Tanpa sosok perempuan yang melakukan tugas perawatan untuknya, Adam Smith tidak akan punya waktu untuk menulis The Wealth of Nations. Di balik kejeniusannya, ada ibunya yang mengurus makan malamnya sehingga ia bebas untuk menulis. Sayang, kerja-kerja yang dilakukan ibunya absen dari deskripsi Smith meskipun ibunya sendiri sudah bekerja tanpa diupah, tanpa hari-hari sakit, juga harus siap untuk lembur.
Magnum opus-nya, The Wealth of Nation, menulis tentang pembagian kerja, produktivitas, hingga pasar bebas. Namun, dia melewatkan pertanyaan fundamental, “siapa yang menyiapkan makan malam?” yang akhirnya disinggung oleh Katrine Marçal yang menghadirkan perspektif feminis ke ekonomi pada bukunya Who Cooked Adam Smith’s Dinner?: A Story of Women and Economics. Bukankah menyediakan makanan, membersihkan rumah, dan mengatur ritme kegiatan keluarga adalah bagian dari kerja dan produktivitas?
Sebuah pertanyaan menohok karena tidak ada orang yang bisa fungsional tanpa kerja-kerja perawatan (care work). Smith pun tak luput dari ini; ada tangan-tangan tak kasat mata (invisible hand) yang menyiapkan makannya tiga kali sehari dan membersihkan rumah supaya ia bisa fokus mengerjakan magnum opus-nya. Dilihat dari kacamata ini, 'tangan tak kasat mata' yang ia singgung mungkin tak sekasat mata itu. Toh ia bisa jadi berupa para perempuan yang melakukan tugas perawatan di seluruh dunia yang kerja kerasnya tak terkompensasi dan tak diakui.
Menghitung Hasil Kerja Perempuan
“Women have always worked since time immemorial.”
(P.S nanti tolong ilustrasinya menggambarkan perempuan bekerja di ranah domestik dan publik, lalu ada quotation di atas “women have always worked.” Terima kasih ya.)
Katrine Marçal mengingatkan kita bahwa perempuan selalu bekerja–dari rumah hingga ke ruang publik. Meski begitu, kerja-kerja perempuan, khususnya pada ranah domestik, masih dianggap tidak memiliki nilai ekonomi di masyarakat.
Di seluruh dunia, perempuan melakukan sebagian besar pekerjaan rumah tangga. Laporan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) menunjukkan perempuan di kawasan Asia-Pasific menghabiskan rata-rata sekitar 4 jam 20 menit setiap harinya dalam pekerjaan rumah tangga. Sejalan dengan rata-rata global di mana perempuan menghabiskan waktu 3 kali lipat lebih banyak daripada laki-laki untuk melakukan tugas rumah tangga. Namun, tak ada bayaran dari melakukan tugas-tugas tersebut karena dianggap bukan pekerjaan sungguhan dan tidak memiliki nilai ekonomi.
International Labor Organization (ILO) mengungkap dari 64 negara–yang mana merepresentasikan 2/3 dari populasi usia kerja di dunia–setidaknya ada 16,4 miliar jam/hari yang dihabiskan untuk mengerjakan pekerjaan perawatan yang tidak dibayar (unpaid care work, sebutan lain untuk kerja rumah tangga). Itu berarti setara dengan 2 miliar orang yang bekerja 8 jam/hari tanpa diberi upah. Padahal, tugas rumah tangga yang dilakukan oleh mayoritas perempuan dunia berkontribusi banyak pada perekonomian dunia. Mereka menyediakan kerja perawatan yang lalai diberikan oleh sektor publik. Sayangnya, hasil kerja ini lalai dilihat oleh para ekonom sehingga tidak menjadi bagian dari perhitungan gross domestic product (GDP) yang sering menjadi acuan untuk pertumbuhan suatu negara.
Saking rendahnya–kalau tak mau dibilang tidak dianggap–kompensasi ekonominya, pekerjaan rumah tangga disebut sebagai unpaid work. Jika dibayarkan berdasarkan upah minimum, ILO memperkirakan kerja-kerja domestik yang tidak dibayarkan ini mencapai 9 persen dari GDP global alias setara USD 11 triliun. Kontribusi perempuan bernilai sekitar 6,6 persen, jauh lebih besar dibandingkan laki-laki yang hanya sebesar 2,4 persen. Laporan dari Oxfam juga sama mengejutkannya. Jika pekerjaan domestik yang selama ini dilakukan oleh perempuan dibayarkan, perempuan seluruh dunia akan mendapatkan USD 10,8 triliun per tahun–3 kali lebih besar dari industri teknologi. Itupun masih dinilai terlalu rendah karena perhitungannya hanya menggunakan upah minimum.
Sayangnya, besarnya peran perempuan dalam menggerakkan masyarakat baru terlihat di masa pandemi. Menyediakan makanan dan pakaian bersih, membersihkan rumah, merawat orang tua, anak, dan orang sakit, serta setumpuk tugas lainnya tetap harus dilakukan meskipun dunia sudah berada di ujung tanduk. Ini wajib dilakukan supaya masyarakat bisa melewati masa krisis dengan selamat.
“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or baker that we expect our dinner, but from their regard to their own self-interest,” tulis Smith pada 1776. Tulisan yang membentuk pemahaman ekonomi kita saat ini tentang manusia ekonomi (economic man) yang didorong oleh kepentingan diri sendiri (self interest) yang rasional untuk melakukan sesuatu.
