Menabung Atau Tidak Menabung: Jangan Atur-atur Aing

Sejak kecil kita sudah dididik untuk menabung. Namun, peribahasa “hemat pangkal kaya” nampaknya tak lagi relevan. Generasi milenial dan Z dari berbagai negara mengaku kesulitan menabung. Anak muda Korea Selatan bahkan lebih memilih foya-foya ketimbang menabung. 

Fenomena sulit menabung rupanya juga terjadi di Indonesia. Indonesia Millennial Report 2019 yang dirilis IDN Research Institute menunjukkan generasi milenial hanya menyisihkan 10,7% pendapatan mereka untuk tabungan dan hanya 2% yang berinvestasi.

Lalu kemana uang milenial mengalir? Survei yang sama menyatakan lebih dari setengah uang milenial dibelanjakan untuk kebutuhan sehari-hari, sementara survei IPSOS tahun 2018 menunjukkan hampir separuh milenial setidaknya belanja daring sekali sebulan.

Betulkah generasi muda enggan menabung?

Namun survei-survei di atas tidak menunjukkan seberapa penting milenial (dan juga gen Z) memandang tabungan. Beberapa artikel malah menyudutkan generasi muda sebagai generasi yang boros, enggan menabung, dan tak mungkin punya properti.

Oleh karena itu, saya mengadakan survei super kasar lewat polling Twitter. Polling ini ditujukan untuk pengguna Twitter berusia 21-30 tahun dan tidak meliputi variabel gender, domisili, status pekerjaan, kelas ekonomi, dan pendapatan per bulan. Karena ada jeda beberapa menit di tiap cuitan, ada disproporsi responden. Tapi tak apa lah ya, toh ini hanya gambaran yang sangat kasar.

Hasil survei menunjukkan 75,7% menyatakan mereka memiliki tabungan. Tabungan di sini bisa diartikan sebagai tabungan untuk kebutuhan darurat (emergency fund), tabungan untuk membeli barang, tabungan sisa uang gajian, dan lain-lain. Sebanyak 77,7% menyatakan tabungan sangat penting. Namun, hanya 57,7% yang rutin menabung setiap bulan. Mereka yang terkadang dan tidak menabung beralasan gaji mereka mepet (50,6%), generasi sandwich (32,6%), dan lainnya (16,9%).

Alasan lain ini bisa berarti macam-macam. Contohnya Maria (28). “Pas di Indonesia cuma bisa nabung dikit kalau ada sisa [gajian],” ujar software developer yang baru saja pindah ke Belanda ini. Sekarang tabungannya kandas karena dipakai untuk menopang dirinya selama menganggur dan pindahan ke Belanda. 

Meski begitu, Maria berencana untuk kembali menabung setelah mendapatkan gaji pertama. “[Sudah] bikin taksiran budget dan keliatannya bakalan jauh lebih mending daripada di Indonesia. Kemungkinan bakal nabung 30-60% tergantung tiap bulannya mau belanja apa.” Perkiraan budget tabungan yang tinggi ini bisa terjadi karena ia berbagi biaya hidup dengan pasangannya yang lebih mapan. 

Lain cerita dengan Reza (24) yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan. Ia masih tinggal di rumah orangtua dan penghasilannya dihabiskan untuk membayar tagihan, biaya kesehatan, transportasi, belanja daring, dan rekreasi. “Sisa dari pengeluaran kadang gue pake buat nabung untuk dana darurat atau invest crypto,” ujarnya. Crypto yang dijadikan investasi adalah $DOGE, $BTC, $BTT, dan Vidy.

“Tapi untuk investasi nggak banyak sih, paling 1% [dari gaji]. Karena dulu pernah nyobain [Bitcoin tabungan] malah rugi soalnya ga kuat sama fluktuasinya.” kata Reza. Ini membuat Reza memilih menabung sisa gajiannya di tabungan digital saja.

Ia mengaku memiliki tabungan membuat hidupnya lebih tenang. “Dulu gue punya dana darurat tapi abis gitu karena dan lain hal. Ini sempet bikin gue stres. Kalau investasi juga waswas sih apalagi cypto.”   

Namun responden acak yang terpilih tidak punya nasib seberuntung Melisa dan Reza. Mereka menyatakan kesulitan menabung karena punya tanggungan yang cukup besar. Gaji yang mepet juga menyulitkannya untuk menabung.

