Dibalik Konflik Israel dan Palestina

Dibalik Konflik Israel-Palestina: Penindasan Ekonomi terhadap Palestina

"Ada penyebaran lebih dari seribu undang-undang dan peraturan yang dirancang bukan hanya untuk menegakkan posisi subaltern, tanpa hak, warga Palestina di bawah yurisdiksi Israel, tetapi juga untuk menggosok hidung mereka ke dalam lumpur, untuk merendahkan dan mengingatkan mereka betapa mereka dikutuk menjadi lebih rendah dari manusia."
—Edward Said, Intifada and Independence

Saat saya menuliskan artikel ini, kematian hanya berjarak sejengkal, begitu dekat bagi warga Palestina. Israel sedang melakukan genosida terang-terangan dan petinggi negara-negara seperti Amerika, Prancis dan Inggris sedang menikmati ‘teater kekejian kemanusiaan abad 21’.

Lebih dari 8000 warga Palestina dibunuh. Korban itu termasuk 3.457 anak-anak dan 2.136 perempuan. Sedangkan, lebih dari 21.048 orang lainnya mengalami luka-luka. Tak ada niatan dari pihak Israel untuk menghentikan genosida pada warga Palestina, kita bisa melihat pernyataan langsung dari Benjamin Netanyahu. Pada Senin 30 Oktober, Netanyahu justru meminta negara lain untuk memberikan bantuan dalam upaya pembebasan sandera.

Kejahatan kemanusiaan yang terjadi di depan mata kita melalui media sosial, saya kira membuat kita bersimpati pada Palestina yang menjadi korban kekejian Israel. Namun, sayangnya, beberapa orang cenderung menutup mata dan telinga mereka, hanya mendengar apa yang mereka percayai, meskipun fakta kekejian Israel telah jelas terlihat. Saya bingung dengan apa yang mendasari dukungan mereka terhadap tindakan Zionis-Israel, dan saya enggan menganggap bahwa dukungan mereka yang berpura-pura “cover-both-side”, “netral”, atau “mengutuk segala bentuk kekerasan” didasari oleh faktor agama dan keimanan yang sama. Saya merasa bahwa pandangan semacam itu menunjukkan kemalasan berpikir dan kekanak-kanakan.

Sejarah telah mengajarkan kepada kita bahwa tindakan perang, penaklukan, dan pengambilalihan selalu dipicu oleh motif ekonomi, di mana negara tertentu berupaya mengambil keuntungan dari sumber daya yang ada.

Mari kita kesampingkan soal 'tanah yang dijanjikan’, ‘bangsa pilihan di muka bumi' dan sederet suara-ilahi dalam diri masing-masing. Pada nyatanya, ada problem dasar yang terlupakan ketika kita membicarakan tentang Israel, yakni persoalan tentang ekonomi dan ini berkaitan dengan manusia, para warga dan pekerja Arab-Palestina yang kesempatan mendapatkan hidup lebih baik terenggut dan eksistensinya terancam dihilangkan.

Teman saya, Sabda Armandio, mengatakan Israel bukan hanya rezim militerisme (ingat pasca Yom Kippur pemerintah Israel mencurahkan lebih banyak dana untuk sektor militer), ada free trade sebagai struktur penopang ekonomi dengan bumbu-bumbu mitos di dalamnya.

Dalam tulisan ini, saya mencoba menelusuri sejarah perubahan kebijakan ekonomi di Negara Israel, yang awalnya didorong oleh pembangunan, hingga era neo-liberalisme yang dimulai pada tahun 1980-an. Perubahan ini sukses meningkatkan permintaan akan tenaga kerja, terutama pekerja yang murah dari warga Palestina yang saat itu masih hidup di bawah penjajahan.


Sejarah Israel Paling Singkat
Pada 1930, ketika konflik antara komunitas Yahudi dan Arab meletus, para pemimpin gerakan Zionis di AS mengubah pandangan mereka sebagai respons terhadap Masa Depresi. Mereka menyadari bahwa perekonomian pasar perlu diatur dan diawasi oleh negara, bukan hanya mengandalkan regulasi pasar itu sendiri.

Semasa awal dekade abad dua puluh, para pemimpin Zionis mengalami dilema terkait strategi ekonomi apa yang harus dipilih di Palestina:
Apakah World Zionist Organization (WZO) tetap memilih di sektor agraria atau industrial?
Bagaimana secara politis, WZO menggerakan sektor privat yang dipunya warga Yahudi untuk mengalokasikannya ke sektor agrikultur.

