Dilema Orang Kota: Kedai Ada WiFi atau Kedai Nggak Ada WiFi

Dilema Orang Kota: Kedai Ada WiFi atau Kedai Nggak Ada WiFi

 

Tidak sedia WiFi. Ngobrolah dengan teman anda, atau tamu di sebelah anda.

 

Kalimat tersebut terpampang jelas saat saya memasuki Warung Mbah Uti, sebuah warung bergaya klasik yang terletak di kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat.

 

Saat saya datang, belasan orang tampak sedang asyik ngobrol sambil menikmati kudapan dan minuman masing-masing. Sesekali tawa meledak di sela-sela obrolan tersebut.

 

Saya kemudian memilih duduk di meja ujung, sebelah kanan kasir. Tak lama Bayu, pemilik warung, menghampiri dan menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya memesan kopi tanpa gula.

 

Dalam hitungan menit, Bayu membawa kopi dan meminta izin untuk duduk di sebelah saya. Selepas mencecap kopi tersebut, saya iseng bertanya apa benar tidak ada WiFi di warung ini? Bayu tersenyum mendengar pertanyaan saya. 

 

“Sejak warung ini buka di tahun 2018, aku memang sengaja tidak memasang WiFi. Ya sampai sekarang,” ujar Bayu.

 

Usai mengambil jeda, Bayu melanjutkan ceritanya. Bagi mereka yang baru pertama kali datang, banyak yang terkejut dengan ketidaktersediaan WiFi di warung ini. 

 

Hari ini, WiFi gratis kerap menjadi salah satu fasilitas yang ditawarkan warung atau kedai kopi guna menarik hati pelanggan. Dengan WiFi, warung kopi menjadi arena game, tempat kerja, ruang rapat dan aktivitas lain yang membutuhkan internet.

 

Tapi tidak dengan warung ini. Meski tak spesifik melarang orang melakukan aktivitas yang berkaitan dengan internet, Bayu tak ingin pelanggannya berkunjung semata-mata mengejar internet gratis. Tak ada yang salah tentunya dengan warung kopi yang menawarkan WiFi atau internet gratis. Hanya saja, sebagai seorang pengusaha Bayu tahu cara mana yang ia tempuh.

 

Untunglah, sejauh ini tak ada yang komplain atau berbalik arah saat tahu di warungnya tak ada WiFi.

 

“Mereka umumnya paham jika kedai kopi ini tak ada akses WiFi,” terang Bayu.

 

Seperti salah seorang pelanggan, Ismi, seorang karyawan swasta yang mengaku sempat heran saat tahu warung ini tak menyediakan WiFi. Tapi lama-kelamaan, tidak adanya WiFi malah menjadi salah satu hal yang ia syukuri saat berkunjung ke warung tersebut. 

 

“Lagian kalau cuma ngejar internet gratis saja, kayaknya handphone kita kan ada paketnya ya. Kalau begini kan enak, bisa ngobrol. Tanpa harus selalu melihat handphone atau main game bareng kayak di beberapa kedai kopi lain yang pernah aku datangi. Di sini malah aku dapat teman baru,” ujar Ismi.

 

Selain tak menyediakan WiFi, Warung Mbah Uti juga tidak menggunakan live music sebagai metode menarik pelanggan. Padahal, live music bisa menjadi salah satu jurus ampuh untuk memancing pelanggan datang seperti yang jamak kita temui di kedai kopi lain.

 

“Ini terkesan melebar sih jawabannya, tapi aku serius. Aku kurang nyaman dengar live music karena umumnya mereka selalu cover lagu orang. Tapi sejauh ini belum ada yang mau memainkan lagu sendiri di sini,” imbuh Bayu.

 

Warung Mbah Uti buka sejak jam 08.00 WIB hingga 24.00 WIB. Dibantu tiga orang karyawan, Bayu menjadikan warungnya ini sebagai “rumah” yang setia menanti kehadiran kawan-kawan alias pelanggan.