Lia (23) adalah salah satunya. Pekerjaannya sebagai desainer UI/UX memberinya gaji yang lumayan, ditambah ia tinggal di Surabaya yang relatif lebih murah daripada Jakarta. Sayangnya ia punya tanggungan yang besar. Setidaknya 40 persen gajinya dikirim ke orangtua untuk membayar cicilan hutang keluarga dan biaya hidup keluarga. “Sisanya 60 persen, 20 persennya untuk tagihan bulanan dan 40 persennya dibagi dua untuk aku dan pasanganku,” tuturnya. 

Pasangannya sebenarnya juga bekerja, tapi nominalnya tidak cukup untuk hidup sebulan. Banyaknya tanggungan membuatnya hanya bisa menabung Rp200.000-300.000 per bulan, itu pun sering terpakai untuk hal-hal tak terduga seperti motor rusak atau biaya ke dokter. 

Ia mengaku salah satu sumber penyakitnya adalah besarnya kebutuhan keluarga yang harus ditanggung.“Kadang kesel hasil kerjaku bukan aku yang nikmatin. Tapi aku gak bisa apa-apa,” ucapnya. 

Tekanan dari keluarga membuatnya merasa bersalah menghabiskan uangnya untuk diri sendiri. “Aku kalau lagi stres berat kadang check out barang random. Tapi bukan barang mewah sih, paling tiba-tiba beli kocokan telor,” ucapnya sambil tertawa. “Tapi ini jarang. Aku sering ngerasa bersalah kalau pakai duit buat diri sendiri, jadi menghindari self-reward.” 

Ia menceritakan ketiadaan tabungan membuatnya cemas yang berakibat ke kelelahan luar biasa. “Aku kadang ngerasa jadi kerja capek-capek tapi buat hidup bulan itu doang hahaha,” ucapnya lagi sambil tertawa miris. 

Nasib yang sama juga dirasakan oleh Bim (29). Ia mengaku baru dipecat dari pekerjaannya dan hanya bisa bertahan dengan tabungan seadanya. “Mereka nggak perpanjang kontrak kerja jadi gaji terakhir aku tabungin sejuta buat persiapan hidup jobless.” tuturnya.

Namun Bim mengaku kesulitan untuk menabung bahkan ketika masih bekerja. “Gaji pokokku Rp1,5 juta. Tabungan minimal Rp100 ribu, tiap ada bonus langsung masuk tabungan.” Tapi untuk terus rutin menabung sulit karena selalu ada kebutuhan kesehatan ibunya yang cukup besar. Hidup dengan gaji dan tanggungan sebesar itu di Bandung tentunya sulit.

Sekarang ia tinggal bersama kakaknya sambil mencari pekerjaan baru. “Nggak punya tabungan bikin aku selalu ketakutan, kan kadang suka ada aja hal-hal darurat yang perlu cepet-cepet diperbaiki. Ada banyak hal yang bisa menghancurkan hidupku cuma karena aku nggak punya uang.”

Ketiadaan stabilitas finansial dan tuntutan untuk menyenangkan orangtua membuatnya belum berkeluarga hingga sekarang. “Nggak mungkin menikah kalau masih harus nanggung kebutuhan nyokap.” katanya. 

Faktor penyakit fisik dan mental juga berpengaruh besar dalam mengatur keuangan. Hal ini dirasakan Adira* (27), pegawai swasta yang tinggal di Jakarta. Ia merawat istrinya yang ODGJ. Kondisi istri tak memungkinkan untuk bekerja, sehingga Adira menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga. 

Urusan keuangan rumah tangga diserahkan ke istrinya sehingga ia tidak tahu berapa banyak jumlah tabungan yang mereka punya. “Istri gue suka marah kalau gue tanya duit sisa berapa, jadi gue diem aja.” katanya. “Istri gue di rumah bersih-bersih, masak, tapi ga gue paksa. Tapi dianya suka mood-moodan, ga mau makan masakan dia sendiri jadi sering beli di luar. Gue ga mau marahin atau nambah beban dia karena tiap stres dia melukai diri sendiri.”

Satu-satunya jaring pengaman yang mereka punya adalah kartu kredit, BPJS, dan asuransi kantor. “Beberapa waktu lalu gue dirawat di RS, nggak dikover BPJS. Sialnya RS tempat gue dirawat nggak kerjasama dengan asuransi kantor, nggak di-reimburse full. Jadinya gue potong gaji.”

