Durjana Deborah dan Khazanah Satir di Media Sosial

“Ketika kita harus menjelaskan apa itu satir ke orang lain, sesungguhnya itu sudah percuma, ujjar Barry Humphries, seorang komedian satir asal Australia ketika ia dikritik pada tahun 2003 silam. Melalui persona panggungnya, Dame Edna Everage, ia memparodikan budaya celebrity dan pola pikir masyarakat umum melalui sosok ‘ibu rumah tangga’ yang nyentrik. 

Komentarnya terhadap berbahasa Spanyol di Vanity Fair mungkin sebenarnya bertujuan untuk menunjukkan betapa insensitif dan rasisnya masyarakat umum Barat terhadap penutur Bahasa Spanyol. Tapi banyak orang, termasuk aktor Meksiko-Amerika Salma Hayek, melayangkan pertentangannya. 

Memang, salah satu peraturan untuk satir adalah mereka yang menjadi target ungkapan satir bukan orang-orang marjinal yang direpresi secara sosial dan tidak memiliki kuasa politik. 

Satir yang efektif seharusnya menyorot betapa konyolnya proses marjinalisasi tersebut, tulis Corsbie-Massay. Namun, lanjutnya,  misinterpretasi bisa mengakibatkan atau bahkan memperkuat dinamika kuasa dan melanggengkan marjinalisasi. 

Dalam ranah sosio-politik media sosial Indonesia yang rawan dengan konflik akibat misinterpretasi, figur satir seperti Dame Edna di media menjadi semacam margasatwa yang langka. Pada tahun 2000-an, acara Republik Mimpi yang diisi oleh aktor–aktor yang memparodikan presiden–presiden Indonesia dapat menyentil segala pergolakan rakyat dan pemerintah pasca reformasi. Tapi sekarang, mudah sekali terjadinya pelayangan UU ITE atas pencemaran nama baik. 

Pada zaman Republik Mimpi, semangat untuk bebas berpendapat sedang naik-naiknya setelah ditahan bertahun–tahun, sehingga sentilan terhadap penguasa bisa lebih nyata. Orang-orang juga lebih mudah paham bahwa suatu media merupakan satir. Namun hal itu berubah semenjak kehadiran internet, terutama media sosial. Banyak orang, terutama generasi yang lebih tua, terjebak dalam hoaks dan disinformasi. 

Terbukanya penyebaran informasi di media sosial adalah pedang bermata dua. Keberadaannya bisa memfasilitasi masyarakat untuk bebas berpendapat—termasuk bebas menyentil penguasa. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya–penguasa–penguasa memperkarakan keluhan rakyatnya. Para komedian stand up yang seharusnya meledek para penguasa, malah meledek rakyatnya, terutama mereka yang termarjinalkan. Topik candaan seringkali tak jauh dari candaan rasis, seksis, dan homofobik.  

Tentang Seorang Ibu–ibu Kemehe 

Salah satu alasan saya menulis artikel ini adalah untuk menjelaskan eksistensi akun @TheDeborahTBT di Twitter. Deborah adalah salah satu karakter buatan saya yang diciptakan sekitar tahun 2015 sebagai parodi ibu–ibu kelas menengah. Ia menggambarkan perempuan ‘Karen’, jauh sebelum istilah Karen menyebar di Indonesia. Awalnya karakter ini dibuat untuk ‘lucu–lucuan’ saja, sebagai manifestasi dari observasi saya terhadap cara orang–orang berpendapat di media sosial. 

Di negara asalnya—Amerika Serikat—’Karen’ adalah ibu-ibu kelas menengah-menengah atas berkulit putih yang sikapnya menyebalkan. Ia mengeluhkan segalanya dan merasa berhak akan hal-hal yang ia percaya dan/atau inginkan. Di Indonesia, bibit–bibit anggapan tersebut sudah muncul sedari lama, dengan adanya stereotip emak–emak Mio yang salah sein. Stereotip terbaru adalah kemunculan ‘Nurul’, yaitu perempuan–perempuan muda religus yang kelakuannya menyebalkan di media sosial. 

Kembali ke Deborah. Saya menciptakan citra awalnya sebagai seorang ibu–ibu kelas menengah dengan pandangan moderat, yang merasakan bahwa sisi kiri dan sisi kanan terlalu ekstrim sehingga merasa harus berada di tengah-tengah. Namun, apakah arti moderat sesungguhnya dalam perpolitikan Indonesia? Seringkali, kemoderatan ini hanyalah konservatisme yang nanggung, yang membiarkan yang berkuasa menang dengan mengatakan ‘semua sisi ada salahnya’. Akibat sikap acuh yang menganggap politik itu hanya urusan DPR dan pemilu, orang–orang seperti Deborah tidak paham bahwa setiap hal yang mereka lakukan sebetulnya memiliki konsekuensi dan latar belakang politis. 

Pada tanggal 19 Juni 2023, ada sebuah cuitan yang pada dasarnya mengatakan yang dirugikan oleh komunitas LGBTQ+ adalah orang-orang yang tak sepaham dengan mereka. Orang ini juga membuat  klaim karena mereka tidak bisa bereproduksi, maka mereka mempertahankan eksistensi mereka dengan merekrut orang-orang heteroseksual. Pendapat ini konyol—perekrutan macam apa yang bisa dilakukan komunitas LGBTQ+? Seksualitas itu bukan MLM, tidak ada perekrutan. Saya sudah sering berinteraksi dengan cuitan macam ini, dan kali ini saya meng-quote retweet-nya menggunakan akun Deborah: 

(Tweet Deborah) 

Mayoritas respon orang–orang terhadap cuitan saya adalah terhibur. Ada yang ikutan pura-pura paranoid, ada yang menertawakan, tapi ada juga yang waswas. Ada seseorang yang mengatakan bahwa walaupun ia tahu Tweet Deborah adalah sarkasme, kemampuan membaca orang Indonesia yang menurutnya rendah dapat mengakibatkan salah paham dan berdampak buruk pada saya atau komunitas LGBTQ+. 

