Fenomena politik Indonesia kembali mengguncang publik dengan terpilihnya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden. Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana seorang figur muda seperti Gibran dapat mencapai posisi ini? Jawabannya terletak pada salah satu fenomena sosial-politik yang sudah lama membayangi bangsa ini: depolitisasi.
Depolitisasi adalah proses sistematis untuk menghilangkan kesadaran politik masyarakat. Pada masa Orde Baru, Soeharto memperkenalkan kebijakan "massa mengambang" yang efektif menjauhkan rakyat dari partisipasi aktif dalam politik. Dengan strategi ini, rakyat diarahkan untuk fokus pada pembangunan ekonomi, sementara elit politik memonopoli proses pengambilan keputusan.
Contoh depolitisasi yang paling mencolok adalah kontrol ketat terhadap media dan sistem pendidikan. Media massa menjadi alat propaganda, sementara pendidikan lebih menekankan stabilitas ketimbang pemikiran kritis. Dalam konteks seni, teater yang bersifat depolitisasi seni terjadi pada masa Orde Baru untuk memastikan masyarakat tidak menggunakan budaya sebagai medium kritik.
Warisan depolitisasi ini tidak hanya membentuk masyarakat yang pasif, tetapi juga menciptakan budaya apolitis yang terus diwariskan. Bahkan setelah era Reformasi, trauma kolektif terhadap politik masih terasa. Banyak generasi muda yang melihat politik sebagai sesuatu yang kotor dan lebih memilih untuk tidak terlibat.
Pierre Bourdieu menyebut fenomena ini sebagai "habitus apolitis," di mana masyarakat secara sadar menghindari diskusi dan aktivitas politik. Kondisi ini diperparah dengan munculnya dinasti politik, seperti yang terlihat pada Gibran Rakabuming Raka.
Gibran Rakabuming Raka, yang kini berusia umur Gibran 36 tahun, menjadi simbol dari bagaimana depolitisasi memungkinkan manipulasi demokrasi. Dengan adanya dukungan politik keluarga dan cawe-cawe Presiden Jokowi, Gibran berhasil melewati berbagai kontroversi, termasuk isu akun anonim "fufufafa" yang sempat viral.
Fenomena ini mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia lebih fokus pada figur politik ketimbang sistem demokrasi yang sehat. Tanpa partisipasi politik yang kritis, praktik politik dinasti semakin mudah dilanggengkan.
Lebih dari sekadar politik, depolitisasi adalah akar dari ketimpangan sosial dan ekonomi. Ketiadaan tekanan publik memungkinkan elit politik dan korporasi untuk meloloskan kebijakan yang menguntungkan mereka. Studi dari CELIOS menunjukkan bahwa kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta penduduk.
Sementara itu, distribusi bansos yang masif menjelang Pemilu 2024 menjadi contoh bagaimana apatisme publik dimanfaatkan untuk tujuan politik. Tanpa partisipasi aktif masyarakat, kebijakan-kebijakan populis ini semakin mengikis kualitas demokrasi.
Untuk mencegah terulangnya fenomena seperti Gibran Rakabuming Raka, diperlukan upaya serius untuk membangun kembali kesadaran politik masyarakat. Pendidikan politik yang kritis dan media yang independen harus menjadi prioritas. Tanpa itu, warisan depolitisasi akan terus menghasilkan generasi yang apatis, membuka jalan bagi dinasti politik dan manipulasi demokrasi.
Terpilihnya Gibran sebagai Wakil Presiden bukan hanya cerita tentang ambisi politik keluarga, tetapi juga cerminan mendalam dari bagaimana depolitisasi membentuk arah politik Indonesia. Dengan mengatasi apatisme dan trauma kolektif, bangsa ini dapat membangun demokrasi yang lebih sehat dan inklusif