 

Di samping menyuguhkan kopi atau kudapan yang tersaji di daftar menu, Bayu juga mengabdikan dirinya sebagai pendengar atau rekan diskusi untuk para pelanggan yang datang. Pekerjaan itulah yang rutin ia lakukan setiap hari. Inilah mimpinya.

 

Bayu mengenang, sejak pertama meninggalkan kota Malang dan memutuskan membuka warung di Jakarta, ia bermimpi kelak warungnya menjadi ruang berinteraksi pengunjung. 

 

Mimpinya lahir selepas ia mengamati dan belajar sejarah warung kopi di Indonesia, khususnya di Bangka Belitung atau Sumatera, yang menjadikan warung kopi menjadi tempat orang saling bertukar informasi tentang apa saja. Maka tak heran, lanjut Bayu, kita sering mendengar istilah ‘obrolan warung kopi’ sebagai frasa pengganti ‘obrolan yang ngalor-ngidul-tak jelas juntrungannya’.

 

Bayu melanjutkan, percakapan di warung kopi ini beraneka rupa. Kadang ia mendengar pelanggannya bercakap-cakap soal politik, bisnis, percintaan atau hal-hal yang tak penting lainnya. Percakapan ini membuatnya senang bukan main.

 

“Itu semangat awal saya bikin warung ini. Tidak semata-semata berpikir bagaimana agar dapat untung dari pelanggan, tapi saya ingin sepulang kamu dari warung ini, ada obrolan yang menghantuimu,” tutur Bayu.

 

Melalui warung Mbah Uti, Bayu tak berminat menjadikan warungnya ini menjadi tempat yang instagramable atau tempat nongkrong dengan berbagai fasilitas. Bagi Bayu warung berarti ruang tempat bercakap-cakap dan, syukur-syukur, dari warungnya lahir ide-ide segar.

 

“Terdengar agak heroik mungkin, ya. Tapi, memang itu adanya. Warung sebagai miniatur dan mengembalikan kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Kalau boleh minta lebih, aku ingin warung ini bisa jadi peternakan ide. Kayaknya cuma itu yang bisa aku kontribusikan untuk dunia ini,” pungkas Bayu sambil tersenyum.

 

Ruang Interaksi

 

Warung kopi, sebagaimana kita tahu, tak sebatas tempat minum atau mengisi perut.

 

Sepanjang kehadirannya, warung kopi telah menjelma menjadi ruang publik. Jurgen Habermas menyebut, ruang publik adalah tempat orang atau individu bertemu dan bebas berdiskusi tanpa batasan, serta dapat membantu individu membentuk pola pikirnya sendiri.

 

Habermas berkaca pada sejarah ruang publik di Masa Pencerahan Eropa. Di periode tersebut, kedai-kedai minuman keras menjadi tempat bagi para pedagang dan anggota kelas menengah lain untuk membicarakan semua yang disebarluaskan secara bebas, tanpa rasa takut dan tanpa batasan.

 

Singkatnya, menurut Habermas, ruang publik adalah tempat di mana warga dapat memainkan peran sebagai pribadi yang tidak bertindak atas nama bisnis atau kepentingan pribadi tetapi sebagai orang yang berurusan dengan hal-hal yang menjadi kepentingan umum. Tidak ada kekuatan yang mengintimidasi di balik ruang publik, tetapi warga berkumpul dan bersatu dengan bebas untuk menyatakan pendapatnya.

 

Tetapi, benarkah strategi meniadakan WiFi benar-benar dapat membuat interaksi sosial dalam ruang fisik lebih terjalin? Bukankah internet, melalui beragam platform obrolan, juga adalah praktik interaksi dan karenanya juga adalah ruang publik? Pertanyaan-pertanyaan itu mengendap di dalam kepala sembari jemari berseluncur di internet, mencari hasil riset atau praktik-praktik kedai tanpa WiFi.

 

Pencarian saya berhenti pada kedai kopi di Toronto bernama HotBlack. Kedai HotBlack juga meniadakan WiFi. Pemilik HotBlack, Jimson Bienenstock, menyebut keputusannya ini sebagai bentuk protesnya terhadap masyarakat yang tenggelam dalam dunia digital yang membuat orang jarang berkomunikasi secara langsung.

