Dua Dekade Pasca 9/11

Peristiwa 9/11 membuktikan kepada warga Amerika Serikat (AS) bahwa terorisme bisa terjadi di teras belakang rumah mereka. Sekitar 3.000 orang tewas dalam sehari rentetan serangan teroris di New York, Washington D.C, dan Pennsylvania. Jumlah korban yang sangat cukup untuk menciptakan trauma massal di benak mereka.

 

9/11 adalah induk dari berbagai kenyataan politik di AS dan dunia dari invasi militer negeri-negeri Barat ke Afghanistan dan Irak hingga kemunculan terus-menerus kelompok teror. Bagaimana warga AS kini kini melihat peristiwa tersebut? 

 

Trauma yang Mulai Memudar

 

Satu perubahan terbesar pertama di kalangan warga AS tatkala memandang lagi peristiwa 9/11 adalah trauma yang mulai memudar. Hal ini terlihat dari hasil survei lembaga konsultan publik Gallup periode 2-17 Agustus 2021, tepat sebulan sebelum peringatan dua dekade 9/11, kepada 1.006 warga AS berusia 18 tahun ke atas dari seluruh negara bagian. 

 

  • Tidak Takut Jadi Korban Terorisme Lagi

 

Dibanding seminggu setelah kejadian 9/11, sekarang makin banyak warga AS yang mengaku tidak takut dirinya dan kerabatnya jadi korban terorisme.  

 

 

(Sumber: Survei Gallup)


 

  • Tidak Takut Melakukan Aktivitas Publik yang Erat Adegan 9/11

 

Warga AS pun mulai berani melakukan aktivitas di ruang publik yang erat kaitannya dengan peristiwa 9/11. Banyak warga AS, misalnya, tidak lagi malas lagi naik pesawat dan main ke gedung pencakar langit, dua hal yang bisa mengingatkan ke adegan di World Trade Center (WTC), New York, 20 tahun sebelumnya. 

 

Tapi, banyak dari mereka masih malas menghadiri acara dengan peserta ribuan orang. 

 

 

 

(Sumber: Survei Gallup)

 

Berdasarkan keterangan Gallup dalam surveinya, hal ini karena mereka terbayang aksi terorisme di Inggris pada 2017 yang terjadi di tengah keramaian. Alasan lain karena efek pandemi Covid-19 yang melanda AS dan dunia pada 2020. 

 

Pesimis Pemerintah AS Mampu Melindungi Warganya

 

Perubahan terbesar selanjutnya terkait cara pandang mereka terhadap keamanan nasional. Warga AS sekarang semakin tidak percaya pemerintahnya bisa melindungi mereka, khususnya dari serangan terorisme di masa depan. 

 

 

(Sumber: Survei Gallup)

 

Pesimisme tersebut muncul lantaran terorisme masih terjadi di AS, bahkan setelah dua puluh tahun lalu pemerintahnya menggalakkan kampanye lobal War on Terrorism (WOT). Salah satunya ledakan bom di tengah acara Boston Marathon, pada 15 April 2013 lalu. 

 

Akibat peristiwa itu, sebanyak tiga orang tewas dan 264 orang terluka akibat kejadian itu. Seorang bernama Djokhar Tsarnaev ditangkap, sementara seorang lainnya bernama Tamerlan Tsarnaev tewas dalam baku tembak dengan polisi. 

 

  • Menganggap Pemerintah AS Telah Kalah Perang Lawan Teroris

 

Sejalan dengan hal itu, warga AS juga makin banyak yang menganggap saat ini pemerintahnya telah kalah perang lawan teroris. Meskipun, lebih banyak dari mereka yang menganggap tidak ada yang menang. 

 

(Sumber: survei Gallup)

 

Pemerintah AS memang melancarkan dua operasi militer besar dengan dalih melawan terorisme. Invasi pertama ke Afghanistan pada 7 Oktober 2001. Kedua, invasi ke Irak pada 20 Maret 2003 di bawah kode Operation Iraqi Liberation (OIL).

 

Dari grafik di atas, terlihat sebetulnya banyak warga AS yang sempat menganggap pemerintahnya telah mengalahkan terorisme. Itu terjadi pada awal-awal invasi ke Afghanistan dan setelah keberhasilan menggulingkan rezim Saddam Husein dengan singkat di Irak. 

 

Namun, anggapan tersebut turun drastis dalam survei termutakhir Gallup yang dilakukan menjelang Joe Biden menarik pasukan AS dari Afghanistan. Keputusan ini menghentikan 20 tahun invasi yang menewaskan 2.456 tentara AS.