Kedua hal ini saling berkaitan karena sektor private kebanyakan di perkotaan dan industrial, sementara sektor nasional adalah agraria. Kedua hal ini juga tampak bertetangan satu sama lain.

Arie Krampf menulis dalam bukunya “The Israeli Path to Neoliberalism” bahwa secara ekonomi sebenarnya sektor agrikultur tidaklah menguntungkan. Dalam rentang waktu 1922 hingga 1947, produksi pertanian oleh komunitas Yahudi hanya menyumbang kurang dari 15 persen dari Total Produk Nasional Yahudi (JNP), sementara sektor manufaktur berkontribusi sekitar 20-25 persen. Dari segi pekerjaan, sektor pertanian menyerap sekitar 27 persen tenaga kerja Yahudi, melebihi kebutuhan sektor manufaktur sekitar 10 persen. Secara keseluruhan, sektor pertanian ini tidak terlalu produktif dan mengalami tekanan yang lebih sedikit dibandingkan dengan sektor industri.

Melihat perkembangan yang tidak bagus-bagus amat, organisasi Zionis mulai memberikan bantuan finansial yang signifikan. Contohnya, pada tahun 1925-1926, organisasi ini menyumbangkan sekitar 60 persen dari total ekonomi nasional Yahudi, dan satu dekade kemudian, bantuan ini meningkat menjadi sekitar 66 persen dari pengeluaran ekonomi. Namun, dalam periode yang sama, hanya sekitar 8 persen dan 7 persen alokasi bantuan diberikan kepada sektor perkotaan. Selain itu, para petani Yahudi di Palestina saat itu cenderung kurang berpengalaman dan kurang produktif dibandingkan dengan petani Arab (fellachin). Hal ini sesuai juga dengan yang ditulis oleh DecolonizePalestine, bahwa para petani Arab lebih handal dan yang paling teramat penting bagi ekonomi adalah upah yang dibayar pada mereka lebih rendah.

Alasan utama kenapa WZO lebih senang mengalokasikan keuangan di sektor pertanian daripada industri adalah karena sektor industri bersifat jangka panjang, dengan kredit yang panjang dan beresiko. Selain itu, tujuan utama WZO bukanlah mendatangkan keuntungan, melainkan membuat pekerjaan baru untuk para imigran Yahudi dalam rangka peningkatan daya serap ekonomi Palestina yang merupakan salah satu syarat terbitnya surat imigran oleh pemerintah Inggris.

Faktor lainnya adalah pada saat itu ada keyakinan bahwa suatu negara harus memproduksi sarana penghidupannya sendiri. Semakin besar sektor pertanian sama dengan besarnya jumlah penduduk yang dapat dicukupi oleh suatu negara.

David Horowitz yang Mewujudkan Mimpi Ben-Gurion

Apabila ada orang bisa dibilang berjasa untuk mengubah kebijakan dan pandangan umum para petinggi Zionist, maka orang tersebut ialah David Horowitz. Bayangkan di tangannya yang tidak memiliki gelar ekonomi dan hanya bermodalkan pengalaman menjadi konsultan ekonom di Economic Bureau, Horowitz mampu melihat kebijakan yang baru di AS pada tahun 1930-an bisa diterapkan bagi ekonomi orang Yahudi di Palestina. Menurutnya daripada keuangan organisasi Zionis dihabiskan sebagian besar pada sektor pertanian yang dianggap menghasilkan “produktivitas”, ia lebih setuju dialihkan pada sektor yang tidak produktif pada masa itu, seperti jasa, perdagangan atau saham, dan manufaktur. 

Melihat rekomendasi yang Horowitz jelaskan dalam artikelnya, Arguments against the Theory of Productivization, bahwa orang Yahudi yang bekerja di sektor privat senyum bahagia bukan main dan mendukung idenya. Tahun 1930an bisa dibilang ekonomi Yahudi berbasis semi-industri, lalu dalam masa 1930-1935 populasi Yahudi meningkat dua kali, kebanyakan merupakan kelas-menengah Yahudi Jerman. Para imigran Yahudi Jerman cenderung kaya dan menginvestasikan kekayaannya di sektor private. Krampf menyebut momen ini sebagai ledakan-investasi di sektor private, mesin utama penggerak ekonominya adalah sektor konstruksi yang meningkat enam kali lipat dalam periode 1931-1935. Sementara peningkatan sektor agraria hanya sekitar 1.7 kali lipat.

