas, tetapi lebih tepatnya: demotivasi membuat kita rajin bekerja dengan tetap mempertahankan sikap kritis. Demotivasi menyadarkan bahwa kita bekerja karena perlu uang dan memang cuma sistem semacam itu yang terpaksa kita anut untuk bertahan hidup saat ini.
Seandainya kita masih hidup di zaman komunal, saat seluruh sumber daya dikuasai bersama secara proporsional, tentu kita tidak perlu susah-susah kerja kantoran dan menghamba pada bos demi sesuap nasi. Pada akhirnya, kita mesti tunduk juga pada konsekuensi peradaban yang tak terhindarkan: bahwa kapitalisme telah menguasai banyak sumber daya dan menyebabkan ketimpangan, sehingga mau tidak mau, mayoritas manusia harus bekerja di dalam sistem tersebut supaya sumber daya bisa dibagikan meski dalam porsi yang lebih sedikit. Demotivasi penting untuk mengimbangi pola pikir kita dan mengembalikan hakikat kerja sebagai usaha bertahan hidup yang tiada hubungannya dengan bunga-bunga moral seperti “dedikasi”, “tanggung jawab”, “keteladanan” dan bahkan “amal saleh”.
Pegawai minimarket yang terdemotivasi dibayangkan akan mengatakan begini pada bosnya (yang motivasional), “Bos, saya bekerja di sini karena butuh uang, tidak ada urusan dengan sense of belonging karena kenyataannya minimarket ini bukan punya saya, bangunannya pun bukan, begitu juga produk-produk yang dipajangnya. Katakan apa yang mesti saya kerjakan dan jika saya sanggup melakukannya, bayarlah upah saya dengan layak, tidak perlu banyak bicara tipu-tipu. Moral saya, urusan saya.” Syukur-syukur jika si bos juga telah terpapar demotivasi, sehingga ia akan lebih banyak bicara seperti ini, “Kamu tahu, kita sama-sama butuh uang. Kerjakan saja pekerjaanmu sebaik-baiknya sampai jam kerja berakhir, selebihnya habiskan waktu bersama pacar atau keluargamu.”
Dengan demikian, tidak perlu khawatir bahwa quiet quitting adalah suatu kelakuan yang bebal dan membangkang. Dalam kacamata filosofis demotivasi, quiet quitting adalah sikap yang didasari prinsip keadilan dan anti penindasan: membebaskan kesadaran manusia untuk tetap mendapat uang demi hidup hari-harinya, tanpa perlu menyerahkan seluruh hidup dan gairahnya pada perusahaan. Kita tahu, hidup terlalu sia-sia jika sekadar digunakan untuk memperkaya bosmu.