Diculik demi Revolusi

Juan Manuel Fangio tampil parlente malam itu. Dengan setelan jas terbaik dan rambut yang disisir rapi, agendanya jelas. Dia takkan minum-minum sampai larut. Sebisa mungkin dia harus segera kembali ke kamarnya untuk beristirahat karena sebuah acara besar menanti keesokan harinya.

Setelah keluar dari lift, dengan langkah pasti dia mendekati sebuah kerumunan kecil. Semua orang yang ada di sana mengenalnya. Alejandro de Tomaso, Nello Ugolini, Guarino Bertochi, Marcelo Giambertone, dan Carlos Gonzalez telah berkumpul di bar hotel. Fangio bergabung dalam kerumunan itu dan terlibat perbincangan hangat.
Fangio, semua orang itu, dan puluhan orang lainnya datang ke Havana, Kuba, pada pengujung Februari 1958 sebagai tamu Presiden Fulgencio Batista. Mereka semua diundang untuk ambil bagian dalam Grand Prix Kuba yang pertama kali digelar setahun sebelumnya.

Grand Prix itu sebetulnya belum masuk dalam agenda resmi balap mobil Formula One. Balapan tersebut baru berupa ekshibisi dan hasilnya tidak berpengaruh pada perolehan poin musim kompetisi. Namun, bukan berarti tidak ada gengsi yang dipertaruhkan. Lagipula, bayaran yang diterima para pembalap cukup besar.
 

Fangio menerima bayaran 7.000 dolar AS hanya untuk ambil bagian dalam balapan. Jika disesuaikan dengan kurs saat ini, bayaran yang diterima pria Argentina itu kurang lebih 50 ribu dolar AS. Itu baru bayaran untuk hadir, belum lagi bayaran yang didapatkan jika dia mampu memenangi balapan.

Kuba dan kemewahan sudah lama tak bersanding. Selama enam dekade terakhir, negara di Kepulauan Karibia itu lebih dikenal dengan citra "negara diktator", "negara komunis", dan "negara miskin". Menyandingkan kata "Kuba" dengan "kemewahan" tak ubahnya membandingkan gaji direktur dengan gaji opas.


Namun, ada suatu masa ketika kemewahan menjadi pemandangan lazim di Kuba, terutama di ibu kotanya, Havana. Sudut-sudut kota dipercantik, jalan-jalan diperhalus, hotel dan tempat hiburan didirikan di sana-sini. Ini semua terjadi pada masa pemerintahan Batista.

Sang presiden sendiri memiliki visi yang paten. Dia ingin menjadikan Havana laiknya Las Vegas di Amerika Serikat; sebuah kota yang dibangun di atas nafsu dan hedonisme. Namun, semua ini dilakukan Batista dengan cara yang tidak elok.

Batista pertama kali mengemban jabatan presiden pada 1940. Namun, sebenarnya kekuasaan itu sudah dia pegang sejak 1933, lewat kudeta militer yang dikenal sebagai Pemberontakan para Sersan. Kudeta tersebut memunculkan lima opsir militer sebagai pemimpin negara. "Pentarki" tersebut dipimpin oleh Batista yang kemudian menahbiskan diri jadi komandan militer tertinggi.

Sebagai pemimpin dari pentarki di Kuba, Batista mengontrol segalanya. Dia menjalankan pemerintahan dengan gaya fasisme klasik: bersekongkol dengan pemodal dan merepresi habis para buruh serta penentangnya. Batista juga tak malu-malu menjalin bisnis dengan bromocorah-bromocorah kelas wahid Amerika macam Charlie Luciano, Vito Genovese, serta Meyer Lansky.

Batista ingin Kuba menjadi negara maju. Namun, kemajuan yang ada dalam pikirannya terbatas pada kemajuan ekonomi dan pembangunan. Sementara, aspek-aspek lain seperti hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat dengan sengaja dia nafikan. Berani melawan Batista berarti siap berjumpa dengan Sang Pencipta.

