Dunia Kosmetik: yang Cantik Cuannya

Dunia Kosmetik: yang Cantik Cuannya

 

Saya mulai memiliki kesadaran untuk memakai kosmetik bibir di usia 11 tahun. Saya ingat di hari kelulusan SD, saya menggunakan tinted lip balm berwarna pink karena ingin menutupi pinggiran bibir yang berpigmen gelap. Standar kecantikan bibir berwarna pink dan terlihat penuh memang menyebabkan rasa tidak percaya diri pada banyak orang. Sudah seringkali saya melihat orang baik yang menanyakan maupun memberi tips cara menghilangkan bibir gelap di Twitter, seolah memiliki hiperpigmentasi yang merupakan bawaan gen seperti warna bibir gelap adalah hal yang memalukan. Kenyataannya, sekarang muncul pula tren bibir brownie glazed dengan pinggiran gelap yang populer di era ‘90-an dan kini kembali dipopulerkan oleh Hailey Bieber, yang akhirnya dipakai oleh industri kosmetik untuk menjual produk lip liner dan lip gloss berwarna coklat. 

 

Di tahun kedua kuliah, saya rajin menggunakan lipstik setiap hari. Setidaknya yang berwarna cukup netral seperti pink dan coklat agar tidak begitu mencolok. Beruntung, saya kuliah di Fakultas Ilmu Budaya sehingga ada banyak sekali mahasiswi lain yang juga menggunakan lipstik, bahkan yang berwarna terang seperti merah dan oranye. Tidak hanya lipstik, saya juga memakai kosmetik seperti BB cream, two way cake, dan maskara. Kebiasaan menggunakan kosmetik tersebut saya jalani sejak 2011. 

 

Sebagaimana perempuan pada umumnya, saya menggunakan kosmetika untuk menjaga kebersihan, meningkatkan daya tarik, meningkatkan rasa percaya diri dan perasaan tenang, melindungi kulit dan rambut dari kerusakan sinar UV, polusi dan faktor lingkungan yang lain, untuk mencegah penuaan dan secara umum, serta agar dapat lebih menikmati dan menghargai hidup (Tranggono & Latifah, 2007). Penelitian lain juga menunjukkan hubungan signifikan dan positif antara stereotip daya tarik fisik dengan perilaku konsumtif terhadap produk kosmetik. Semakin seseorang menganggap daya tarik fisik sebagai sesuatu yang membuat mereka disukai di masyarakat, semakin tinggi pula perilaku konsumtif. 

 

Pada 2013, mulai banyak kosmetik impor yang memasuki pasar Indonesia, mulai dari Amerika Serikat, Eropa, dan Korea Selatan, khususnya yang dijual dengan harga cukup murah atau kategori drugstore makeup, bukan lagi high-end brand seperti Dior atau MAC Cosmetics. Di era keemasan Instagram dan Youtube ini, saya juga mengikuti berbagai beauty vlogger dan influencer seperti Pony's Makeup dan Makeup by Tammi untuk melihat review dan tutorial.

 

Ketika kosmetik bibir lokal saat itu masih berupa lipstik tube putar dan satin finish, di luar sana sudah banyak jenis matte lip cream, lip gloss, dan liptint beraneka warna. Dari uang hasil kerja part-time dulu semasa kuliah, saya bisa membeli 4-5 jenis produk bibir seharga Rp50-100ribu dalam sebulan. Ini belum termasuk pengeluaran untuk produk kosmetik lain seperti skincare, personal care, dan sunblock. Saya juga mengikuti berbagai online shop lokal di Instagram yang menjual produk-produk kosmetik impor. Tidak jarang saya termakan review dari para influencer hingga akhirnya membeli beragam produk makeup dan skincare cuma karena saya "penasaran" ingin mencoba produk tersebut.

 

Saya kemudian memutuskan untuk menjadi penata rias setelah lulus kuliah. Koleksi makeup dan lipstik saya pun bertambah hingga enam kali lipat, karena harus menyediakan warna bedak, foundation, dan lipstik yang berda-beda untuk menyesuaikan dengan kebutuhan warna kulit klien. Perilaku konsumtif pada kosmetik inilah yang kemudian menjadi cara saya untuk lari dari permasalahan pribadi yang saya hadapi. Sudah menjadi rahasia umum kalau kosmetik dipasarkan dengan memanfaatkan rasa takut konsumen khususnya perempuan. Hal ini dinormalisasi oleh industri dan dilanggengkan oleh beauty culture untuk meraup cuan sebanyak-banyaknya. Budaya kecantikan ini menjadi problematik ketika perempuan dibuat merasa tidak memadai tanpa menggunakan kosmetik. Perempuan jadi dituntut untuk membeli kosmetik terus-terusan dan ini memunculkan masalah konsumerisme dan berujung pada masalah tumpukan sampah bekas kemasan kosmetik. 