 

“Ini upaya menciptakan getaran sosial. Tempat kami adalah medium untuk interaksi antarmanusia, jika hal itu tidak terpenuhi, kedai ini jadi tereduksi sebatas komoditas belaka,” ujar Jimson Bienenstock.

 

Di satu sisi, menurut Alex M. Susskind, seorang profesor manajemen makanan dan minuman di School of Hotel Administration di Cornell University menyebut ketiadaan Wi-Fi sebagai kerugian. Alex menyebut, pelanggan yang terbiasa dengan akses ketersediaan WiFi, tentu akan terkejut jika sebuah kafe tak ada layanan WiFi.

 

“Tren (adanya WiFi) adalah yang membuat sebagian besar orang pergi ke kedai kopi,” katanya.

 

Tak hanya kerugian secara bisnis, pertanyaan paling dasar saya kira adalah: Apakah semua orang datang ke kedai kopi untuk melakukan interaksi secara fisik dengan orang lain? 

 

Pertanyaan ini dijawab oleh Rose K. Pozos dalam tesisnya yang menerangkan bagaimana laku masyarakat urban di tengah bisnis kedai kopi yang makin berkembang seiring berjalannya waktu. Menurut dia, jika di kedai kopi kamu menemukan orang duduk sendirian dengan laptop, bukan berarti orang tersebut antisosial.

 

“Orang-orang masih memilih untuk pergi ke sana daripada sendirian di rumah atau di tempat kerja. Hal ini menunjukkan bahwa ada alasan sosial bagi orang untuk pergi ke kedai kopi yang tidak melibatkan interaksi langsung dengan orang lain,” tulis Pozos.

 

Pozos menambahkan, tak ada WiFi di suatu kedai tak membuat orang lantas menyimpan gawai mereka. Tesis Poroz ini makin diperkuat oleh pernyataan yang dilontarkan Jordan Michelman, pendiri Sprudge Media Network. Michelman mengatakan, pelanggan bisa memakai paket datanya sendiri, tanpa harus bergantung pada WiFi yang disediakan kafe atau kedai kopi.

 

“Saya kira banyak kafe menawarkan Wi-Fi seperti menaruh sabun kualitas premium di kamar kecil atau menawarkan tempat bermain bagi anak-anak. Mereka bukan fasilitas yang sangat penting atau hukumnya wajib. Tapi, kehadiran fasilitas ini bagus untuk membuat pelanggan senang dan membuat kafe kamu terasa seperti milik mereka sendiri,” ujar Michelman.

 

Pernyataan Michelman dan Poroz serta keberadaan kedai tanpa WiFi seakan-akan menyadarkan kita: sementara kebutuhan mengakses internet menjadi sesuatu yang tak terhindarkan lagi–akses internet sudah menjadi hak asasi manusia untuk masyarakat modern yang ingin berbagi informasi, definisi manusia tentang ‘keintiman’ dan ‘interaksi’ berada dalam spektrum yang tak bisa begitu saja dihitam-putihkan.

 

Hasrat orang kota, antara nostalgia dan kemajuan, antara pernyataan ‘lebih enak zaman dulu’ dengan ‘kemajuan teknologi bikin segala hal terasa memungkinkan’ kelihatan seperti lomba tarik tambang yang tak akan usai sekarang atau lima puluh tahun lagi.

 

Bisa dilihat dari jawaban mengenai ketiadaan WiFi di kedai kopi Mbah Uti atau HotBlack, keduanya tidak menjadikan anti-WiFi sebagai metode marketing kosong, tetapi mereka memiliki sesuatu yang mereka percaya. Beragam perhitungan, termasuk risiko, tentu sudah masuk dalam rencana bisnis mereka.

 

Sementara saya sebagai pelanggan berhak memilih kafe seperti apa yang akan saya datangi. Kalau kamu, pilih mana?