Depresi Pasca Kelahiran Juga Bisa Menimpa Pria

Depresi Pasca Kelahiran Juga Bisa Menimpa Pria

Saya cemas luar biasa selama setengah jam menunggu, saya tak berhenti merapal segala macam doa dan berusaha menepis segala pikiran buruk. Hanya satu harapan saya: istri dan anak saya selamat. 

Hari itu, saya resmi jadi ayah. Tak henti-henti saya mengucap syukur; saya kabari pula kerabat terdekat untuk mengucap terima kasih atas doa mereka. Saya larut dalam suka cita dan merasa bak orang paling bahagia di dunia. 

Ternyata kebahagiaan itu tak bertahan lama.

Setelah perawat mengantarkan anak saya ke kamar rawat inap, saya kembali cemas. Pikiran buruk buruk merajalela, bagaimana jika anak saya tak bisa tumbuh sehat? Bagaimana jika saya tak bisa menjadi orangtua yang baik? Bagaimana jika kondisi istri saya memburuk? 

Perut saya mual,  tapi saya berusaha tampak baik-baik saja di depan istri. Saya tak mau dia ikut cemas. Istri saya sudah bertaruh nyawa, dia butuh suami yang sigap dan kuat, bukan yang loyo. 

Bagaimana jika saya tak mampu jadi suami seperti itu?

Kecemasan saya semakin menjadi ketika mulai mengurus anak di rumah. Setiap mendengar anak saya menangis: jangan-jangan anak saya sakit berat. Ketika anak saya tak kunjung bangun lebih dari dua jam, saya pikir jangan-jangan ia pingsan. Dan lain sebagainya. 

Lambat laun, kecemasan bikin saya susah tidur dan tak fokus bekerja. Saya pun cenderung menghindari kontak dengan anak saya. Terutama setelah istri saya mulai pulih dan lebih tangkas merawat anak kami. 

Kondisi itulah yang saya ceritakan ketika bertemu dokter Santi Wulandari dua minggu lalu. Ia adalah konsultan laktasi cum nutrisionis yang sejak awal kelahiran selalu saya repotkan dengan aneka pertanyaan. Tak cuma seputar ASI dan gizi anak yang memang menjadi spesialisasinya, tapi juga hal-hal yang menjadi kecemasan saya. 

Kata dokter Santi, apa yang saya alami adalah gejala postpartum depression–episode depresif yang dialami orangtua baru. Pada umumnya menimpa ibu baru yang memiliki riwayat depresi dan gangguan kecemasan saat hamil, kurang dukungan dari pasangan dan keluarga saat mengurus anak, dan korban mom shaming. 

“Biasanya ibu-ibu suka ditanya, udah keluar belum ASI-nya? Anaknya sudah bisa apa? Nah, itu secara gak langsung termasuk mom shaming. Bisa sangat mempengaruhi mental ibu,” kata dokter Santi. 

Kondisi serupa, kata dokter Santi, bisa juga menimpa ayah baru. Gejala awalnya pun sama-sama dari kecemasan. Bedanya, cara ibu baru mengatasi kecemasannya cenderung dengan menangis, mengurung diri, dan berkurang nafsu makan. Sementara, ayah akan mudah marah, tak fokus kerja, ingin main terus, bahkan ada yang berjudi. 

“Seringkali tanda-tanda pada ayah itu kurang diperhatikan, karena biasanya setelah kelahiran perhatian semua orang tertuju ke ibu dan anaknya. Kalau ada yang jenguk bayi, ayahnya dibiarin aja, enggak ditanya kabarnya, enggak diajak ngobrol, akhirnya diem aja di pojokan,” kata dokter Santi. 

Pada kasus yang pernah menimpa kliennya, dokter Santi menyatakan pembatasan keterlibatan ayah dalam mengasuh anak menjadi pendorong depresi. Ini berkaitan dengan pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang patriarkis. Laki-laki bekerja, sementara perempuan mengurus rumah tangga termasuk mengasuh anak. Sehingga, ketika laki-laki ingin mengasuh anak dianggap menyalahi nilai kepantasan. 

Dalam kasus kliennya itu, kata dokter Santi, pada akhirnya si ayah dan si ibu sama-sama terkena depresi. Si ibu ingin mendapat bantuan dari si ayah. Sementara, si ayah takut mendapat penilaian buruk dari lingkungan keluarganya dan menjadi tertekan. Si anak pun menjadi korban karena semakin tak mendapat perhatian cukup setelah kedua orangtuanya depresi. 

“Kita ini terlalu banyak belajar bikin anak, tapi hampir enggak pernah diajari cara mengasuh anak. Ketika enggak tahu, enggak dapat dukungan dan malah dicap macam-macam,” kata dokter Santi.