Dengan pemerintahan otokratik seperti itu, rezim Batista sebetulnya acap mendapat goyangan. Amerika Serikat pun menyadari betapa busuknya rezim Batista. Namun, itu semua mereka biarkan karena Batista dianggap mampu membuat Kuba jadi negara yang stabil dan, terutama, anti-komunis.

Anggapan Amerika boleh saja seperti itu tetapi di Kuba sendiri Batista kesulitan menghadapi lawan-lawan politiknya. Pada 1945, Batista kalah dalam pemilihan umum dan memilih kabur ke Amerika. Namun, tujuh tahun kemudian dia kembali berkuasa setelah, lagi-lagi, melakukan kudeta.

Dalam pemerintahannya yang kedua itu Batista semakin tidak terkendali. Kekerasan terhadap kubu kontra semakin marak.  Pada 1956, sebuah kudeta sempat direncanakan untuk menggulingkan Batista tetapi gagal terwujud karena ada satu tokoh pemberontak yang berkhianat.

Kegagalan pemberontakan 1956 tidak menyurutkan perlawanan terhadap Batista. Justru, pada akhir tahun tersebut, bibit-bibit pemberontakan lainnya muncul ketika Fidel Castro dan 82 pendukungnya pulang setelah sempat terusir ke Meksiko. Mereka kembali dengan berlayar di atas kapal pesiar bernama Granma. Tujuan mereka satu: melakukan revolusi.

Pada titik itu rezim Batista sudah tidak lagi aman tetapi mereka berusaha sangat keras untuk menunjukkan kepada dunia bahwa segalanya baik-baik saja. Lagipula, masih banyak orang kaya di Kuba. Masih banyak orang yang sanggup menjalani kehidupan layaknya di kota impian Batista, Las Vegas, sehingga persoalan yang ada dianggap angin lalu.

Menggelar Grand Prix di Malecon, area waterfront Havana yang elit dan prestisius, adalah salah satu cara Batista untuk menutupi borok di negerinya. Itulah mengapa dia rela mengeluarkan uang banyak untuk mengundang para pembalap mobil terbaik dunia.
Grand Prix Kuba pertama kali dihelat pada 1957 dan sukses besar. Selain menghadirkan atraksi bergengsi bagi para penduduk Kuba, gelaran tersebut juga mendapatkan perhatian besar dari media-media luar negeri, terutama berkat kehadiran figur-figur macam aktor Hollywood Gary Cooper dan aktris Linda Christian yang merupakan kekasih dari pembalap Spanyol, Alfonso de Portego.

De Portego pun bukan sekadar pembalap. Dia merupakan anggota keluarga Kerajaan Spanyol yang hidup dan matinya dipersembahkan untuk balap mobil. Ini belum termasuk nama-nama tenar lain seperti Sir Stirling Moss, Bernie Ecclestone, Graham Hill, Jack Brabham, Carroll Shelby, serta Fangio dan De Tomaso.

Havana pun menjadi simbol kemewahan di Karibia; sebuah surga bagi kaum berduit yang tidak tahu caranya menghabiskan uang. Dengan keberadaan Formula One, makin bertambah saja hiburan bagi orang-orang kaya Kuba.
Gelaran Grand Prix Kuba yang pertama berjalan sangat lancar. Penonton menyemut di Malecon. Bahkan jika tak ada balap mobil pun pemandangan di sana sudah begitu menyenangkan. Laut Karibia yang tenang dan hangat cuma berjarak sepelemparan batu dari tempat mereka berada.

Fangio keluar sebagai juara dalam Grand Prix Kuba yang pertama itu. Setelah menjalani duel ketat sepanjang balapan dengan De Portago, dia menjadi pembalap yang finis paling awal. Podium tertinggi dan hadiah uang melimpah pun dia terima.


Bagi Fangio, membalap di Kuba adalah sebuah kenikmatan tiada tara. Itulah mengapa, ketika diundang kembali pada 1958, dia bersedia. Lagipula, balapan di Kuba itu digelar pada masa dorman. Setelah menjalani agenda pertama di Buenos Aires pada 19 Januari, para pembalap harus menunggu sampai 18 Mei untuk membalap kembali di seri kedua di Monako.

