Ekonomi Indonesia Kesandung Ketimpangan Internet

Internet dengan segala kemajuannya telah melahirkan sejumlah sektor ekonomi dan jenis pekerjaan baru. Internet tak lagi sekadar menjadi alat komunikasi, tapi juga berpotensi mengerek perekonomian. Pembangunan infrastruktur internet pun lebih banyak untuk menopang pertumbuhan ekonomi. 

 

Di Indonesia, pemerintah gencar membangun infrastruktur internet dalam satu dekade terakhir. Salah satunya melalui proyek Palapa Ring yang menelan biaya triliunan rupiah untuk membangun jaringan serat optik sepanjang 36.000 kilometer.

 

Penetrasi internet di Indonesia pun tercatat meningkat pesat dalam. Dari hanya 39,6 juta orang menggunakan internet pada 2012, kini jumlahnya mencapai 205 juta orang berdasarkan We Are Social Digital Report 2022. Angka mutakhir ini setara dengan 73,7% total populasi Indonesia. 

 

Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain & Company, nilai ekonomi digital Indonesia turut melonjak 49% dalam dua tahun ke belakang. Nilai ekonomi digital negeri ini diproyeksikan mencapai US$ 146 miliar pada 2025, menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. 

 

Meski demikian, penetrasi internet dan nilai ekonomi digital yang besar ternyata belum sepenuhnya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pertumbuhan ekonomi negeri ini cenderung stagnan dengan rata-rata tahunan 4,4%. Masih jauh target Presiden Jokowi untuk lepas dari jebakan pendapatan kelas menengah, yakni sebesar 7%. 

 

(Sumber: BPS dan We Are Social Digital Report 2022)


 

Menurut laporan Bank Dunia berjudul Beyond Unicorn pada 2021, peningkatan penetrasi internet Indonesia belum mampu meratakan pendapatan masyarakat. Dalam 15 tahun terakhir, rata-rata pendapatan pekerja bergelar sarjana konsisten 80% lebih tinggi dibanding yang tak tamat SD. 

 

Ketika pendapatan disandingkan dengan koefisien penetrasi internet, kesenjangan bahkan semakin terlihat. Setiap 10% peningkatan penetrasi internet di satu daerah tertentu, rata-rata pendapatan pekerja bergelar sarjana meningkat 6%. Sebaliknya, tak ada surplus pendapatan pada pekerja yang tak tamat SD.

 

Penetrasi Internet di Indonesia Belum Inklusif

 

Penyebab kondisi tersebut adalah penetrasi internet di Indonesia belum sepenuhnya inklusif. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII),  mayoritas pengguna internet di negeri ini berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas dan berpendidikan tinggi. 

 

 

 

(Sumber: APJII)

 

Hal itu tak lepas dari masih mahalnya biaya internet. Bank Dunia mencatat rata-rata harga paket  data internet mobile sebesar Rp 9.450 per gigabyte atau setara dengan 0,94 persen dari pengeluaran per kapita rumah tangga miskin.

 

Sementara, rata-rata harga jaringan internet kabel (fixed broadband) sebesar Rp 250-800 ribu termasuk biaya instalasi. Biaya ini setara dengan 1,2 kali pengeluaran per kapita rumah tangga miskin.

 

Tingkat penetrasi internet pun masih timpang di wilayah Indonesia Barat dan Timur. APJII mencatat tingkat penetrasi di Barat sebesar 77,90% dari total populasi. Sementara di Timur sebesar 68,65% dari total populasi. 

 

Bila ditilik lebih jauh, kesenjangan penetrasi internet juga masih terjadi antara di perkotaan dan pedesaan. Pada 2021, BPS mencatat 71,81% masyarakat perkotaan menggunakan internet berbanding 49,3% di pedesaan. 

 

Selain itu, penetrasi internet di antara sektor-sektor ekonomi belum merata. Merujuk penelitian SMERU, penetrasi internet masih terkonsentrasi pada sektor infokom serta jasa keuangan dan asuransi. Lebih dari 80 persen pekerja di kedua sektor tersebut menggunakan internet. Padahal, kedua sektor tersebut hanya menyumbang tak sampai 5% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. 

 

Sementara, penetrasi internet di sektor-sektor penyumbang pertumbuhan ekonomi nasional terbanyak justru minim. Misalnya, di sektor industri manufaktur yang menyumbang 19,7% terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB). Hanya 25,93% dari total pekerja sektor ini yang menggunakan internet.

 

Literasi Digital Masih Timpang 

 

Penetrasi internet saja tak cukup untuk menggerakkan ekonomi, perlu juga literasi digital yang mumpuni. Karena keduanya berkelindan satu sama lain. Literasi digital menggambarkan kecakapan seseorang memanfaatkan teknologi digital, termasuk internet.  

 

Literasi digital diukur berdasarkan empat indikator utama: kemampuan digital, etika digital, keamanan digital, dan budaya digital. Pada 2021, nilai indeks keempatnya dalam kategori sedang. Maka, secara keseluruhan status literasi digital Indonesia dalam kategori yang sedang. 

 

 

 

(Sumber: Survei Status Literasi Digital Indonesia 2021 Kemenkominfo & Katadata) 

 

Kemampuan literasi digital di antara masyarakat pun masih timpang. Berdasarkan gender, laki-laki lebih banyak memiliki literasi digital di atas rata-rata nasional ketimbang perempuan. 

 


 

Sementara berdasarkan status sosial ekonomi, masyarakat berpenghasilan menengah atas (SES A & B) cenderung memiliki literasi digital di atas rata-rata nasional dibanding orang miskin (SES C & D).

 

 



Indonesia, seperti dikatakan Kaushik Das dkk dari McKinsey dalam risetnya, memiliki jalan panjang di era digital. Punya ekosistem startup yang dinamis dan potensial meningkatkan perekonomian nasional. Namun, terganjal infrastruktur internet yang masih lemah, belum merata, dan kemampuan digital masyarakat rendah. Pada akhirnya, tak ada ekonomi yang tumbuh pesat di atas ketimpangan.