 

Lebih dari sekedar boros

Dari cerita-cerita di atas bisa dilihat bahwa penting bagi generasi muda untuk paham tabungan. Namun faktor-faktor seperti besaran biaya hidup sehari-hari relatif ke pendapatan, tanggungan penyakit fisik/mental, baik pribadi maupun orang lain, tanggungan keluarga (sandwich generation), gaji mepet, dan self-reward memainkan peran besar dalam menentukan kemampuan menabung mereka.

Persoalan gaji mepet menjadi penyebab nomor satu anak muda sulit menabung. Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, generasi saat ini mengalami kenaikan biaya hidup yang tinggi. Riset Lifepal menunjukkan ada sepuluh provinsi Indonesia yang pengeluaran rata-rata per-kapitanya melebihi UMP 2021. Kebetulan para informan tinggal di daerah yang disebutkan oleh riset ini, yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Besarnya pengeluaran relatif dengan UMP yang cenderung kecil menyebabkan kesempatan untuk menabung semakin tipis. Tak hanya itu, faktor generasi sandwich dan kesehatan juga berperan besar. 

Lalu bagaimana kondisi generasi sandwich, terutama di masa pandemi? Survei Jakpat menunjukkan kebanyakan generasi sandwich berumur 25-29 tahun (26 persen) dan bekerja sebagai pegawai kantoran (54 persen). Porsi besar gaji mereka digunakan untuk membayar cicilan dan kebutuhan keluarga serta sewa tempat tinggal. Mayoritas responden menyatakan keadaan ekonomi mereka memburuk dan terpaksa menggunakan tabungan dan mengambil kredit.

Sayangnya, survei ini tidak menunjukkan seberapa banyak orang yang menjadi generasi sandwich. Padahal pandemi membuat kondisi ekonomi banyak orang lebih rentan sehingga memaksa mereka yang punya lebih banyak penghasilan untuk membantu yang tidak punya. Ditambah lagi, banyak yang tidak bisa mengatakan “tidak” ke kebutuhan orangtua karena kultur bakti anak yang sangat kuat.

Kebutuhan kesehatan juga menjadi faktor penting. Survei yang sama menunjukkan generasi kebutuhan kesehatan selama pandemi semakin tinggi. Memang ada BPJS dan asuransi swasta, tapi perlindungannya terbatas. Ada beberapa penyakit, termasuk penyakit kejiwaan, yang perawatannya tidak dicover oleh BPJS. Atau mereka kurang puas dengan pelayanan BPJS sehingga memilih untuk membayar sendiri atau menggunakan asuransi swasta yang lebih mahal. 

Terakhir adalah self-reward. Banyak media yang mengkritik generasi milenial sebagai generasi yang boros. Mereka lebih suka bersenang-senang dan membeli pengalaman seperti liburan atau mencoba hal baru dibanding berinvestasi. 

Namun tuduhan-tuduhan ini tidak beralasan. Self-reward adalah mekanisme beradaptasi mereka ketika menghadapi stres tinggi. Meskipun stres berat, banyak yang memilih untuk terus bekerja dan menyembunyikan kondisi mental mereka dari kantor. Self-reward dengan makan enak, belanja barang mahal, dan liburan menjadi sarana pemulihan batin. Selain menyenangkan, kegiatan ini juga tidak menimbulkan stigma seperti pergi ke psikolog atau psikiater.   

Kultur self-reward tak hanya muncul di anak muda Indonesia. Korea Selatan lebih dulu menamai praktek ini dengan sebutan shibal-biyong alias “biaya bodo amat”. Tanggal tua tapi kamu pengen makan sushi karena stres kerja? Shibal-biyong. Ingin ngopi cantik di cafe? Shibal-biyong. Sekilas boros dan melawan logika, tapi shibal-biyong justru memaksimalkan fungsi uang untuk kebutuhan jangka pendek. Buat apa repot-repot menabung beli rumah kalau menabung 10 tahun saja tidak cukup untuk DP rumah?

Dari sini jelas bahwa stereotip anak muda tidak mau menabung adalah salah. Mereka paham akan pentingnya tabungan, tapi faktor-faktor luar membuat mereka kesulitan untuk melakukannya. Faktor seperti generasi sandwich, gaji mepet, dan mahalnya biaya hidup serta tempat tinggal bukanlah masalah individual yang bisa diselesaikan hanya dengan kerja lebih keras. Perlu solusi sistematis berupa kebijakan yang lebih ramah pekerja muda dan program bantuan untuk mengurangi beban generasi sandwich.