Diskografi Perantau

Diskografi Perantau

Sesaat setelah pertunjukan kami selesai, saya bersama personil band Kapal Udara lainnya dihampiri beberapa orang yang mengajak berkenalan dan menanyakan beberapa hal seputar tur yang tengah kami lakukan. Beberapa di antara mereka merupakan perantau dari kota Makassar, tempat band kami berasal. Dan yang lainnya berasal dari kota yang sedang kami kunjungi saat itu: Malang. 

Sudah lumrah saat Kapal Udara tur ke luar kota, kami didatangi perantau dari kota Makassar. Meskipun ada yang sebelumnya tidak saling kenal, pertemuan di kota perantauan membuat kami tiba-tiba merasa bersaudara. Mungkin karena kesamaan bahasa, atau perasaan “pernah mengalami” kota yang sama.  

Di malam itu, saya juga bertemu dengan seseorang yang berasal dari kampung halaman saya, kota Palu. Ini menjadi pengalaman tersendiri karena hanya saya yang berasal dari kota Palu. Personil lainnya berasal dari Makassar dan daerah sekitarnya.

Tanpa memperkenalkan asalnya, saya langsung tahu pria gondrong ini adalah orang Palu. Dia berbicara dengan dialek Palu. Dialeknya tetap kental meskipun dia sedang berbicara dengan teman-temannya di Malang. 

Saya sempat menanyakan, "Te berubah logatmu di sini e?"

"Untuk apa diubah?" ia menjawab dengan pertanyaan baru. 

“Benar juga. Terkadang kita, perantau, ingin cepat beradaptasi di suatu tempat dengan mengikuti berbagai karakter budaya orang lain. Kita lupa kalau orang lain juga sebenarnya bisa beradaptasi dengan diri kita, budaya kita.” Pikiran ini belakangan terlintas di kepala saya. Namun saat bercakap dengannya, saya hanya memikirkan betapa cuek karakter si orang Palu  itu.

Namanya Rizky, alias Rizky Toar Mangaribi. Nama belakangnya mengingatkan saya pada seorang musisi di Makassar, Radhitya Erlangga Mangaribi, alias Radhit, alias drummer dari band Dead of Destiny dan Build Down to Anathema, alias vokalis sekaligus gitaris Minor Bebas. 

Setelah obrolan kami panjang lebar, Rizky bilang kalau Radhit adalah sepupunya. 


*Saya/Ale (kiri); Rizky (tengah); Bi WakeUp Iris (kanan)

*Kapal Udara Band saat Tur ke Malang

Koridor Musik

Saat awal merantau ke Makassar, satu-satunya tempat saya meluapkan ekspresi musik adalah kampus: bermain gitar di sekretariat himpunan dan koridor atau tampil di acara galang dana himpunan.

Pernah sekali waktu saat bermain gitar di koridor, Radhit yang waktu itu belum saya kenal, ikut bermain dengan gitar yang lain. Jika biasanya di koridor saya menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals, saat itu saya iseng memainkan riff-riff ala Metalcore meskipun dengan gitar akustik. Radhit menimpali dengan harmoni dan improvisasi. Permainan Radhit rasanya sangat familiar. Mengingatkan saya sewaktu bermusik bersama teman di Palu. 

Beberapa hari kemudian, saya baru tahu kalau Radhit pernah tinggal di Palu. Akhirnya saya buru-buru menyimpulkan, musisi asal Palu itu bisa saya kenali lewat caranya bermusik.

Saya teringat cerita seorang teman perempuan bernama Ana, ia juga seorang perantau dari Palu yang punya band metal di Makassar bernama Obscenity. Saat pertama kali menonton Kapal Udara, ia menebak kalau gitaris Kapal Udara adalah orang Palu hanya berdasarkan karakter melodinya. Cerita itu Ana sampaikan ke saya saat kami baru berkenalan di Makassar. Tebakan Ana benar. 

Seperti apa ciri khas musik kota Palu? Sangat sulit saya jelaskan. Kalau kata Rizky, dulu di Palu itu ada istilah “ba Golni”.

Dalam bahasa Palu (juga berlaku untuk beberapa daerah di Sulawesi Tengah), “ba” adalah awalan kata untuk kata kerja, yang berarti ber/mem. Misalnya kata "batanya" berarti bertanya. “Ba” juga bisa membuat kata setelahnya otomatis menjadi kata kerja, misalnya “ba Golni”. Golni (Gelanggang Olah Raga dan Seni) adalah gedung yang dulunya menjadi pusat acara kebudayaan di kota Palu. Penampil musik di sana sering membawakan musik tradisi maupun tradisi kontemporer. Ciri khas aransemennya menjadi inspirasi bagi musisi atau band-band dalam mengaransemen lagu. Bisa dibilang, istilah “ba Golni” berarti mencampurkan atau menyisipkan skala musik tradisi Palu ke dalam aransemen lagu modern yang dimainkan. 

