Di Balik Pendapat Ngawur Pakar di Internet

Kadang kita lupa bahwa orang-orang yang kita temui di media sosial, yang biasa kita lihat meng-upload video TikTok lucu-lucuan atau status guyonan Facebook adalah orang-orang yang punya pekerjaan sehari-hari. Beberapa diantaranya menghabiskan setidaknya lima hari per pekan sebagai spesialis. Merekalah yang kerap disebut kaum profesional.

Namun ada di antara para profesional tersebut yang memiliki centang biru dan memutuskan membuka diri untuk percakapan publik. Tidak sedikit dokter di mancanegara yang menyampaikan keahlian medis mereka di luar rumah sakit. Kini, para profesional tidak hanya berkesempatan berpendapat ketika ada kasus sebagai pundit atau cendekiawan, namun juga membuat konten media sosial.

Keberadaan kaum profesional di linimasa internet menjembatani jarak antara para ahli dan masyarakat. Pengetahuan dari praktik profesional dapat menyentuh masyarakat secara langsung, sehingga masyarakat dapat mengambil pilihan-pilihan hidup yang bijak tanpa harus mengantri di rumah sakit. Politisi seperti Ridwan Kamil pun rajin hadir di media sosial dan berinteraksi langsung dengan masyarakat.

Namun ada sisi gelap dari jembatan antara para ahli dan masyarakat ini. Ada alasan mengapa jurnalisme, pendidikan, dan hubungan masyarakat adalah bidang yang terpisah. Masing-masing memberitakan peristiwa, mengajarkan ilmu, atau mengelola krisis adalah bidang yang mengandaikan interaksi antara ahli dengan masyarakat umum. 

Di bidang-bidang inilah para ahli cenderung lebih fokus terhadap interaksi dengan orang awam. Perawat yang merawat orang sakit dan perawat yang melatih perawat lain tentu memerlukan keahlian yang berbeda, bukan? Lantas, bagaimana kalau ahli dalam suatu bidang tidak mahir dalam berinteraksi dengan publik, namun rajin berhadapan dengan publik via akun media sosial mereka?

Jas Putih Tidak Berarti Malaikat

Tidak sedikit nakes yang membuat konten TikTok dengan merekam pasiennya atau menceritakan kasus pribadi pasiennya di Twitter dengan nada yang mencemooh. Hal-hal ini dilakukan dengan dalih ekspresi pribadi atau “agar orang lain dapat belajar”. Karena merasa sudah berpengalaman sebagai ahli medis, banyak dari mereka yang tidak mau disalahkan.

Padahal, profesi medis memiliki kode etik yang memberikan batasan dan tanggungjawab. Bila publik mengkritik etika atau pendapat si ahli medis, tentu ada kemungkinan bahwa ada yang perlu ditinjau ulang dari perilaku si ahli medis tersebut.

Baru-baru ini dr. Gia Pratama sempat viral karena mengunggah foto yang menjelaskan bahwa ketika arkeolog menemukan tulang belulang kita ratusan tahun dari sekarang, terlepas dari identitas gender atau orientasi seksual kita, kita akan tetap dicap pria atau wanita berdasarkan ukuran tulang panggul. 

Tweet ini tentu dikritik oleh netizen dari berbagai kalangan. Bukannya meminta maaf atau mengaku salah sehingga mau belajar lagi, dokter tersebut malah defensif dan bersikeras terhadap posisinya walau sudah dikritik seraya mengejek orang-orang yang mengkritiknya.

Dr. Gia tak seorang diri. Dr. Tompi, eks-anggota grup musik Ecoutez! yang kini bekerja sebagai ahli bedah plastik, berkomentar mengenai Irjen Teddy Minahasa yang pernah menjadi pasiennya dan kini terkena kasus narkoba. Cerita Teddy Minahasa di klinik Tompi seharusnya ada di wilayah kerahasiaan pasien-dokter. 

Tidak hanya dokter, ada juga profesional akademik seperti Ersa Tri Wahyuni yang merupakan ahli akuntansi, membuat utas mengenai anjuran jangan berkumur setelah menyikat gigi atas klaim fluoride butuh waktu untuk bekerja, padahal ia bukan ahli kesehatan gigi.

