Motor Boleh Kemalingan, Tapi Kencan Tetap Jalan
Subtitle: Diari pacaranku di Trans Semanggi Suroboyo
Turun dari tangga, pagar kos sudah terbuka. Dan motor saya tidak ada. Helmnya juga. Ketika menulis ini, saya membayangkan—sambil senyum-senyum, pada titik ekstrem mungkin beginilah yang terjadi jika cita-cita Karl Marx tentang peniadaan hak kepemilikan pribadi tercapai. Selagi tidak digunakan, motor siapa pun bisa kita tunggangi. Daripada nganggur kan?
Dari kemalingan dan kemalangan itu, yang tidak kalah terpukul—selain saya sendiri—adalah Salsha. Kami kehilangan moda kencan utama. Sebelum tragedi tersebut, banyak yang merekomendasikan untuk menjalankan ritual bus date. Bahkan orang yang tidak saya kenal pun turut memberi saran lewat FYP media sosial. Namun, tidak satu pun dari kami mempertimbangkan secara sungguh-sungguh ide itu. Kami punya alasan masing-masing. Salsha sudah familiar dengan TransJakarta sehingga dia mungkin tidak bisa menangkap sisi romantis kencan di atas transportasi umum. Sedangkan saya cenderung lebih realistis. Meskipun kadang lengan dan leher jadi kencang, tidak bisa dipungkiri bahwa dipeluk lebih nyaman daripada duduk bersisian.
Jalanan Surabaya yang mestinya menjadi jalur night ride tidak lagi bisa kami susuri.
“Untuk sementara kita kencan di kampus aja, ya?” Saya mengemis pengertian.
“Iya, enggak apa-apa kok, sayang.” Salsha memberikan pengertian dengan raut muka setengah iba.
Tugas-tugas kami kerjakan di student center. Mie Gacoan kami lahap di amphitheater. Kadang-kadang terasa ganjil. Karena kami sudah terbiasa nugas di cafè, dan makan di restoran langsung. Pikir saya tak apalah, asal sama Salsha. Lagian, paling tidak kami bisa memotong anggaran bensin. Sampai pada suatu sore yang direncanakan dengan lumayan matang, kami memutuskan pergi ke Tunjungan Plaza, duduk bersisian di dalam Trans Semanggi Suroboyo.
Kami menunggu di bus stop Dharmawangsa lebih dari seperempat jam. Tidak ada tempat duduk. Bisa saja kami ngemper di undakan teras toko kertas, tapi kami khawatir si pemilik akan mengusir. Atau bayangan yang lebih parah: Seseorang menjatuhkan uang receh di depan kami. Akhirnya, saya dan Salsha memutuskan untuk berdiri saja di bawah plang biru sampai bus kami datang. Sebagai orang kabupaten, saya tidak paham bagaimana seharusnya durasi tunggu dan tempat pemberhentian bus. Yang saya tahu, Salsha menampakkan wajah sedikit tak nyaman dan beberapa kali kedapatan mendengus. Mungkin dia lagi kebelet, tapi gengsi. Entahlah. Namun belakangan saya menemukan satu berkas dokumen yang mengatur tetek bengek transportasi umum berbasis jalan. Konon, durasi tunggu antarbus maksimal 15 menit. Jika lebih dari itu… mungkin kami boleh menjewer pemangku kebijakan. Sayang sekali saya baru tahu beberapa hari yang lalu.
Sebelumnya, saya sudah menginstal aplikasi Teman Bus. Saya pikir itu adalah aplikasi wajib untuk seseorang yang baru terhadap transportasi umum di Surabaya. Namun, pikiran saya tiba-tiba cepat berubah. Padahal beberapa hari terakhir enggak begini. Oh, ternyata karena aplikasi yang baru saya instal. Ampun. Tapi saya kira ini aplikasi yang tidak berguna sama sekali. Informasi yang bisa saya dapat dari aplikasi tersebut cuma rute perjalanan yang terbatas. Yang sebenarnya bisa kita akses melalui mesin pencarian. Ada juga fitur tracking bus, tapi agaknya itu hiasan belaka agar terlihat canggih.
“Surabaya nih payah!” Sebuah umpatan lembut dari Salsha yang membuat saya jadi paham kenapa dia merengut.