Kalau diingat-ingat, saya termasuk salah satu yang sering “ba Golni” saat tampil di acara musik di Palu. Namun berbeda dengan Rizky, ia mengatakan tidak pernah dan tidak tertarik dengan aransemen semacam itu. 

Demi Sebuah Lick

Di Palu, Rizky tinggal di jalan Garuda. Ia besar di lingkungan yang banyak musisinya. 

“Beruntungnya saya, di komplekku itu gitaris semua. Dan ada dua orang gitaris jago, namanya Olink dan Ronald. Sejak SD, kami diajarkan main gitar,” kata Rizky menceritakan awal dirinya belajar musik. “Kami bawa rokok satu bungkus, ditukar dengan satu (pelajaran) lick gitar.”

Sejak SD hingga SMP, Rizky dan teman-temannya sering menghabiskan waktu untuk nongkrong dan belajar gitar. Motif mereka belajar gitar saat itu adalah agar bisa beradu dan pamer kemampuan. 

“Baku lomba kitorang. Jadi saya kasi lihat temanku, eh saya dapat lick ini. Habis itu ba balas lagi temanku kasil lihat lick.”

Tidak hanya dalam bermain gitar, Rizky dan teman-temannya juga saling adu pamer referensi musik mereka. Salah satu tempat nongkrong Rizky dan teman-temannya adalah di rumahnya Anno Laotta (sekarang: Bassist band KB'18). Di pekarangan rumah itu ada alat pemutar kaset yang dipakai untuk mendengarkan kaset yang mereka bawa. Ada kebanggaan tersendiri jika membawa kaset musik yang bagus. 

"Torang baku duluan, siapa yang dengar musik baru. Jadi biasanya saya bangga bilang, saya yang kasih dengar pertama kali itu lagu ke dia.. Jadi kaset itu kan dua puluh ribu harganya, harus menyisihkan uang jajan selama satu minggu itu baru bisa beli satu kaset.” kenang Rizky. 

Kaset adalah benda yang tidak asing bagi Rizky. Di rumahnya, ada tempat khusus untuk memajang koleksi kaset milik ayahnya. Bisa dibilang selera musiknya dibentuk oleh selera ayahnya. Hal-hal inilah yang kelak menjadi bekal Rizky untuk bermusik di bangku SMA. 

Pagelaran dan Festival

Meskipun sama-sama dari Palu, perjalanan musik Rizky sangat berbeda dengan yang saya lalui. Masa kecil saya berada di sekitar 9 kilometer dari tempat tinggal Rizky. Jika rumah Rizky berada di kecamatan Palu Timur, rumah saya berada di kecamatan Palu Barat. Ujung pukul ujung, kata orang Palu. Dulu rumah saya berada di Perumnas Balaroa–yang sekarang menjadi salah satu tempat paling terkenal di kota Palu karena peristiwa likuifaksi 2018. 

Orang-orang Palu menyebut acara musik dengan istilah “pagelaran” dan “festival”. Yang membedakannya adalah festival merupakan kompetisi, sedangkan pagelaran menjadi panggung bagi para band untuk menampilkan musik mereka. Band-band ini biasanya membawakan lagu-lagu dari band dalam maupun luar negeri yang  diaransemen kembali. Kami menyebutnya sebagai “ba bongkar lagu”. 

Kala itu, masih sedikit band yang membawakan lagu ciptaan sendiri. Menciptakan lagu belum punya prospek yang menjanjikan. Setidaknya saat itu saya dan teman-teman masih jarang yang memikirkan tentang bagaimana cara membuat lagu yang bagus, rekam lagu di mana, uangnya dari mana, siapa yang mau mendengarkan, setelah rekam bikin apa, dan seterusnya. Pilihan paling praktis adalah ba bongkar lagu.

Beberapa band beruntung bisa menjadi band pembuka konser band dari luar Palu. Mereka juga sudah punya lagu sendiri. Sayang, band kami tidak pernah mendapat kesempatan itu. Berbeda dengan Rizky yang punya koneksi ke sana.

Dari Garuda ke PDM

Bagaimana Rizky bisa masuk ke dalam lingkar musik Palu adalah sebuah ketidaksengajaan. Saat ia akan menghadapi ujian nasional SMP, ia berkenalan dengan segerombol anak SMA yang menjual bocoran soal ujian. Rizky dan teman-teman sekolahnya menjadi klien mereka. Kerja sama ilegal ini ternyata menjadi pintu baru dari perjalan musik Rizky. Salah seorangnya bernama Imam yang mengajak Rizky bergabung ke komunitasnya, Palu Death Metal (PDM). 