Setelah publikasi artikel tahun 1935, Horowitz diangkat menjadi Secretary of the Jewish Agency’s Economic Department, posisinya setara dengan Director General in a Ministry of Finance. Horowitz menjadi orang terpercaya Ben-Gurion yang idenya penting secara ekonomi dan juga politik-nasional yang saat itu memanas antara Yahudi dan orang Arab di Palestina. Sedari awal, Ben Gurion tak pernah percaya konflik dapat diselesaikan secara damai: lebih lagi ia menginginkan populasi Yahudi lebih banyak di Palestina, dengan demikian negara Israel dapat tercipta. 

Dengan adanya ide dari Horowitz memuluskan rencananya dan untuk mendebat golongan petinggi Zionist yang masih berpegang teguh pada sektor agraria, tak peduli berapa banyak imigran Yahudi yang bisa didatangkan ke Palestina, selama kebijakan ekonomi berfokus pada sektor tak-produktif yang bukan agrarian, itu bukanlah suatu kendala. Salah satunya bisa kita lihat pernyataan dukungan yang diberikan oleh Malcolm MacDonald yang punya posisi sebagai Secretary for State for Dominion Affairs untuk meminta Ben-Gurion segera mungkin mengindustrialisasi Palestina:

"Palestina tak mungkin tanpa adanya pembuatan sektor industri. Apabila kita ingin lebih banyak pemukim Yahudi [di sana], maka mengembangkan industri adalah keharusan. Industri dapat menyerap lebih banyak [imigran] secara cepat."

Dari sikap yang positif ini kemudian Ben-Gurion melaporkan pada Jewish Agency's Executive Committe bahwa dibutuhkan 60 ribu imigran yang diinginkan oleh pemerintah untuk mendukung rencana pembuatan industri. Dengan kata lain, embrio kapitalisme Israel sudah muncul pada tahun 1930 yang diikuti dengan kesempatan dan rencana ekonomi untuk menunjang berdirinya-negara dan Horowitz memainkan peranan penting dalam merencakan ekonomi ke depannya. Ada tiga prinsip yang Horowitz cetuskan untuk rencana ekonomi tahun 1941-1952:
Mengembangkan Industri daripada sektor agrikultur agar meningkatkan jumlah imigran Yahudi lebih banyak dan sektor industri lebih ampuh meningkatkan produktivitas. 
Imigrasi adalah prakondisi untuk meningkatkan ekonomi. Sebab banyaknya imigran akan mendatangkan barang dan permintaan untuk mendorong ekonomi.
Imigran akan dikirim ke Palestina dalam waktu singkat, tapi penyerapan tenaganya pada ekonomi akan dilakukan secara bertahap dalam periode yang panjang. 

Jalan Menuju Neoliberalisme

Apa kaitannya ekonomi dan pendirian negara? Sepanjang sejarah peradaban, ekonomi adalah salah satu faktor yang mendorong manusia untuk melakukan penjajahan, perampasan dan pembunuhan warga asal. Hal ini jugalah yang dilakukan oleh kumpulan agen Zionis Israel dan Zionis Amerika secara umum ketika melihat Palestina. Hingga Perang Dunia II, organisasi nasional Yahudi telah mengeluarkan banyak uang untuk kerja-kerja diplomatik di Eropa, terutama di Britain. Eropa merupakan pusat politik dunia dan Zionis Eropa punya pengaruh yang lebih besar daripada Zionis Amerika. Lebih lanjut, faksi WZO lebih nyaman bekerjasama dengan Gerakan Buruh daripada faksi Amerika yang cenderung menolak strategi penyelesaian secara kolektif.

Faktor yang membedakan ideologi Zionis Eropa dan Amerika adalah pada tahun 1940 ketika sengit perdebatan ekonomi, saat itu di AS kebanyakan berpegang teguh pada Keynesianisme dan para petingginya cenderung lebih nyaman bekerjasama dengan negara kaya dan pengusaha (private sector). Namun pada akhirnya kedua kubu dapat bekerjasama demi tujuan yang sama: meneliti dan menyiapkan laporan tentang kelayakan perekonomian negara Israel di Palestina. Salah satu bagian yang paling penting dari kerjasama antar keduanya adalah laporan dari Amerika tentang bab industri, suatu kebijakan yang penting untuk pengembangan secara pesat negara Israel.

