Eksperimen Sastra Joyce Menggambarkan Realitas Mental Manusia
Karya-karya James Joyce acap dikenal sebagai fiksi realis.
Namun, realisme dalam karya-karya Joyce lebih menunjukkan kenyataan mental yang kompleks.
Joyce bereksperimen dengan penciptaan kata baru dan notasi musik.
“Sebagian besar keberadaan manusia dilalui dalam keadaan yang tidak dapat diekspresikan dengan bahasa lugas, tata bahasa, dan alur cerita yang linear,” tulis James Joyce dalam suratnya kepada editornya, Harriet Weaver pada 1926 dikutip website University of Western Ontario.
Joyce terkenal gemar bereksperimen dalam karya-karyanya, menciptakan bentuk-bentuk sastra yang inovatif. Ini menjadikan Joyce salah satu figur yang menonjol dalam gerakan sastra modern. Tanggal 16 Juni dirayakan hari untuk menghormati Joyce. Para penggemar menyebutnya “Bloomsday”.
Lahir di Dublin pada 2 Februari 1882, Joyce tumbuh menyaksikan perubahan era Victoria menuju zaman modern yang ditandai perkembangan luar biasa dalam teknologi, ilmu pengetahuan, urbanisasi, industrialisasi, konsumerisme, dan peperangan. Adalah suatu privilese, tulis Virginia Woolf dalam esainya A Sketch of the Past (1939), untuk terlahir pada akhir abad ke-19.
Bahasa sudah lama menjadi minat Joyce, tepatnya ketika ia mengambil studi bahasa Prancis, Inggris, dan Italia di University College, Dublin. Ia pun mempelajari bahasa Norwegia demi membaca karya Henrik Ibsen dalam bahasa aslinya.
Pada masa Joyce berkuliah, Dublin sedang bergejolak dengan nasionalisme Irlandia. Joyce menumpahkan detail-detail peristiwa tersebut dalam 15 cerita pendek yang kemudian ia kirimkan ke penerbit pada 1905.
Bersamaan dengan itu Joyce pindah ke Italia. Di sana ia mempelajari filsafat Thomas Aquinas, metafisika Giordano Bruno, siklus Giambattista Vico, sampai mendalami permainan kata yang Dante gunakan dalam Divine Comedy. Di samping itu, Joyce juga menemukan minat pada musik. Ia pun mempelajari notasi musik. Semuanya kelak akan diimplementasikan dalam novel-novelnya.
Butuh delapan tahun bagi Joyce untuk menanti 15 cerita pendeknya diterbitkan dalam Dubliners (1914). Belum banyak eksperimen di dalamnya. Namun, suasana Kota Dublin pada saat itu Joyce gambarkan sangat detail. Ia menggunakan dua unsur yang populer kala itu, yakni realisme dan simbolisme. Realisme digunakan untuk secara kronologis untuk menuturkan kehidupan masyarakat Dublin pada awal abad ke-20, sementara itu simbolisme digunakan untuk mengekspresikan makna yang lebih dalam.
Dua tahun setelahnya terbit novel kedua Joyce, A Portrait of the Artist as a Young Man (1916). Diilhami berbagai gagasan psikologi, Joyce bereksperimen dengan gaya aliran kesadaran dan monolog interior. A Portrait of the Artist as a Young Man minim dialog eksternal dan berfokus pada isi kepala sang tokoh utama, Stephen Dedalus.
Merepresentasikan Pikiran Sadar
Dubliners dan A Portrait of the Artist as a Young Man memicu keinginan Joyce untuk lebih jauh lagi menjajaki isi dan gerak pikiran manusia. Ini nampak dalam (1922) dan Finnegans Wake (1939).
Ulysses dianggap sebagai salah satu karya sastra terbaik abad ke-20. Dalam novel tersebut Joyce menerapkan distorsi waktu, mengembangkan ide Henri Bergson mengenai perbedaan antara waktu ilmiah dan waktu subjektif.
Tindakan tokoh dalam novel setebal lebih dari 700 halaman tersebut hanya berlangsung satu hari (16 Juni 1904) dari jam delapan pagi hingga dua dini hari esoknya. Mayoritas tindakan terjadi dalam batin tokoh-tokohnya.
Joyce berinovasi menyempurnakan teknik aliran kesadaran dan monolog interior selangkah lebih maju; kalimat yang tak selesai, ketiadaan keselarasan antara subjek dan predikat, serta pengabaian tanda baca. Dengan cara itu ia menangkap berbagai kesan seperti pikiran yang terfragmentasi, keraguan, kekhawatiran, dan distorsi tiba-tiba yang membentuk kesadaran seseorang.
Dalam dalam bab 14 “Oxen of the Sun”, Joyce memperlihatkan kemahirannya dalam bahasa. Bab tersebut berisi evolusi bahasa Inggris yang dimulai dengan prosa formal Anglo-Saxon sampai bahasa Inggris kontemporer. Perkembangan bahasa dalam bab ini merefleksikan kandungan janin selama 9 bulan. Joyce juga menerapkan hasil studi musiknya pada bab 11 “Sirens”.