“Kalau kau mau serius di musik, sini saya ajak bergaul kau sama anak-anak Palu,” kenang Rizky saat Imam mengajaknya ke PDM. Walau namanya ada unsur death metal-nya,  band-band yang bergabung di komunitas itu tidak selalu bergenre death metal. Scarhead Barricade contohnya, bergenre grindcore. 

Pengalamannya di PDM memberikan semangat dan jaringan pertemanan baru. Walaupun menjadi anggota termuda, ia langsung membaur dengan orang-orang komunitas itu dan ikut bermain di band. Ia bergabung dengan band besutan Imam yang bernama Scarhead Barricade. 

Rizky menjelaskan PDM memberikannya dua motivasi. Pertama, tentang pentingnya membuat dan menyanyikan lagu ciptaan sendiri sendiri, dan kedua tentang pentingnya membeli merchandise band (metal) yang original, di tengah banyaknya baju bootleg yang beredar.

PDM adalah antitesis dari kondisi musisi di Palu yang berorientasi pada kompetisi. PDM membuat gigs rutin agar band-band menampilkan karyanya sendiri tanpa ada embel-embel juara. 

"Di PDM itu paling digara (diejek) kita kalau bawa lagu cover. Dorang bilang, tidak ada lagu sendiri kah?" ucap Rizky. "Dulu saya pikir band paling metal itu Avenged Sevenfold, karena sangar beatnya. Tapi pas masuk di PDM, dengar kayak Dying Vetus, Cannibal Corpse, ih ini lagu apa ini? Dan dari situ akhirnya bisa mendengar frekuensi-frekuensi lagu seperti itu, jadinya terbiasa", kata Rizky. 

Menurut Rizky, Scarhead Barricade bergenre Grindcore karena awalnya ia mengira genre itu yang paling gampang dibandingkan genre lain di dalam extreme metal. Ternyata saat ia dalami, Grindcore punya kerumitan tersendiri. Saat bermusik di PDM bersama Scarhead Barricade, Rizky akhirnya tahu bahwa lagu itu bukan cuma musik, ada juga unsur lirik, pesan, ideologi, beserta pakem-pakem nya. 


*Rizky (kiri) saat tampil di acara Palu Death Metal


As I Lay Dying is Never Die

Saat kelas 3 SMA, saya sering mengikuti pagelaran dan festival bersama sebuah band bernama Criminals Chaos (CC). Para personil band ini sering berkumpul di dekat rumah. Karena saya sering datang ke sana, akhirnya saya diajak menggantikan gitarisnya yang sudah sibuk bekerja. 

Dulu Criminals Chaos sering tampil membawakan lagu Slipknot (grup metal yang khas dengan topengnya di saat tampil). Saking sukanya sama Slipknot, masing-masing personil CC punya topeng yang selalu mereka pakai di saat tampil. 

Setelah saya masuk, Criminals Chaos menjadi lebih sering membawakan lagu As I Lay Dying, unit metalcore asal Amerika. Kami sering tampil di berbagai pagelaran dan festival membawakan lagu-lagu As I Lay Dying meski tidak pernah membawa pulang juara. 

Di masa-masa itu, saya mulai sering melihat sekelompok orang-orang yang menarik perhatian karena mereka berkumpul dan semuanya menggunakan baju akar-akar. Disebut baju akar-akar karena baju tersebut merupakan merchandise band-band metal yang logonya menggunakan font-font menyeramkan yang berbentuk seperti akar. 

Saya juga pernah menyaksikan penampilan band dari kelompok mereka memainkan musik yang jauh lebih rumit dari Metalcore. Belakangan saya baru tahu kalau itu namanya Death Metal, dan komunitas mereka bernama Palu Death Metal. Saat itu timbul semacam perasaan minder karena usia mereka seumuran saya dan mereka punya skil yang lumayan tinggi. Mereka juga punya anggota kelompok yang makin hari semakin muncul di mana-mana. 

Hingga sebelum saya merantau ke Makassar, bersama CC, kami masih sering membawakan lagu-lagu As I Lay Dying di berbagai acara. 

Pernah sekali waktu saya mengajak salah satu personil CC untuk bikin lagu, ia mengernyitkan dahi dan menjawab, “Tidak usah bikin lagu, mau jadi artis kau kah?”