Kalimat tersebut menggelitik saya; jika begitu, bagaimana bisa perempuan dituntut untuk melakukan tugas rumah tangga atas dasar sebuah cinta kasih yang tulus dan murni? Pertanyaan tersebut dijawab oleh Marçal, “In which it becomes apparent that economic man is not a woman,” alias Smith hanya menganggap kerja lelaki saja yang kayak dikompensasi, sementara kerja perempuan tidak.
Kiat Sukses Melancarkan Domestikasi Perempuan
Ada begitu banyak cara membuat perempuan ‘terjebak’ untuk hanya terlibat pada urusan rumah tangga. Perempuan dituntut untuk dapat mengurus rumah dan dapat bereproduksi, menyemenkan pemahaman bahwa tujuan perempuan lahir hanyalah untuk menunaikan tugas tersebut. Sehebat apapun perempuan dalam karirnya, besarnya dampaknya ke masyarakat, ia tetap tak akan dianggap sebagai ‘perempuan yang utuh’ selama ia tidak menjadi istri dan ibu yang menetap di rumah.
Memang masyarakat sekarang lebih terbuka dengan ide ‘perempuan karir’ dibandingkan masa lalu. Namun peran perempuan di publik tetap dibatasi di pekerjaan-pekerjaan yang pengasuhan dan pelayanan, seperti pelayan, perawat, guru, dan sekretaris. Setelah pulang kerja, ia harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga–sesuatu yang tak perlu dilakukan oleh laki-laki.
Sentilan soal bagaimana saya, seorang perempuan, harus lebih telaten melakukan pekerjaan rumah tangga karena secara inheren saya lebih ‘jago multitasking’ dibanding laki-laki sudah kelewat sering masuk telinga. Saya menolak untuk langsung mempercayainya. Benarkah perempuan, secara inheren atas kuasa Ilahi, lebih ‘jago multitasking’ daripada laki-laki?
Bukti empiris membantah hal tersebut. Penelitian mengungkapkan bahwa gender tidak membuat perbedaan dalam kemampuan multitasking. Penemuan ini mematahkan pandangan bahwa perempuan dianggap lebih mampu melakukan berbagai tugas dalam satu waktu. Jadi mengapa ada peran-peran berdasarkan gender?
Pengkotak-kotakan gender ini berdasarkan budaya yang sudah bertahan sejak ratusan tahun lamanya. Konstruksi ini tidak hanya didasarkan pada aspek-aspek biologis, tapi juga secara sosial, budaya, dan psikologis. Ini tak mengherankan karena ketika membahas tentang peran gender perempuan dalam masyarakat, jawabannya tak akan jauh-jauh dari kodrat dapur, sumur, kasur. Dalam pandangan yang mendukung hegemoni maskulinitas seperti sekarang, perempuan dibentuk sebagai sosok istri yang patuh dan wajib melayani suami dan keluarganya.
Argumen tentang ini dielaborasikan oleh Barbara Welter dalam The Cult of True Womanhood: 1820-1860. Ia mengidentifikasi 4 anggapan masyarakat soal ‘perempuan sejati’: piety (kesalehan), purity (kemurnian), submission (tunduk), dan domesticity (murni). Namun, standar ini pun sangat amat bias karena true women ini mengecualikan kelas pekerja, imigran, kulit hitam, dan kelompok marjinal lainnya karena adanya prasangka terhadap kelompok-kelompok tersebut.
Pada konteks Indonesia, Julia Suryakusuma mengenalkan kita pada konsep Ibuisme Negara di mana adanya domestikasi perempuan adalah sebuah langkah subordinasi atau upaya menomorduakan kedudukan perempuan di bawah laki-laki sehingga perempuan harus bergantung dan melayani laki-laki. Rezim Orde Baru secara sistematis melakukan domestikasi perempuan Indonesia dengan menyentuh unit terkecil masyarakat yaitu keluarga. Dampaknya, masih sangat kuat bisa kita rasakan hingga hari ini khususnya lewat Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga yang secara terang-terangan mengintervensi ruang privat warga negaranya. RUU ini dinilai merugikan perempuan karena melanggengkan peran-peran gender yang hanya berdasarkan gender stereotype.
Memang, hegemoni terbentuk dari adanya peleburan antara budaya dan kekuatan institusional. Hegemoni maskulinitas di masyarakat kita ini menunjukkan adanya ketimpangan kuasa dan otoritas yang dimiliki laki-laki. Hegemoni maskulinitas menempatkan kekuasaan laki-laki diatas perempuan. Posisi dominan laki-laki di masyarakat ini membenarkan subordinasi perempuan. Hal ini menjelaskan bagaimana laki-laki mempertahankan peran sosial yang dominan atas perempuan dan identitas gender lainnya.
Kondisi ini membuat kita dengan mudah menemukan bagaimana perempuan direpresi, hanya diizinkan berada pada ruang privat dan dianggap sebagai perempuan sejati ketika ia patuh untuk melakukan kerja-kerja di ranah domestik bahkan tanpa kompensasi. Coba bayangkan, apa jadinya jika perempuan sadar bahwa dirinya ditindas; bahwa dirinya memiliki hak yang sama di ruang publik; bahwa dirinya layak mendapatkan uang atas kerja-kerja yang dilakukannya?
Tentunya nasib perempuan jauh akan lebih baik dari sekarang. Ini semakin membuktikan bahwa mendorong emansipasi ekonomi perempuan juga bisa mengatasi beberapa masalah struktural.
“Feminisme selalu membahas soal ekonomi. Virgina Woolf ingin punya kamar sendiri, dan untuk mendapatkannya pun butuh uang juga.” - kutipan Who Cooked Adam Smith’s Dinner? : A Story of Women and Economics.