Lalu saya pikir, oke, saya perlu menjelaskannya, sehingga saya membuat utas klarifikasi di Twitter saya, yang kemudian disangkal kembali oleh Deborah. Lantas, apa sih sebenarnya yang saya lakukan dengan akun Twitter ini? 

Penguji dari Berpikir Kritis
Di utas klarifikasi tersebut, saya mengatakan bahwa yang saya lakukan adalah cara bapak saya berinteraksi dengan opini radikal: membuat opini mereka lebih ekstrim dan melihat sampai titik apa mereka sendiri akan merasa saya terlalu ekstrim. Karena pada dasarnya, opini yang xenofobia seringkali berdasarkan sebuah anggapan yang salah. 

Ketika pemuka agama mengecam konser Coldplay karena ada klaim bahwa mereka ‘mendukung LGBTQ+’, KH. Taufik Damas (Wakil Khatib Syuriah PWNU) menjelaskan bahwa kampanye LGBTQ+ itu bukan untuk ‘mengubah’ orang menjadi LGBTQ+, tapi untuk menghentikan diskriminasi dan menjamin hak–hak dasar mereka sebagai warga negara.

Walaupun kesalahpahaman dari pihak konservatif ini sering terjadi, adalah sebuah kesalahan bagi pihak progresif untuk berasumsi bahwa yang konservatif itu bodoh. Tentu tidak sedikit orang konservatif yang sangat terpelajar dan pintar berargumen. Malah, melalui satir Deborah ini, saya melihat bahwa sangat jarang sekali orang yang konservatif berinteraksi dengan Tweet-nya, karena bagi mereka, dia terlalu ekstrim atau mereka tahu itu trolling. 

Ironisnya, tidak sedikit orang-orang progresif yang tergocek (tertipu) dan mengira bahwa Deborah itu adalah orang nyata yang homofobik, sampai membuat utas panjang untuk menyanggah Deborah. Kita yang progresif sering merasa hanya karena pendapat kita ‘baik’, bahwa pendapat kita ‘benar’. Padahal, tidak ada jaminan bahwa pendapat yang progresif itu benar secara faktual atau argumennya sahih. 

Bagi saya, Deborah adalah semacam eksperimen sosial tentang bagaimana kita berinteraksi secara daring. Kalau kita yang progresif ingin ada kemajuan, setidaknya kita harus memastikan bahwa kita berpikir kritis dan lebih berhati-hati dalam menelaah informasi. Maka penting untuk sebelum beropini kita memastikan konteksnya tepat, penyampaiannya benar, dan tidak ada misinterpretasi atau disinterpretasi. 

Saya paham tetap ada kemungkinan bahwa ada orang yang setuju dengan Deborah dan menganggap dia benar. Tapi menurut saya, apa bedanya? Karena kalau bukan Deborah, pasti sudah ada orang lain yang berpendapat begitu di sekitarnya yang tidak selucu Deborah. Dan apa kejadian terparah yang bisa terjadi? Akun Deborah dimatikan Twitter? Bagus. Artinya Twitter menganggap serius hate speech, karena setiap hari ada ribuan ucapan kebencian dan homofobik nyata yang dibiarkan saja oleh Twitter. Deborah jugalah semacam tes untuk algoritma Twitter. 

Menurut beberapa orang, apa yang Deborah lakukan adalah dumbing down, yaitu cara mengkomunikasikan isu–isu penting dengan tujuan menaikkan apatisme dan mengurangi kekritisan. Namun, diskursus mengenai pembodohan publik ini sudah terbukti membuat masyarakat semakin kritis karena membuat mereka bertanya-tanya. Toh mereka tidak sebodoh itu. 

Penting pula untuk dicatat bahwa pembodohan tidak bisa dilakukan oleh mereka yang tidak berkuasa. Sehingga bagaimana  seorang ibu–ibu kemehe—tidak nyata pula!—bisa membodohi masyarakat yang sedari awal sudah memiliki kuasa dan terbiasa untuk memarjinalkan suatu komunitas. Masyarakat yang sama yang tak mau memahami realitas faktual mereka. 

Deborah menguji kemampuan berpikir kritis semua lapisan masyarakat, termasuk progresif yang merasa self-righteous (jumawa) sehingga emosinya mudah tersulut opini yang berseberangan dengan mereka, walaupun niatnya baik dalam mendukung keadilan. Dalam mata konservatif, mereka melakukan hal yang sama—walaupun mereka lupa, siapa sebenarnya yang punya kuasa. 

Sikap reaksioner begini menjadi pertanda betapa pentingnya kita dalam mencerna informasi di internet, terlepas dari apa politik kita. Malah, sikap reaksioner ini yang mungkin membuat orang-orang menjadi tidak bersimpati terhadap gerakan progresif, walaupun tujuannya sudah baik sekalipun.

Melihat setiap tindakan bersifat politis dan membela mereka yang tertindas boleh-boleh saja. Tapi ya,  kita juga harus lebih berhati-hati dalam memproses konten-konten media sosial. Minimal supaya tidak tergocek ibu-ibu kemehe berslogan ‘live, laugh, love, BELIEVE!.