Diari Ibuk

Diari Ibuk
Muhamad Kusuma Gotansyah

TL;DR
Di tengah suasana pasca Perang Dunia V, di sebuah dunia yang masih berjuang pulih dari kehancuran, seorang pemulung dokumen menemukan sebuah diari yang ternyata milik Ibuknya. Di dalamnya, ia menemukan kisah perjuangan Ibuk sebagai seorang guru yang menentang sistem pendidikan yang tidak manusiawi pasca perang.

    Tahun-tahun ribet lekas berlalu. 2041, setelah hampir satu decade, Perang Dunia V selesai dengan hasil yang kerasa antiklimaks, tapi sebenarnya jadi PR besar buat dunia: perdamaian. Perdamaian Dunia, atau istilah Inggrisnya Global Peace, adalah dokumen yang ditandatanganin 200 negara di World Crisis Solution Forum 2041. Gagasan Perdamaian Dunia muncul dari para pemikir dan pemimpin negara Blok Timur, sebagai penolakan terhadap tawaran Blok Barat untuk menghilangkan istilah Blok Timur dan Blok Barat, dengan syarat semua negara di dunia ada di bawah monitor Amrik.
    Perdamaian Dunia, walau ada kata “perdamaian”nya dan nyempilin istilah “dunia”, punya tujuan utama untuk tetap ngebelah “dunia” jadi dua bagian: Blok Timur dan Blok Barat. Alasan yang mendasari pembagian ini, menurut para pemikir dan pemimpin negara Blok Timur, adalah “kontradiksi-kontradiksi fundamental dalam segi sosiopolitik, ekonomi, dan ideologi”. Menurut para pemikir dan pemimpin negara Blok Timur, hal-hal fundamental inilah yang bikin beberapa negara masuk ke Blok Timur dan beberapa negara lain gabung sama Blok Barat pas terjadi penyanderaan intel Amrik di Palestina tahun 2029, yang mana adalah upaya Amrik buat ngelumpuhin pembangunan Palestina yang sudah merdeka tiga tahun sebelumnya, plus jadi titik awal Perang Dunia V—secara official mulai tahun 2030. Konflik yang memantik perang itu membuat negara-negara di dunia secara nggak langsung saling berafiliasi, khususnya didasari oleh kesamaan ideologis dan tujuan perjuangan.
    Gara-gara Perdamaian Dunia, walau ngebuat negara-negara Blok Timur bebas dari kungkungan Amrik dan rekan-rekan Blok Baratnya, juga jadi beban berat karena poin penting dari Perdamaian Dunia adalah kemerdekaan total bagi Blok Barat dan Blok Timur untuk menjalankan aktivitas sosiopolitik dan ekonomi masing-masing blok tanpa campur tangan pihak lain, yang artinya negara-negara Blok Timur, yang udah babak belur dilucuti, dimiskinin, dibikin hampir nggak punya apa-apa sama Amrik dan gengnya, harus bisa ngebangun kembali diri mereka dengan segala kekurangan dan kehancuran yang ada; tanpa bantuan dalam bentuk apa pun, sesedikit apa pun, dari Blok Barat.