Setelah dua puluhan menit, bus kami akhirnya tiba. Salsha sudah menyiapkan kartu e-money berstiker Spongebob Squarepants untuk membayar ongkos sebesar Rp6.200,- kali dua di dekat pintu masuk bus. Pada awal peluncurannya, penumpang Trans Semanggi hanya dipatok ongkos tiga ribu rupiah. Sedangkan pada tahun 2018, Walikota Tri Rismaharini meluncurkan Suroboyo Bus—pendahulu Trans Semanggi Suroboyo—yang sempat bikin gaduh, baik berupa apresiasi maupun kritik. Sebabnya, penumpang Suroboyo Bus hanya perlu membayar dengan botol plastik bekas. Tiga botol besar, lima botol tanggung, atau sepuluh gelas plastik dihargai satu kali perjalanan.
Upaya ramah lingkungan tersebut dirayakan sebagian masyarakat. Sebagian lagi sinis dengan beranggapan bahwa upaya tersebut tak efektif dan hanya gimmick politik. Lagian, siapa juga yang mau bolak-balik pos penukaran tiket hanya untuk naik bus dengan rute minim? Kecuali kita memposisikan diri sebagai pelancong. Seperti kata Bu Risma saat peluncuran bahwa dengan botol-botol bekas itu, “penumpang bisa berkeliling Surabaya selama dua jam keliling secara gratis”.
Kami pun duduk. Bus berangkat menuju utara. memandangi orang-orang dengan kendaraan pribadinya di sisi bus dan ikut terjebak macet. Ini juga menjadi pekerjaan rumah bagi Surabaya dan pekerjaan kasual bagi sopir. Mestinya transportasi umum macam bus yang segede gaban ini memiliki lajurnya sendiri. Namun, itu tidak terjadi di Surabaya. Kami harus berbagi ruang dengan motor dan mobil di kanan-kiri. Dengan kondisi seperti ini, mau tidak mau kami mulai membandingkannya dengan Trans Jakarta. Kita tahu bahwa TJ di Jakarta merayap di lajurnya sendiri. Meskipun kadang ada beberapa motor menyelinap masuk ke jalur bus—entah bagaimana caranya—polisi lalu lintas akan menunggu mereka di ujung jalan. Sedangkan di Surabaya, boro-boro meluncur mulus di lajur sendiri, di tikungan dengan rambu “belok kiri langsung” saja bus masih tersendat dan ikut menunggu lampu hijau. Saya pikir ini juga yang menjadi salah satu alasan masyarakat Surabaya enggan menggunakan jasa transportasi umum.
“Halte Urip Sumoharjo 2,” kata seorang wanita dari pengeras suara bus.
Kami turun. Ini adalah halte terdekat menuju Tunjungan Plaza dengan rute kami—ITS-Unesa. Halte terdekat itu tidak dekat-dekat amat. Kami masih harus berjalan kaki sekitar 20 menit—menurut kecepatan kaki Salsha—sepanjang lebih kurang 1,3 kilometer dari halte untuk sampai ke lobi timur TP. Salsha dan bulir-bulir keringat di dahinya mengeluh capek sambil menuju kursi tunggu halte Basra 2. Bisa saja kami menunggu bus di halte itu, tapi kami memilih tidak membayar dua kali.
Tiba di Tunjungan Plaza, kami sepakat langsung menuju food court untuk memesan makan. Betapa tidak? Kami menghabiskan waktu hampir satu jam di jalanan. Sekitar 20 menit planga-plongo menunggu bus, 11 menit berbagi kemacetan, dan 20 menit dipaksa kardio. Padahal biasanya kami hanya butuh waktu 10-15 menit dari kos untuk ke TP. Selama layanan transportasi umum Surabaya masih begini-begini aja, tidak usah heran jika masyarakat Surabaya lebih memilih berkendara pribadi. Waktu tunggu antar bus yang lama, tidak adanya lajur khusus, rute yang terbatas, dan aplikasi yang tidak membantu, membuat layanan ini enggak worth it. Kecuali jika memang ingin sekadar jalan-jalan menikmati pemandangan kota Surabaya seperti yang dikatakan Bu Risma. Lebih dari itu—jika sedang diburu waktu—saya pikir ini bukan pilihan bijak.
Piring pesanan kami sudah di meja. Salsha melahap makanannya sambil membaca. Sedangkan saya berdoa di dalam hati, semoga motor saya bisa kembali.