Krampf menulis apabila rencana pembuatan negara oleh Zionis tidaklah selalu berjalan mulus. Pada tahun 1965-1966, pemerintah Israel dengan dukungan member Knesset, menerapkan kebijakan ekonomi yang mendorong pengangguran dan resesi. Kebijakan tahun 1965 juga menandakan pergeseran ke kebijakan yang lebih kuat antara negara dan sektor swasta, pemutusan insentif yang negara berikan pada para pekerjanya, negara jadi lebih otonom dengan adanya Kementerian Keuangan, Perdagangan dan Industri, Bank Israel, kesemuanya ini lebih aktif membentuk kebijakan ekonomi Israel. Paling bikin heran adalah bagaimana waktu itu mengadopsi retorika liberal untuk membenarkan kebijakan yang mereka ambil. Namun, retorika liberal dipilih dan disesuaikan dengan 'kearifan lokal Israel'.

Barulah setelah perang 6 hari, terjadi perubahan kebijakan bukan hanya politik, tapi sekaligus ekonomi politik dan diiringi 'meningkatnya' posisi Israel di tingkat Internasional beserta murahnya tenaga kerja. Kesemua inilah yang menyumbang dan mengangkat perekonomian Israel keluar dari resesi sejak tahun 1965.

Pada 30 Juni 1985, hari Minggu yang sunyi dari deru langkah para pekerja dan hanya menyisakan suara pepohonan dan angin berhembus adalah hari dimana para petinggi Israel melakukan pertemuan secara sembunyi-sembunyi dari rakyat dan tetangganya. Pertemuan yang menghabiskan satu hari itu dihadiri para petinggi Perdana Menteri, Shimon Peres dan Menteri Keuangan, Yitzhak Moda, dengan member Knesset. Keduanya meminta Knesset untuk segera melakukan Rencana Stabilisasi Ekonomi Darurat. Seperti yang tercantum pada chapter “Stabilization Plan”, Krampf menulis rencana tersebut sebagai respon dari krisis ekonomi, memicu perubahan secara institusional dan mengubah perekonomian Israel. Perubahan ini Krampf sebut sebagai transisi dari 'intervensi atau sosialisme' menuju era kebebasan dan globalisasi. 

Memasuki era baru ini tentu mendapat dukungan dan dirayakan oleh para ekonom profesional yang ada di Israel. Buku-buku dan artikel terbaru yang membahas ekonomi Israel begitu cepat terbit setelah mengetahui pemerintah Israel condong dan mulai mengadopsi selera-pasar. Sementara menurut Krampf, para sosiologis dan ekonomi politik melihat ini secara berbeda. Perpindahan ideologis ini didorong oleh ide awal AS dengan meningkatnya kekuatan dan kuasa para pebisnis. Perlu dicatat, tahun-tahun sebelumnya setelah Perang 6 Hari budget militer hanya 10 persen, setelah Perang Yom Kippur, bisa dibilang pada tahun 1977 hampir terjadi 30 persen peningkatan alokasi budget yang diperuntukkan militer/pertahanan dibandingkan tahun 1966. Peningkatan budget sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah yang berhasil dikuasai dari warga Palestina atas Perang Enam Hari dan Perang Yom Kippur. Hal ini diikuti dengan pembuatan sektor industri-militer yang meningkat tiga kali lipat dari jumlah pekerjanya antara 1966-1985. 

Krampf mencatat tahun 1970 disebut juga sebagai tahun yang layak dijalani dibandingkan dengan 1950. Pendapatan para pekerja di tahun 1982 lebih tinggi 1.5x lipat dari 1968 karena adanya Serikat Pekerja, Histadrut dan subsidi yang diberikan oleh pemerintah Israel terhadap sektor bisnis pada tahun 1980 mencapai 8.3 jauh lebih tinggi daripada tahun 1965 yang hanya 1.8 persen. Dari sini bisa kita baca bahwa sebelum adanya perubahan kebijakan, warga setempat cenderung hidup dalam keadaan yang layak dan negara memfasilitasinya, berbeda di tahun 1980 ketika pemerintah Israel menerapkan kebijakan neo-liberalisme dengan salah satu contoh memberikan subsidi sekitar 8.3 persen. (lihat tabel di bawah untuk lengkapnya). 