Fangio tahu persis apa yang harus dilakukan. Dia datang sebagai tamu negara dan bersikap sebagaimana mestinya. Namun, apa yang terjadi di bar Hotel Lincoln, tempatnya menginap, jauh sekali dari perkiraannya. Malam yang rencananya dia habiskan dengan bersantai itu berubah menjadi menegangkan.

Tak lama setelah mulai terlibat perbincangan dengan kawan-kawannya, Fangio didekati seorang pria berjaket kulit. Di dalam jaket tersebut dia menyembunyikan sepucuk pistol otomatis yang kemudian ditodongkan ke tulang rusuk Fangio. Pria itu bernama Oscar Lucero Moya.

"Fangio, kamu harus ikut saya. Saya adalah bagian dari gerakan revolusioner 26 Juli," hardik Moya sambil terus menodongkan pistolnya.
Fangio mengira itu cuma candaan. Pikirnya, kawan-kawannya di bar hotel itu sedang mengerjainya. Namun, setelah De Tomaso berusaha mengusir Moya dengan melempar pemberat kertas, semua orang di sana baru menyadari bahwa peristiwa yang mereka saksikan bukanlah lelucon.

Belum juga De Tomaso sempat melempar pemberat kertas, Moya mengancam, "Jangan ada yang bergerak! Kalau ada yang bergerak, akan kutembakkan pistol ini."
Mendengar ancaman tersebut, Fangio menuruti perintah Moya. Tanpa perlawanan dia ikut keluar hotel dan memasuki sebuah mobil Plymouth yang diparkir di ujung jalan. Tak lama, mobil itu lenyap ditelan malam. Para saksi pun segera melaporkan kejadian tersebut kepada panitia yang kemudian melaporkannya lagi kepada Batista.

Penculikan Fangio direncanakan dengan sangat matang. Idenya dicetuskan oleh Faustino Perez, pemimpin operasi klandestin Gerakan 26 Juli. Menurut Perez, menculik juara dunia Formula One lima kali sebelum Grand Prix Kuba adalah cara jitu untuk mencuri perhatian.

Setelah mendapat persetujuan dari Castro, Perez menghubungi Moya yang merupakan pemimpin operasi rahasia di Havana. Dari seorang jurnalis, Moya mendapatkan informasi bahwa Fangio dan rombongan pembalap lainnya diinapkan di Hotel Lincoln yang terletak di Malecon.

Moya sang pemimpin operasi memang menodongkan pistol langsung ke arah Fangio. Akan tetapi, dia tidak sendiri. Di bar itu, sejumlah anggota kelompoknya ikut berjaga. Selain itu, di jalanan, ada dua mobil lain yang membantu menutupi pandangan.
"Belakangan aku baru tahu bahwa ada tiga mobil yang terlibat. Mereka berkendara pelan sehingga tak menarik perhatian," kenang Fangio dalam sebuah wawancara di kemudian hari.

Mobil Plymouth yang membawa Fangio itu menghilang dengan cepat, tetapi bukan karena sopirnya mampu melakukan manuver-manuver hebat. Para penculik Fangio bisa segera menghilang dari jalanan karena mereka telah menyiapkan tempat persembunyian yang lokasinya tak jauh dari Hotel Lincoln.

Namun, Fangio dan para penculiknya tidak tinggal di satu tempat saja. Setelah situasi aman, mereka terus berpindah tempat sampai akhirnya tiba di tempat persembunyian akhir. Di sebuah apartemen, Fangio disekap. Namun, tak sedikit pun dia dilukai. Sebaliknya, Fangio diperlakukan bak tamu spesial.

Hidup sebagai juara dunia Formula One di masa-masa awal kejuaraan tidak seperti sekarang. Fangio tidak bepergian dengan jet pribadi atau hidup di rumah bak istana. Tidak. Akan tetapi, hidupnya juga jauh dari kata sulit. Setidak-tidaknya, dia terbiasa menyantap hidangan lezat.

Moya dan para penculik Fangio tahu itu. Mereka pun rela merogoh kocek untuk membelikan Fangio steak daging dan kentang rebus. Seusai makan malam, sang juara dunia tertidur lelap. Meski posisinya adalah korban penculikan, Fangio tidak pernah merasakan sedikit pun perlakuan buruk.