    Hal tersebut memang berat, tapi nggak masalah, sih. Negara-negara Blok Timur, selama menghadapi perang sepuluh tahunan, punya satu prinsip yang dipegang erat, yang juga menyatukan negara-negara ini: the joy of labour and the labour of joy. Kebahagiaan dalam bekerja dan pekerjaan yang nyiptain kebahagiaan. Negara-negara Blok Timur melihat bekerja, apa pun itu—ngangkat serpihan pesawat Prancis, nyapu jalan, masak mi instan, ngejahit gamis dan kemeja, nyusun batu bata, nanam dan manen padi, ngerawat dan menggembala hewan ternak, ngajar bahasa Inggris dan filsafat, ngumpulin buku-buku yang masih utuh dari reruntuhan Perpusnas Jakarta, dan kerjaan lainnya—sebagai sebuah usaha ngupayain kebahagiaan. Karena ekonomi dunia, seperti segala hal lainnya selama perang, dikuasai oleh Blok Barat, nggak ada uang di Blok Timur untuk dipertukarkan. Karena nggak ada uang, bayaran dari pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan juga. Para petani dibayar oleh para tukang masak dengan dimasakin makanan enak, atau dibayar sama para penjahit dengan pakaian yang nyaman buat bertani. Para tukang masak atau penjahit dibayar oleh para guru dengan pelajaran-pelajaran biologi dan matematika dasar agar lebih jago bercocok tanam. Para guru, yang lebih banyak mengajar anak-anak, dibikinkan rumah sama orang tua-orang tua murid yang bisa ngaduk semen dan nyusun bata. Para tukang bangunan, yang juga mengupayakan bidang tanah yang lebih layak untuk pertanian dan peternakan, dibayar para peternak dan petani dengan hasil ternak dan tani. Siklus kayak begitu terjadi berterusan, dan beririsan juga dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
    Dini, kakakku, adalah seorang petani, tapi kalau malam dia juga ngajar ngaji anak-anak kecil di perumahan. Selama perang, itulah kerjaan Dini. Selama perang, aku masih umur SMA, dan lebih sering ngabisin waktu belajar, selain bantu-bantu pekerjaan orang-orang dewasa yang bisa aku bantu. Biasanya, aku bisa dapat bahan makanan dari bantu-bantu itu, yang bisa aku bagi dua sama Dini. Sekarang, Dini masih bertani, pakai tanah yang dikelola secara kolektif oleh teman-teman petaninya. Dini juga masih ngajar ngaji setiap malam Rabu dan malam Jumat.
    Aku jadi pemulung dokumen bersama beberapa warga perumahan. Kami ngutamain kerja di situs-situs reruntuhan sekolah, kampus, atau perpus umum. Dokumen, yang maksudnya buku-buku dan kertas-kertasan yang bisa ditemuin dan masih bisa direstore. Kalau ada kertas-kertasan yang buram tapi masih bisa dibaca, ada orang-orang yang kerjanya nulisin ulang apa yang tertulis. Aku fokus mulung, tapi juga bantu-bantu pengarsipan. Tahun ini, kami para pemulung bersyukur karena dapat kiriman laptop-laptop bekas dari Cina. Kerja-kerja nulis ulang dan pengarsipan jadi lebih enak. Setelah ngarsip, di waktu senggang, aku izin buat pakai laptop untuk kirim-kirim application ke kampus-kampus di Cina dan Palestina. Negara-negara itu lagi ngupayain untuk mencari mahasiswa baru sebanyak-banyaknya. Orang-orang Indonesia, juga menggalakkan banget anak-anak muda untuk belajar ke sana, biar kemudian bisa pulang lagi buat nyebarin ilmu. Aku juga mau ikutan.