Kemudian pada pertengahan tahun 1980, ekonomi Israel mengalami krisis hutang dan inflasi yang parah. Hutangnya meningkat dari 481 juta dollar AS menjadi 2.4 triliun dollar AS pada 1983. Sedangkan inflasi meroket dari 137 persen di Q3 ke 487 persen di tahun 1984 dan kemudian mencapai 567 persen di Q4 tahun tersebut.

Melihat kekacauan ini, pemerintah Israel mencari cara untuk menyelesaikannya melalui 'paket kebijakan AS' yang awalnya meminta untuk memangkas budget untuk para pekerja Israel, exporter dan pabrik, di antaranya: pekerja tak lagi mendapat subsidi kebutuhan pokok dan pengurangan gaji sebesar 40 persen, hal sama berlaku untuk manufaktur dan exporter mengalami pengurangan subsidi. Tapi karena mendapatkan banyak kritik terutama dari Partai Exporter dan manufaktur, serta pihak pemerintah itu sendiri, maka pilihannya adalah menjadikan pekerja korban satu-satunya 'Rencana Stabilisasi'. Meski mulanya akan mengalami pengurangan 40 persen, kenyataannya hanya sekitar 10 persen.

Setelah Kebijakan Neoliberalisme

Tahun 1980an ini menjadi penyebab perubahan haluan ekonomi Israel yang akan mengadopsi neoliberalisme: deregulasi, liberasi, dan privatisasi. Tahun 1980an ini menjadi penyebab perubahan haluan ekonomi Israel yang akan mengadopsi neoliberalisme: deregulasi, liberasi, dan privatisasi. Arie Krampf dalam tulisannya yang lain, “Israel's Neoliberal Turn and its National Security Paradigm”, melihat bahwa perubahan menganut kebijakan neo-liberal memang umum diterapkan pada ekonomi global. Praktek neoliberal sejak 2000an begitu parah, kemiskinan dan kesenjangan sosial jomplang. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Dan Ben-David and Haim Bleikh pada tahun 2013, bahwa selama tahun 2000an kesenjangan dan kemiskinan yang terjadi di Israel jauh lebih tinggi dibandingkan negara berkembang lainnya hingga puncaknya tahun 2011 didemo besar-besaran oleh warganya selama enam minggu! 

Pada saat yang bersamaan, sektor hi-tech teknologi dan sektor ekspor lainnya tumbuh pesat, menjadikan Israel negara dengan surplus neraca pembayaran. Protes yang meledak di Israel berkaitan biaya harian yang mahal terkait dengan rumah, makanan, penitipan anak dan sebagainya. Shalev dan Rosenhek menggarisbawahi bahwa para kelas-menengah juga melakukan protes karena ijazah yang mereka dapatkan dari universitas tidak bisa menjamin kehidupan ala kelas-menengah. Gerakan protes meliputi para pekerja kerah-putih, guru, pekerja sosial, IT, pekerja lepas dan pekerjaan tidak tetap lainnya. 

Di samping itu, penyerapan tenaga kerja untuk laki-laki Haredim (Yahudi Ultra-Orthodox dan perempuan Arab-Israel sedikit, meski jumlah mereka bertambah. Kebanyakan para pekerja dari dua kelompok ini posisinya rentan, dibayar murah karena kemampuan yang dimilikinya kurang diminati oleh pasar tenaga kerja. Kenyataan lainnya, seperti yang ditulis oleh Edward Said adalah berbeda dengan para pekerja Israel, warga Palestina yang bergantung pada pekerjaan borongan di Israel untuk penghidupan mereka setiap hari harus dihadapkan betapa tak manusiawinya mereka menganggap status warga Palestina lebih rendah dan bayaran yang mereka dapatkan lebih rendah dari pekerja Yahudi Israel. Selain itu, mereka tidak memiliki serikat pekerja.


(Grafik F yang warna merah adalah Israel dan sebelahnya Meksiko)

Berdasarkan OECD tahun 2016, kemiskinan yang terjadi sejak 2013 di Israel terhitung tinggi, yakni 20 persen dan ini hampir sama dengan Meksiko, harga-harga rumah di Israel harganya tak masuk akal lebih tinggi dibandingkan negara seperti anggota OECD dan bahkan AS. Meski secara tingkat kepuasan hidup pribadi di Israel lebih baik daripada negara OECD lainnya seperti yang tertera di bawah ini.