Fangio diperlakukan dengan baik di tempatnya disekap. Namun, orang-orang di luar sana tidak mengetahui itu. Panitia balapan pun meningkatkan kewaspadaannya berkali-kali lipat untuk menjaga agar Moss tidak ikut diculik. Tiap tiga jam sekali, seorang penjaga masuk ke kamar untuk memastikan legenda balap Inggris itu masih di ranjang.

Moss sendiri sebenarnya masuk dalam target penculikan. Akan tetapi, Fangio berhasil mengelabui para penculik. Dia bilang, "Hey, tolong jangan culik Stirling karena dia sedang bulan madu." Moya dan kawan-kawannya menurut.

Di jalanan kota, pasukan Batista kalang kabut. Ke sana kemari mereka berupaya mencari keberadaan Fangio dan para penculiknya. Akan tetapi upaya mereka tak berbuah hasil. Rencana Gerakan 26 Juli terlalu matang untuk dipatahkan.

Fangio sendiri tidur nyenyak malam itu, dengan perut yang terisi penuh. Keesokan harinya, setelah menyantap sarapan, Fangio ditemui oleh Perez, pria yang punya ide untuk menculiknya. Dalam pertemuan itu, Perez meminta maaf kepada Fangio.
Perez menjelaskan semuanya. Bagaimana Batista merepresi orang-orang lemah di Kuba dan bagaimana kelompoknya berencana untuk merebut kekuasaan. Fangio langsung paham. Sebagai orang Argentina, dia pernah mengalami revolusi serupa di negerinya pada 1943, ketika pemerintahan lalim Ramon Castillo digulingkan.

Setelah berbincang dengan Fangio, Perez berpamitan. Sebelum itu dia sempat menawarkan satu unit radio agar Fangio bisa mengikuti jalannya balapan dari apartemen. Namun, Fangio menolak. Katanya, "Aku merasa sangat sentimental hari itu dan tak tertarik dengan balapan."

Sementara itu, di luar sana, niatan Perez berhasil. Penculikan Fangio mencuri perhatian khalayak, tak cuma dari Kuba tetapi juga dari luar negeri, termasuk Amerika Serikat. Tak semua bersimpati, memang. Ada pula yang mengutarakan kecaman seperti jurnalis Miami News, Morris McLemore.

"Cuma revolusi tidak jelas yang harus menyerang kebebasan dengan menculik warga asing yang tidak tahu apa-apa. Mendekati seseorang yang datang dengan niatan baik, seseorang yang merasa dirinya bakal aman di Kuba, lalu menodongkan pistol di rusuknya sama pengecutnya dengan memukul bayi kera dengan perkakas besi," tulis McLemore.

Apa pun bentuk perhatiannya, yang jelas ini bukan kabar baik bagi Batista dan rezimnya. Sampai pagi, balatentara Batista tak kunjung mampu menemukan Fangio. Namun, Batista tak mau kehilangan muka. Dia lantas memerintahkan balapan tetap digelar.

Di balapan tersebut mobil Fangio yang menganggur akhirnya digunakan oleh pembalap Prancis, Maurice Trintignant. Balapan pun akhirnya dihelat seolah tak terjadi apa-apa. Tanpa keberadaan Fangio, Moss dan Masten Gregory muncul sebagai pemimpin.
Akan tetapi, situasi normal tak bertahan lama. Memasuki putaran kelima, trek balapan menjadi licin karena tumpahan oli. Panitia balapan sebenarnya sudah mengamati ini dan mereka berpikir kelompok Castro melakukan sabotase keduanya. Akan tetapi, anggapan itu salah. Tumpahan oli itu berasal dari mobil Roberto Mieres.

Belum juga situasi bisa dikendalikan, peristiwa memilukan terjadi. Pembalap tuan rumah Armando Garcia Cifuentes yang mengendarai mobil Ferrari kehilangan kendali. Mobilnya tergelincir, melewati pagar pembatas, dan menabrak sebuah jembatan kayu yang dibuat untuk tempat penonton. Tujuh orang tewas seketika dalam kecelakaan tersebut dan Cifuentes dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi kritis.