Menjadi seorang profesional berarti memiliki tanggung jawab tertentu pada masyarakat umum berdasarkan kode etik profesi (misalnya Sumpah Hippokrates para dokter). Menurut pakar etika Kees Bertens, amanah tersebut harus bergantung pada prinsip kejujuran dan profesionalitas, dan ketika membuat salah, kesalahan tersebut akan sangat dirasakan oleh publik yang memandang mereka sebagai ahli. Dan publik sudah bereaksi. 

Batas antara pendapat profesional keahlian dan pendapat pribadi (karena akun media sosial milik pribadi) juga menjadi kabur. Tidak jarang pula kita mendengar kasus ahli medis yang tidak bisa memisahkan nilai-nilai pribadi dengan pendapat profesional ketika berurusan dengan pasien. Status profesional para ahli yang rajin bercuit di media sosial seperti menjadi bemper untuk mengomentari apapun. 

Indonesia bukanlah pengecualian dari negara yang cenderung terobsesi dengan status. Tidak jarang di media sosial, misalnya, ada orang yang menulis gelarnya di display name akun mereka. Saya teringat suatu rekaman acara Mamah Dedeh, ketika beliau menegur seorang yang memperkenalkan diri sebagai Bu Haji. Mamah Dedeh menyebutnya sombong karena setelah naik haji, seakan-akan Bu Haji merasa spesial dan memiliki status tertentu (penyematan kehormatan bagi status haji adalah sesuatu yang sudah ada di Indonesia setidaknya sejak 1916).

Mungkin akibat kesombongan status yang melekat di budaya kita inilah banyak profesional tidak mau menerima kritik. Mereka merasa lebih tahu karena sudah bertahun-tahun kuliah atau sudah menangani banyak pasien.

Bahkan ada pula yang masih mencemooh pasien walaupun ikatan profesinya sudah buka suara mengenai sang bidan yang menghakimi status pernikahan pasien yang meminta kontrasepsi. Pihak yang seharusnya melayani malah berprasangka buruk terhadap pasien. 

Otoritas dan yang Berhak Berpendapat

Dalam kasus dr. Gia, ia sempat mengkritik kembali seorang pengkritik dari luar negeri yang mengaku sebagai seorang arkeolog dengan display name Stormy Kitty Kat dan display picture tokoh animasi. Tidak jelas apakah ia seorang arkeolog atau bukan. Namun, sepertinya dr. Gia kesulitan percaya bahwa ia adalah seorang arkeolog karena akunnya tidak mencerminkan itu. 

Kok bisa dr. Gia tidak menseriusinya? Nama dan foto diri di media sosial bisa jadi tidak terlalu penting bagi pemiliknya. Toh, seseorang bernama Chise yang akun Twitternya penuh dengan gambar furry (orang yang gemar dengan karakter hewan antropomorfik yang sering menjadi olok-olok internet), rupanya diapresiasi sebagai sosok penting dalam pengembangan vaksin Moderna.

Yang dipermasalahkan kemudian adalah identitas Stormy Kitty Kat, bukan argumennya. Dalam ranah perdebatan, itulah yang dinamakan ad hominem—menyerang karakter atau atribut dari orangnya, dan bukan argumennya. 

Apakah di Indonesia profesionalitas seseorang hanya dinilai dari citra publik? 

Apakah para pekerja—dari kerah biru sampai putih—tidak diperbolehkan memiliki identitas yang terpisah dari jabatan atau pekerjaan? 

Bila begitu, para pekerja hanya dianggap sebagai perpanjangan dari sebuah perusahaan atau institusi.  

Ataukah masalahnya ada di para profesional kerah putih yang merasa berhak untuk mengomentari apapun karena merasa punya stempel profesi yang melekat? 

Status mereka di masyarakat memungkinkan adanya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), seperti dalam kasus psikiater Dr. Fidiansyah yang tidak mau mengikuti pedoman psikiatri mengenai patologisasi LGBTQ+ atau pernyataan sikap Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia mengenai isu yang sama. Otoritas mereka malah digunakan untuk mengesampingkan hak komunitas yang termarjinalkan untuk bebas dari diskriminasi.  