Karakter-karakter seperti Leopold dan Molly Bloom digambarkan dengan cara yang terasa nyata sesuai pengalaman manusia.
“Tokoh-tokoh dalam Ulysses tidak seperti tokoh fiktif, melalui mereka Joyce menunjukan penafsiran yang koheren dari kehidupan,” tulis Stuart Gilbert dalam bukunya James Joyce’s Ulysses (1958).
Setali tiga uang, psikoanalisis Carl Jung dalam ulasannya di Ulysses: A Monologue (1975) menyatakan bahwa Ulysses adalah potret alamiah kehidupan yang berlangsung tanpa makna yang dipaksakan. Ia hanya menunjukkan kehidupan apa adanya; berantakan dan indah.
Merekonstruksi Mimpi
Dalam novel terakhirnya Finnegans Wake, Joyce menaikkan level eksperimennya dengan bahasa yang lebih ekstrem.
“Tindakan dalam Ulysses terutama terjadi pada siang hari, dan tindakan dalam karya baru (Finnegans Wake) saya terjadi pada malam hari. Sudah sewajarnya hal-hal yang terjadi pada malam hari tidak begitu jelas, bukankah begitu?” tulis Joyce sebagaimana dikutip James Joyce (1982).
Para kritikus menilai Joyce mencoba menafsirkan karakter mimpi manusia yang terfragmentasi. Baginya, pikiran manusia pada malam hari seringkali lebih abstrak daripada siangnya.
Dr. Jade Wu dari Duke University dalam artikel “What a Sleep Specialist Has to Say About the Dreaminess of Finnegans Wake” mengatakan bahwa penulisan dalam Finnegans Wake sejalan dalam proses tidur. Dalam kondisi tidur otak manusia menjadi sangat aktif. Banyak hal terjadi, misalnya pelepasan hormon.
Terlepas plotnya, sajian Joyce luar biasa rumit. Novel ini pun dianggap sebagai salah satu novel tersulit yang pernah ada bahkan bagi mereka yang gemar membaca.
Joyce menunjukan potensi bahasa dalam menggambarkan hiruk pikuk pikiran manusia. Penggunaan portmanteau (kombinasi kata) menghadirkan diksi-diksi baru yang terkesan imajinatif, seperti “funferall” (Fun for all), bisexcycle (Bicycle for sex), shakehisbeard (shakespeare), frightday (friday), dan shatterday (saturday). Beberapa kalimat terlihat asing. Dalam salah satu halamannya ia memelintir kalimat seperti "Hereweareagain" kalimat bahasa Inggris yang digabungkan menjadi satu kata, merefleksikan cepatnya pikiran bergerak.
Lebih dari 40 bahasa Joyce gunakan dalam Finnegans Wake sehingga menciptakan banyak permainan kata. Jadilah teks yang rumit, kaya metafora dan pergeseran makna.
Misalnya “vlossyhair”. “Vlossy” merupakan plesetan dari bahasa Polandia "włosy” yang artinya rambut. Ia juga menggunakan frasa “a bad of wind” dengan "bâd" sebagai kata dalam bahasa Turki yang berarti angin. Istilah "quark" yang digunakan dalam fisika untuk partikel elementer terinspirasi dari permainan kata berirama Joyce “three quarks for Muster Mark!”
Kata “petir” merupakan permainan yang paling terkenal, terdiri dari 100 kata tanpa spasi yang tersusun dari potongan kata berbagai bahasa untuk menyerupai suara petir.
Sebagian ebooks menambahkan kamus untuk membantu pembaca memahami apa yang Joyce maksudkan.
Teman dan keluarga Joyce sendiri menilai novel ini sangatlah buruk dan tak layak baca.
“Saya tidak bisa melihat sesuatu yang berharga di dalamnya, kerumitan teks tersebut tak dapat dibenarkan kecuali kecuali teks tersebut luar biasa seperti ilham ilahi atau obat baru untuk penyakit tertentu,” tulis Ezra Pound kepada Joyce.
Meskipun mendapat banyak ulasan negatif, penggunaan konsep siklus dari Giambatista Vico menjadikan novel ini dianggap pendobrak sastra kala itu. Ia tak memiliki akhir. Novel diakhiri dengan paragraf pertama dari kalimat pertama sehingga menciptakan struktur melingkar.
Klub buku di California menghabiskan 28 tahun untuk membahas Finnegans Wake.
Joyce tutup usia pada 13 Januari 1941. Selama hidup, tak banyak karyanya yang terbit. Namun, gaya penulisan Joyce menginspirasi berbagai gerakan literasi setelahnya.
Sean Latham dalam esai “Twenty first Century critical context” memperkirakan ada lebih dari 15,000 pembahasan mengenai karya-karya Joyce dalam berbagai bentuk.