*****

    Di tengah kerjaan yang sibuk, aku nemuin diari Ibuk. Dulu Ibuk adalah seorang guru di sekolah negeri, tapi kata Dini dulu kerjaan guru beda banget sama sekarang sehabis perang. Sebelum perang, guru-guru udah banyak yang diberhentiin. Ibuk adalah salah satu guru terakhir yang dipecat. Juga kata Dini, tujuannya dipecat-pecatin begitu karena profesi guru dulu itu dinilai nggak efisien sama pemerintah. Gaji kecil, ngeluh melulu, sementara beban kerja besar, jadi pemerintah mikirnya mending dinggakadain aja. Guru-guru dipecat, atau dipindahin kerjanya jadi pegawai Pengembangan Pembelajaran Mandiri (PPM). Sebagai gantinya, sebuah teknologi Singapura yang diadaptasi Indonesia jadi Spam (Sistem Pembelajaran Mandiri), diproduksi besar-besaran. Lagi-lagi kata Dini, Spam itu bentuknya kayak kursi pengering rambut di salon-salon yang udah nggak ada sejak 2020an. Murid disuruh duduk di sana, kepalanya dimasukin ke bawah helm pengering rambutnya, lalu ‘guru’ mencet-mencet tombol di belakang kursi. Ini dilakuin kira-kira setengah jam, tiga kali sehari, lima kali seminggu. Lewat proses ini, otak murid dimasukin langsung dengan info-info fundamental terkait pelajaran. Nggak ada interaksi guru sama murid, semuanya praktis. Ujian diadain sekolah setiap setelah empat bulan, dan bagi murid-murid yang nggak dapat nilai 100, harus ngulang nge-Spam selama sebulan.
    Aku masih kecil banget saat Ibuk hilang, tapi Dini bilang Ibuk udah meninggal. Dini bilang Ibuk meninggal sebagai pahlawan karena nolak jadi pegawai PPM, dan bareng beberapa guru ngebawa sebuah Spam ke depan kantor Kementerian Pengetahun untuk dibakar. Hari ini aku belajar lebih banyak hal. Kami lagi mulung di tempat yang kelihatannya reruntuhan sebuah sekolah. Saat fokus mulung aku nemu sebuah buku seukuran telapak tangan, agak tebal. Saat halaman pertama aku buka, ada nama lengkap Ibuk, nama yang sering diucapin sama Dini. Aku iseng langsung buka halaman terakhir, yang ternyata kosong. Aku nyari halaman terakhir yang ada tulisannya, dan aku nemuin cerita Ibuk soal hari terakhirnya di sekolah.
    Di diarinya, Ibuk nulis kalau hari itu, hari terakhirnya jadi guru, adalah hari paling ngeselin dalam hidupnya. Ibuk nggak sedih, nggak kecewa, nggak putus asa, tapi marah. Dia mengenang tahun-tahun pertamanya jadi guru, di mana semua tetek bengek administrasi guru mulai paperless. Ibuk nulis, sejak saat itu, dia percaya pendidikan di Indonesia bakal maju. Nggak nyampai sepuluh tahun setelah itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berubah nama jadi Kementerian Pengetahuan, dan kurikulum baru bernama Kurikulum 2030 diberlakukan. Satu-satu, para guru di sekolah-sekolah, negeri maupun swasta, diberhentiin, digantiin sama Spam. Para guru yang diberhentiin diberi tawaran, yang sebenarnya ancaman, buat kerja jadi pegawai PPM. Kerjaannya nginput-nginput silabus dan kompetensi-kompetensi dasar berbagai pelajaran ke Spam. Di hari terakhir Ibuk jadi guru, yang mana setahun habis heboh-heboh Kurkilum 2030 dan Spam, Ibuk juga terakhir nempelin jempol ke mesin absensi fingerprint di depan kantor guru. Ibuk bertekad, dia akan keluar tanpa nempelin jempol lagi, dan akan keluar sambil narik Spam bareng beberapa teman-teman guru lamanya. Pakai pickup, mereka berencana nempuh perjalanan darat empat hari dengan ngebawa Spam tersebut ke depan kantor pusat Kementerian Pengetahuan di Nusantara.
    Tulisan Ibuk selesai di sana. Aku nggak tahu apakah Ibuk tahu, bahwa beberapa hari setelah rencana besar Ibuk itu, dunia perang.
    Halaman berikutnya ternyata ada tulisan lagi. Diawali untuk dini dan adik.
    Malam-malam aku dan kakakku Dini makan daun singkong rebus dan sedikit nasi, singkongnya dari Dini, nasinya dari aku. Hasil kerjaan hari ini sebetulnya cukup buat dua orang makan tiga harian, tapi Dini lagi nyoba berhemat dan berusaha ngebikin persediaan makanan itu bisa nyampai lima hari. Di sela-sela nyuap nasi dan daun singkong aku ngasih tahu Dini soal diari Ibuk.
    “Kamu nemu apa?”
    Aku ngejelasin bagaimana aku bisa nemuin diari Ibuk, di mana, dan kapan. Pakai tangan kiri aku ngambil diari Ibuk dan ngebuka halaman pertamanya, yang ada nama lengkap Ibuk. Sambil tetap makan Dini ngelihat dekat-dekat diari Ibuk, matanya bersinar-sinar banget.
    “Ibuk nulis sesuatu buat kita.”
    Aku nunjukin halaman yang ada tulisan untuk dini dan adik, habis itu langsung aku bacain. Dini dengerin, kunyahannya melan.
    “Ibuk tidak akan mati. Di saat kalian, anak-anakku, menemukan buku ini, Ibuk akan berada sangat jauh dari kalian, tapi tidak mati. Kalian anak-anak cerdas yang akan membangun kembali dunia, dan kalian juga akan menemukan Ibuk.”
    Aku lihat Dini senyum gemas dan duduknya oleng dikit ke belakang. Ia senyum lama banget dan matanya bersinar-sinar lagi.
    Dini nggak ngehabisin makanannya, padahal kayaknya tinggal sesuap. Aku juga susah ngehabisin makanan. Aku kepikiran Ibuk. Aku mau ngajak Dini untuk libur kerja besok, dan pergi ke reruntuhan sekolah kemarin.
    “Ibuk nulis apa lagi?”
    Dini nanya sambil pelan-pelan ngeludesin sisa makan malamnya. Aku kembali ngebacain. 
    “Ibuk nulis, Ibuk sayang kalian.”