 

Perkembangan industri kecantikan di Indonesia mengalami kenaikan yang sangat pesat. Bahkan per Desember 2022, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mencatat ada lebih dari 330.000 produk kosmetika yang telah terdaftar. Peningkatan paling tinggi terlihat pada 2019 ketika terjadi kelonjakan tiga kali lipat dari 19.983 produk pada 2018 menjadi 56.549 produk yang terdaftar. Untuk produk skincare yang dijual di e-commerce saja, tercatat transaksi senilai Rp91.22 Miliar dalam dua minggu pertama pada Februari 2021. Perubahan gaya hidup konsumen selama pandemi merupakan faktor pendorong tumbuhnya industri kosmetik lokal saat ini–tak lupa, maraknya tren kecantikan baik dari Korea Selatan maupun Barat yang disebarkan lewat media sosial seperti Instagram dan TikTokDikutip dari Goodtstats, produk kosmetik bibir adalah yang paling banyak digunakan masyarakat dengan persentase sebesar 97 persen di tahun 2021. Demikian pula berdasarkan survei kami pada pembaca Jurno, tiap orang rata-rata memiliki setidaknya 6 lipstik. 

 

Hari ini ada sekitar 800 perusahaan kosmetik di Indonesia. Tingginya pertumbuhan jumlah merek kosmetik ini salah satunya disebabkan oleh menjamurnya maklon, atau perusahaan manufaktur yang menyediakan jasa produksi untuk pihak lain. Minimum biaya rata-rata jasa maklon kosmetik untuk pembuatan produk pertama kali adalah Rp50.000.000-Rp100.000.000. Namun, biaya ini biasanya sangat tergantung dengan jenis produk yang dibuat, formulasi bahan yang diinginkan, dan kuantitas produk. Beberapa pabrik maklon bahkan menawarkan one stop solution untuk orang yang ingin memulai bisnis kosmetik mulai dari riset formula, desain kemasan, perizinan BPOM, hingga strategi marketing. 

 

Akibatnya, produk-produk yang dihasilkan merupakan tiruan dari produk lain yang sebelumnya sudah terbukti laku. Mulai dari formula, hingga kemasannya. Sehingga banyak merek lokal yang mengeluarkan produk yang mirip satu sama lain. Ini tidak berlaku di produk makeup saja, tapi juga di lini produk perawatan wajah seperti serum dan sunscreen.

 

Varian produk juga mengikuti apa yang saat itu sedang menjadi tren. Ketika ada tren lip cream, semua brand akan berlomba-lomba merilis koleksi lip cream yang diklaim transferproof dan awet bahkan ketika dipakai makan. Atau seperti sekarang, semua brand lokal memiliki varian glossy lip tint yang mengikuti tren Dior Addict Lip Tattoo. Bahkan beberapa brand lokal berani mengklaim produk mereka adalah dupe, alias versi lebih murah dengan kualitas dan warna yang mirip, dari produk andalan Dior yang sudah terkenal sejak tahun 2017 itu.

 

Tidak hanya konsumsi dan produksi yang sama-sama berlebihan, saya juga melihat kecenderungan over-marketing pada brand kosmetik ternama. Memang strategi KOL dianggap sudah tidak seefektif dulu karena terlalu “palsu” dan konsumen kini sudah lebih cerdas melihat berbagai jenis promosi berbayar di akun-akun media sosial para influencer. Brand kemudian beralih pada pemakaian nano-influencer atau buzzer yang memiliki kurang dari 5000 pengikut. Tapi sayangnya “review” yang dibuat oleh buzzer kosmetik ini mengikuti brief dan konsep yang seragam dan dilaksanakan pada timeline kampanye yang berdekatan sehingga orang mudah melihat pola pada marketing produk tertentu. 

 

Penggunaan buzzer yang berfokus pada kuantitas juga menyebabkan konsumen seperti saya cukup ‘eneg’ ketika dicekoki review bayaran dari produk yang sama dengan talking points yang juga mirip-mirip di setiap kontennya. Saya tidak menyalahkan para content creator kecil ini yang kenyataannya hanya menerima brief dari klien, mengingat saya sendiri juga pernah berada di posisi yang sama seperti mereka. Namun, saya lelah dengan cara produsen memasukkan iklan mereka ke setiap lini kehidupan saya, tidak hanya di media sosial, tapi juga di billboard di pinggir jalan. Rata-rata dari mereka mengiklankan produk kecantikan yang fungsi dan bentuknya mirip-mirip dengan konsep promosi yang serupa (misalnya, penggunaan brand ambassador artis Korea Selatan). 

 

Rata-rata produk kosmetik memiliki masa simpan 12-24 bulan. Kecuali maskara yang biasanya hanya sekitar 6 bulan. Setiap ada tempat bedak, tube foundation, botol maskara, kemasan lipstik yang sudah habis, saya akan membuangnya ke tempat sampah di kos. Nantinya sebagian sampah ini ada yang diambil oleh pemulung dan petugas sampah. Setiap dua-tiga tahun sekali, ada banyak produk kosmetik kadaluarsa yang harus saya buang. Jumlahnya minimal 5-10 barang. 


Ketika label “animal cruelty free”, “organik”, “halal”, dan “vegan” sudah terlalu sering dipakai, kini brand juga memakai embel-embel “ramah lingkungan”. Misalnya dengan menegaskan bahwa produk mereka tidak diproduksi dengan cara-cara yang merusak alam. Beberapa nama produsen besar yang sudah lebih established kemudian memang bekerja sama dengan program daur ulang untuk memastikan agar sampah bekas kemasan mereka tidak menumpuk di TPA. Namun menurut Margaretha Untoro dalam wawancara kami, kebanyakan brand yang mengklaim diri mereka ramah lingkungan, sebenarnya hanyalah praktik greenwashing. Karena jika memang mereka benar-benar ingin menjadi ramah lingkungan, brand kosmetik bisa mulai dengan tidak merilis produk baru sesering dan sebanyak mungkin.