Prevalensi Tinggi 

Menurut Deborah da Costa dkk dari McGill University, yang dipublikasikan di Journal of Affective Disorders (2019), kecemasan memang menjadi faktor psikologis yang mempengaruhi postpartum depression pada ayah baru. Begitu pula dengan rendahnya dukungan sosial, hubungan buruk dengan pasangan, dan pasangan yang depresi. 

Faktor lainnya adalah kualitas tidur yang buruk, usia tua, stres ketika masa kehamilan, dan riwayat depresi. 

Studi tersebut pun menemukan prevalensi postpartum depression pada ayah baru tergolong tinggi. Melalui studi kohort terhadap 622 laki-laki, sebanyak 13,76% mengalami postpartum depression pada 2 bulan setelah kelahiran. Lalu, 13,60% mengalaminya pada 6 bulan setelah kelahiran.  

Dalam studi yang dikutip What to Expect, berdasarkan meta analysis terhadap 23 riset di seluruh dunia yang dipublikasikan antara 1995-2020 terhadap 40 ribu ayah baru, 12 persen dari mereka mengalami gangguan kecemasan pada tahun pertama setelah kelahiran. Angka ini hampir setara dengan yang dialami ibu baru dan mereka sama-sama menunjukkan gejala postpartum depression. 

Sedangkan, berdasarkan analisis Jonathan R. Scarf  yang dipublikasikan di jurnal Innov Clin Neurosci (2019) terhadap 43 studi multinasional, 18 persen ayah baru mengalami kecemasan, 3,4-4,3 persen  mengalami gangguan kecemasan umum, 5 persen mengalami gangguan stres pasca trauma (PTSD) beberapa bulan setelah kelahiran, dan 1,8 persen mengalami gangguan obsesif kompulsif. 

Perubahan hormonal pada laki-laki pun dicatat Scarf sebagai salah satu risiko utama. Misalnya, penurunan testosteron yang menyebabkan agresi lebih rendah sehingga lebih responsif terhadap tangisan anak. Lalu, penurunan estrogen yang menyebabkan penurunan keinginan mengasuh anak. 

Dampak Terhadap Anak dan Terapi

Akibat dari postpartum depression pada ayah baru, selain rusaknya harmoni pasangan adalah perilaku buruk pengasuhan pada anak. Penderitanya jadi tidak sensitif terhadap anak bahkan cenderung abai. Anak yang tinggal bersama ayah dengan depresi dan gangguan mental, 33-70 persen lebih berisiko memiliki masalah emosional dan gangguan perilaku. 

Untuk anak usia 0-4 tahun, gangguan perilaku yang terjadi adalah peningkatan agresi. Lalu, pada anak usia 4-5 tahun mengalami gangguan keterlambatan perilaku, emosi, dan perkembangan sosial. 

Apa pengobatan yang bisa dilakukan?

Menurut Scarf, sampai sejauh ini belum ada uji coba terkontrol untuk mengevaluasi pengobatan postpartum depression pada pria. Namun, karena kondisi ini bergejala episode depresi besar yang hampir mirip antara pria dan wanita, maka pengobatannya agak mirip. Sebagai pengobatan lini pertama bisa dengan memberi antidepresan seperti sertraline. Dengan catatan, sedikit bukti yang menunjukkan bahwa antidepresan dapat mencegah postpartum depression, setidaknya pada wanita. 

Cara lain bisa melalui psikoterapi, seperti terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi interpersonal (IPT). Keduanya, seperti dicatat Scarf, terbukti efektif mengurangi depresi dan lebih disukai penderita postpartum depression laki-laki daripada menggunakan terapi obat. 

Intervensi lain yang direkomendasikan adalah dengan mengurangi gejala postpartum depression, seperti dukungan dan pengakuan perasaan. Edukasi prakelahiran juga sangat berperan. Lalu, dukungan dari pemberi kerja seperti melalui cuti berbayar dapat membantu ayah baru beradaptasi dengan perubahan dan pemicu stres selama periode pasca persalinan.

Terkait kondisi saya, dokter Santi pun menyarankan agar terlebih dulu terbuka dengan istri. Sebab, bisa saja istri saya sebetulnya sudah merasakan kecemasan saya tapi tak berani bertanya. Bisa jadi juga selama ini istri saya merasa kuat mengasuh anak dengan porsi lebih besar karena tak enak hati melibatkan saya. Padahal sebetulnya istri saya butuh bantuan. Bila kondisi tersebut benar dan terus berlanjut, maka besar kemungkinan kami sama-sama depresi. 

Sehari setelah bertemu dokter Santi, saya akhirnya memberanikan diri mengungkap kecemasan saya kepada istri. Dokter Santi benar, istri saya pun mengalami kecemasan serupa. Kami ngobrol panjang lebar. Saling mengungkap pikiran dan berusaha mencari solusi bersama. Pusing di kepala saya mereda dan tidur saya jadi lebih nyenyak.