Sebagai profesional yang memiliki posisi tertentu dan memiliki audiens luas di media sosial, dampak dari kata-kata mereka lebih luas dan lebih lebar, sehingga mesti lebih berhati-hati. Bebas berpendapat bukan berarti bisa berbicara seenak jidat, apalagi–seperti di kasus dr. Gia–ketika hal yang dibicarakan bersinggungan dengan komunitas termarjinalkan yang rentan didiskriminasi dan bidangnya berada di luar keahlian yang berpendapat tersebut. 

Tidak sedikit ahli arkeologi lokal maupun internasional yang mengkritik pernyataan dr. Gia dengan mengutip berbagai penelitian mengenai pentingnya bersikap kritis mengenai gender dan keragaman perspektif dalam bidang arkeologi. 

Walaupun ilmu pengetahuan bersifat terbuka dan dr. Gia memiliki kualifikasi untuk berbicara tentang anatomi juga sebagai dokter, hal yang beliau komentari bisa disanggah secara ilmiah. Misalnya saja, bila meneliti pola cara penguburan manusia berdasarkan gender dengan perspektif yang mengedepankan oposisi biner (hanya ada laki-laki dan perempuan), ada kemungkinan pelanggengan persepsi yang terbatas terhadap identitas gender. Hal tersebut cenderung dihindari di bidang arkeologi, karena berbagai budaya dari berbagai masa memiliki variasi gender yang melampaui laki-laki dan perempuan. 

Validitas Identitas di Luar Profesi

Dengan kicauannya yang memperlakukan identitas trans/non-biner sebagai sesuatu yang tidak sah dengan dalih biologi yang hitam dan putih, tweet dr. Gia tidak sensitif terhadap realitas komunitas LGBTQ+. Dengan klaim yang beliau buat, ia mengatakan secara tidak langsung bahwa hanya karena ia adalah seorang dokter yang lebih paham biologi dan anatomi manusia, artinya identitas mereka yang trans/non-biner tidak sah di bawah mata ilmu sains. 

Mungkin komunitas LGBTQ+ yang disinggung beliau bukan ahli dalam ilmu sains, tapi setidaknya mereka punya pengalaman hidup mengenai isu gender yang tengah disinggung. Tanpa harus memiliki otoritas profesional dalam bidang yang dimaksud, pandangan mereka terhadap isu tersebut tetap valid. 

Seseorang bebas untuk berkecimpung dalam berbagai bidang dan berpendapat selama argumennya bisa dipertanggungjawabkan. Dengan begitu, sebenarnya tidak masalah bagi dr. Gia sebagai pribadi untuk berpendapat. 

Namun, sebagai seorang profesional, ia memiliki tanggung jawab terhadap etika profesinya, dan ia telah menyalahgunakan tanggung jawab tersebut. Kalau pun soal otoritas mau dipermasalahkan, toh kicauan ini berasal dari seorang dokter yang bukan ahli arkeologi ataupun berasal dari komunitas tersebut.

Sama halnya ketika para profesional merasa perlu misuh-misuh soal tantangan dan keberatan di bidang mereka sebagai para ahli, orang lain juga sah berekspresi dengan cara yang berbeda-beda. 

Keahlian, pengalaman hidup, atau identitas mereka seharusnya tetap diakui selama masih memiliki keabsahan dalam argumentasinya, walaupun tidak secara gamblang mereka mencitrakan diri sebagai ahli. Itulah yang dinamakan berinteraksi dengan itikad baik (good faith).

Jangan mentang-mentang sudah profesional, terkenal, dan bercentang biru, ketika bercuit, berasumsi bahwa yang merespon dia semuanya awam. Karena di belakang avatar yang beraneka ragam itu, bahkan di antara para troll dan tukang bully yang gemar mencari keributan di linimasa, ada berbagai jenis manusia yang berhak atas itikad baik terhadap argumentasi mereka, terlepas dari status atau jabatan mereka ataupun citra mereka di media sosial. 

Harlan Ellison mengatakan: “You are not entitled to your opinion. You are entitled to your informed opinion. No one is entitled to be ignorant.” Anda tidak berhak berpendapat. Anda berhak berpendapat dengan pengetahuan. Tidak ada yang berhak untuk bodoh.