Bekal Sebelum Merantau

Tahun 2011 saya merantau ke Makassar untuk kuliah. Di tahun yang sama, Rizky masih kelas 2 SMA, sedang panas-panasnya dengan Scarhead Barricade. Bersama personil yang lain, Rizky sudah membuat sekitar tiga demo dan tampil di berbagai panggung, bahkan yang terjauh, Scarhead Barricade pernah tampil di sebuah gig di Gorontalo. Belum sempat rekaman, di tahun berikutnya Rizky hengkang dari Scarhead Barricade. Setelah itu Rizky bergabung dengan beberapa band di Palu, di antaranya: Superfalz (Stoner Rock), Respect Your Mom (Metalcore), Hot Dog In Blue (Grunge), dan Buka Pintu (Pop). 

Masuknya Rizky di band-band tersebut berawal dari pertemanannya di komunitas Palu Death Metal. Berada dalam satu band dengan para personil yang memiliki keahlian yang berbeda-beda, membuat Rizky banyak mempelajari hal baru.

Di Scarhead Barricade Rizky mempelajari tentang musik-musik Metal Ekstrim beserta spiritnya. Di Superfalz, melalui vokalisnya bernama Hari yang saat itu baru pulang dari Bandung, Rizky belajar tentang cara mengemas dan mempromosikan band lewat dokumentasi. Di Superfalz, Rizky juga pertama kali merasakan tampil dan dibayar. Saat itu, melalui koneksi Hari, Superfalz sering tampil di acara-acara bersponsor.

Di Respect Your Mom, Rizky mempelajari cara merekam lagu sendiri, melalui basisnya bernama Pator yang punya alat recording di rumahnya. Di Hot Dog In Blue, Rizky pertama kali belajar cara mendistribusikan lagu di internet lewat platform My Space dan Reverbnation. Dan Di Buka Pintu, Rizky mulai belajar menulis lirik-lirik lagu perlawanan.

Pada tahun 2013, Rizky harus meninggalkan semua kiprah permusikannya di kota Palu karena harus kuliah di kota Malang. Di tahun yang sama, saya mulai sering tampil di acara bazar kampus bersama grup akustik yang saya bentuk dengan senior-senior, bernama Laburane. Saat itu saya hanya punya gitar akustik dan tidak memiliki kenalan yang bisa diajak untuk memainkan musik metal. Dua tahun kemudian setelah Laburane bubar dengan sendirinya, saya bersama teman-teman sejurusan di kampus membuat band bernama Kapal Udara. Skala melodi pentatonik ala metalcore dan aransemen “ba Golni” yang saya pelajari di Palu akhirnya saya padukan ke musik Kapal Udara.

Di tahun yang sama, Rizky membentuk band di Malang bernama Remissa bersama teman-teman kuliahnya. Ia merekam sendiri semua lagunya (kini sudah merilis 4 full album dan 1 EP). Rizky menulis beberapa lirik perlawanan, dan menyisipkan beberapa riff-riff cadas berdasarkan apa yang ia pelajari semasa di Palu.  

Melihat Palu di Perantauan

Di beberapa obrolan dengan teman, saya sering mendengar perdebatan tentang apakah musisi harus merantau dulu agar sukses, atau musisi bisa sukses tanpa harus merantau. Geliat musik di Palu menurut saya justru memanfaatkan dua hal tersebut. Mereka memanfaatkan teman yang pulang dari perantauan untuk mendapatkan referensi baru, sambil terus berkembang mengatasi hambatan-hambatan yang mereka alami di kotanya. Ini bisa dilihat dari pelaku-pelaku musik di Palu hari ini sebagian masih berasal dari orang-orang lama dengan kemajuan pemikiran, pergerakan, dan kualitas musik yang dihasilkan. Palu juga tidak berhenti melahirkan musisi atau grup musik baru dengan berbagai warna.

Menurut Rizky, salah satu tantangan di kota Palu adalah “kalah secara geografis”. Maksud Rizky adalah kota Palu secara geografis jauh dari pulau Jawa, dan biaya transportasi ke pulau Jawa cukup mahal sehingga akses untuk melakukan semacam tur dan sebagainya menjadi cukup sulit. Bagi Rizky, meskipun internet sudah memudahkan komunikasi, Industri musik Indonesia masih berpusat di pulau Jawa. Ini juga menjadi alasan mengapa dulu Rizky ingin kuliah di Jawa, agar bisa berkarir di dunia musik.

Beberapa hari yang lalu, untuk melengkapi tulisan ini, saya bercakap dengan Rizky via daring. Rizky sedang berada di Jakarta karena ada kerjaan di sebuah perusahaan provider. Di tengah percakapan, ia sempat bilang:

“Ternyata hidup dari musik itu tidak semulus seperti apa yang saya harapkan”.

Saya mengiyakan dan kami tertawa bersama.