Grafik G yang menunjukkan harga rumah di Israel melambung tinggi jika dibandingkan dengan negara OECD lainnya, AS, dan Eropa. Di samping itu semua, ada kelompok yang menghuni Israel terpinggirkan, tepatnya kelompok Haredim (Yahudi Ultra-Orthodox dan Arab-Israel, mereka berada dalam posisi yang menyedihkan. Pada grafik F kita bisa melihat bahwa kesenjangan dan kemiskinan tinggi, kualitas pendidikan yang mereka dapatkan berbeda jauh dengan warga Israel itu sendiri dan ini berdampak pada kemampuan mereka nanti di pasar tenaga kerja yang tak terserap secara maksimal dan tenaga mereka akan dihargai secara murah, apabila membaca tabel terhitung minus. Selain itu pemberian subsidi oleh pemerintah terhadap kaum miskin terlihat dibatasi pada grafik E. Kedua kelompok ini juga tak terhubung dengan populasi warga Israel


Hal ini merupakan konsekuensi logis dari palingan ke ekonomi neoliberal setelah krisis 1980. Dulu negara Israel begitu dekat dengan kebijakan-kebijakan sosialis-nasionalis atau ya quasi-sosialis. Ronny Manos dan Benjamin Gidron menulis dengan palingan ke arah ekonomi neoliberal ini memperdalam kesenjangan ekonomi. Manos dan Gidron mengidentifikasi kebijakan ini didasarkan pertama pada pebisnis perorangan, bukan pebisnis kolektif. Kedua, usaha untuk mengembangkan 'negara start-up' dengan tumbuh suburnya industri teknologi-mutakhir (hi-tech), dari sini memunculkan kelas ekonomi baru dari para pebisnis teknologi yang membentuk kumpulannya.

Srivastava mencatat GDP dari industri teknologi-mutakhir Israel naik 2x lipat yang semula 6 persen pada 1995 menjadi 12 persen pada 2018. Kenyataan ini juga bukannya membuat kesenjangan sosial hilang, justru bertambah lebar dan rata-rata pendapatan gaji di sektor teknologi ialah 10 ribu dollar jauh dibandingkan dengan pendapatan nasional di angka 2800 dollar, sementara 15 persen angkatan kerja berada di bawah garis kemiskinan.

Pelebaran terhadap sektor teknologi-mutakhir sejak 1980 menjadi penyumbang peningkatan ekonomi hingga abad 21 saat ini. Hal ini semakin menguat ketika para saintis dan engineer cerdas beramai-ramai datang dari Uni Soviet. Di samping pembawa kemajuan ekonomi, Cornfeld dan Danieli mengatakan sejak tahun 1980, tingkat ketidaksetaraan di masyarakat Israel makin meningkat. 


Cornfeld dan Danieli membandingkan Israel dengan negara berkembang, ternyata dalam temuannya hingga 2011, ada berbagai faktor ketidaksetaraan seperti pengurangan gaji pekerja kelas-menengah, serta lebih banyak pekerjaan untuk paruh-waktu di pasar tenaga kerja kelas bawah. 

Selain itu, data dari Central Bureau of Statistics di atas menunjukkan bahwa masyarakat dengan pendidikan tingkat menengah atau lebih rendah (terutama kelompok Arab jauh lebih rendah daripada kelompok Haredim (Yahudi Ultra-Orthodox) tidak mendapatkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi neoliberal yang dialami Israel.


Lebih menyayat hati lagi, dalam situasi yang penuh ironi, meski para pekerja dari Arab melakukan kerja-kerja dengan waktu, hari yang sama seperti para pekerja Yahudi, perbedaan pendapatan yang pekerja Arab terima jauh lebih sedikit, setidaknya hanya setengah dari yang para pekerja Yahudi terima. Temuan dari Cornfeld dan Danielli ini juga berkaitan dengan seberapa lama para pekerja yang ada di Israel menempuh pendidikan. Semakin lama mereka menempuh pendidikan, maka semakin tinggi juga pendapatan. Setidaknya para pekerja yang sekolah lebih dari 13-15 tahun jauh lebih baik pendapatannya daripada mereka yang hanya mampu menempuh pendidikan kurang dari 10 tahun.