Moss yang memimpin balapan mulanya tidak mengetahui kejadian tersebut. Setelah menyelesaikan satu putaran, barulah dia melihat apa yang terjadi. Segera, balapan pun dihentikan dan Moss yang sukses mengambil alih posisi pertama dari Gregory dinobatkan sebagai pemenang. Namun, rampungnya balapan tidak berarti urusan para pemberontak dengan Fangio selesai.

Para pemberontak itu khawatir bahwa apabila mereka menyerahkan Fangio langsung kepada Batista mereka akan dijebak dan dibunuh. Oleh karena itu, diam-diam mereka mengontak Kedutaan Besar Argentina. Mereka kemudian meneken perjanjian dengan Duta Besar Raul Lynch untuk mengantar Fangio ke rumah sang dubes.

Balapan di Malecon selesai sore hari tetapi Fangio baru dilepaskan jelang tengah malam. Dia diturunkan dua blok dari rumah Duta Besar Lynch. Sebelum berpisah dengan Fangio, salah satu penculik, Arnold Rodriguez, berkata bahwa ketika revolusi ini berhasil dia akan diundang ke Kuba sebagai tamu kehormatan.

Tak cuma itu, sepucuk surat juga dititipkan kepada Fangio. Surat itu ditujukan kepada Lynch. Isinya, lagi-lagi, permintaan maaf karena telah menggunakan Fangio sebagai alat mencapai tujuan politis. Keberhasilan para penculik ini membuat rezim Batista makin kalang kabut.

Penculikan itu sendiri membuat momentum berpihak kepada Castro dan Gerakan 26 Juli. Tujuh bulan setelah kejadian tersebut mereka sukses merebut tampuk kekuasaan sekaligus memaksa Batista melarikan diri. Namun, ada harga mahal yang harus dibayar pemimpin penculikan, Moya.

Oleh seorang anggotanya, Moya dijebak. Dia kemudian ditangkap, disiksa, dan dipenjara. Biro Anti-Aktivitas Komunis berusaha sekuat tenaga mencari informasi dari Moya tetapi sia-sia. Frustrasi, mereka lantas mengeksekusi Moya.

Moya menjadi martir. Dia menjadi pahlawan revolusi dan namanya diabadikan di sebuah perguruan tinggi. Dengan bantuan Che Guevara yang, menariknya, juga berasal dari Argentina, Castro memperhebat perlawanan sampai akhirnya sukses mencapai tujuan.

Setelah Castro berkuasa, Kuba menjadi negara komunis yang diembargo Washington. Rezim Castro sendiri kemudian mengundang Fangio untuk datang ke Kuba. Akan tetapi, undangan tersebut baru dipenuhi pada 1981. Fangio saat itu berperan dalam penjualan truk militer Mercedes-Benz kepada pemerintah Kuba.

Fangio tak lagi bisa bertemu dengan Moya tetapi dia mendapat sambutan hangat dari Perez. Bahkan, Castro sendiri disebut-sebut sampai membatalkan sebuah janji demi bertemu dengan Fangio. Hubungan mesra dengan Kuba itu bertahan sampai akhir hayat sang legenda.

Fangio meninggal dunia pada 1995, ketika usianya menginjak 84 tahun. Empat tahun sebelumnya, saat merayakan hari jadi ke-80, Fangio sempat mendapat ucapan dari pemerintah Kuba. Ucapan itu berbunyi, "Selamat ulang tahun, dari teman-teman yang menculikmu."

Jika hubungan dengan Fangio bertahan sampai puluhan tahun, tidak demikian dengan kejuaraan balap mobil. Setelah rezim Castro berkuasa, Grand Prix Kuba hanya sempat digelar satu kali lagi, itu pun tidak di Malecon, melainkan di sebuah pangkalan militer dengan ditonton sedikit sekali orang.

Castro kemudian memutuskan bahwa balap mobil adalah acara yang "terlalu borjuis" untuk Kuba dan sejak saat itu tidak pernah ada lagi Grand Prix di negara tersebut. Castro sendiri meninggal dunia pada 2016.