Eksploitasi di Balik Meroketnya Popularitas Sepak Bola Perempuan

Eksploitasi di Balik Meroketnya Popularitas Sepak Bola Perempuan
Yoga Cholandha
Jalannya masih panjang, waktu yang harus ditempuh masih sangat lama, tetapi para pesepak bola perempuan sudah berada dalam trek yang tepat untuk menuju superstardom (kemegabintangan). Salah satu buktinya bisa dilihat di Emirates Stadium, 1 Mei 2023 silam.
Hari itu, Arsenal Women menjamu Wolfsburg Frauen dalam partai semifinal Liga Champions Perempuan (UWCL) 2022/23 leg kedua. Arsenal memang kalah 2-3 dari Wolfsburg dan pada akhirnya gagal melenggang ke final. Meski begitu, sejarah berhasil mereka ciptakan.
Pertandingan tersebut disaksikan 60.063 orang dan ini adalah rekor penonton terbanyak pertandingan sepak bola perempuan di Britania Raya. Angka ini sekaligus memecahkan rekor yang sebelumnya juga dicatatkan Arsenal Women dalam Derbi London Utara menghadapi Tottenham Hotspur yang ditonton langsung 47.367 pasang mata.
Dengan demikian, Arsenal Women musim ini sukses menjual 240 ribu lembar tiket tiap kali menggelar pertandingan di Emirates Stadium. Jika dirata-rata, dalam satu pertandingannya, juara Inggris 15 kali tersebut sanggup menjual 30 ribu lembar tiket.
Untuk ukuran sepak bola perempuan, itu angka fenomenal. Apalagi jika kita melihat di mana posisi mereka sepuluh tahun lalu. Sebagai perbandingan, pada 2013, juga dalam pertandingan semifinal Liga Champions Perempuan menghadapi Wolfsburg, laga Arsenal Women—yang kala itu masih bernama Arsenal Ladies—cuma disaksikan 1.406 orang. Dan tentu saja, waktu itu bermain di Emirates Stadium adalah hal mustahil bagi tim perempuan Arsenal.
Apa yang dicapai Arsenal Women itu hanyalah satu dari sekian banyak gejala demam sepak bola perempuan. Suka tidak suka, "cabang" sepak bola yang senantiasa dianaktirikan ini sedang menapaki jalan menuju popularitas level arus utama.
Bukti lain bisa disaksikan di video game FIFA 23. Electronic Arts (EA) selaku pengembang game tersebut memang sudah cukup lama memasukkan sepak bola perempuan. Namun baru dalam edisi ini pertandingan sepak bola perempuan level klub bisa dimainkan.
Tak tanggung-tanggung, EA memasukkan dua kompetisi klub sekaligus, yaitu Women's Super League (WSL) Inggris dan Division 1 Feminine Prancis. Belakangan, dalam pembaruan termutakhirnya, EA juga memasukkan kompetisi National Women's Soccer League (NWSL) Amerika Serikat serta Liga Champions Perempuan ke dalam game.
Dari situ, semakin kuatlah klaim bahwa sepak bola perempuan memang sedang bangkit, dan dalam kondisi serbamenyenangkan seperti inilah Piala Dunia Perempuan edisi kesembilan bakal dihelat di Australia dan Selandia Baru, akhir Juli 2023 mendatang.
Sayangnya, di balik segala kabar menggembirakan tentang sepak bola perempuan itu, tersimpan sebuah persoalan besar yang sampai sekarang belum kunjung diatasi, terutama oleh para administrator. Persoalan besar itu adalah kurangnya iktikad baik.
Sejak pertama kali dihelat pada 1991, pamor sepak bola perempuan terus mengalami peningkatan. Bahkan, pada turnamen edisi 2019 lalu, FIFA mencatat ada setidaknya 1,12 miliar orang di seluruh dunia yang menyaksikan Lieke Martens, Marta Viera, Christine Sinclair, Cristiana Girelli, dll. berlaga. Diperkirakan, pada Piala Dunia tahun ini, jumlah penonton bakal naik jadi 2 miliar orang.
Akan tetapi, bisa dijamin, kualitas Piala Dunia Perempuan 2023 nanti tidak akan sebagus yang semestinya. Sebab, sampai tulisan ini dibuat saja, sudah ada enam pemain bintang dari berbagai negara yang dipastikan absen. Mereka adalah Alexia Putellas dari Spanyol, Vivianne Astrid Miedema dari Belanda, serta trio Inggris, Leah Williamson, Fran Kirby, dan Beth Mead.
Keenam pemain di atas harus absen karena cedera yang sama, yakni cedera anterior cruciate ligament (ACL). Bagi atlet perempuan, cedera satu ini memang menjadi momok yang amat menakutkan karena, secara fisiologis, perempuan tiga kali lebih rentan mengalami cedera tersebut ketimbang laki-laki.
Sudah begitu, para pesepak bola perempuan mesti menghadapi dua kondisi lain yang membuat kans cedera mereka meningkat drastis. Yakni jadwal super padat dan sumber daya yang masih jauh tertinggal ketimbang yang biasa ditemukan di sepak bola laki-laki. Di sinilah kurangnya iktikad baik itu terlihat jelas.
Dalam kolomnya untuk laman AD Sportwereld, Miedema secara tegas menyatakan bahwa para pesepak bola zaman sekarang—tak cuma perempuan—memainkan terlalu banyak pertandingan. Miedema juga menuding inilah yang membuat pemain-pemain macam Karim Benzema, N'Golo Kante, dan Sadio Mane mesti absen di Piala Dunia Qatar 2022 lalu.
Bahwa para pesepakbola, khususnya yang berada di level top dunia, terlalu banyak bermain dalam semusim, itu sudah menjadi kekhawatiran cukup lama. Akan tetapi, di sepak bola perempuan, seiring dengan meningkatnya popularitas "cabang" ini, para administrator (baca: FIFA, UEFA, dan organisasi-organisasi sejenisnya) pun latah.
Mulai musim ini, misalnya, Liga Champions Perempuan mulai memperkenalkan fase grup. Lalu, kompetisi miskin substansi Nations League juga tak ketinggalan digelar oleh UEFA. Sementara itu, Piala Dunia Perempuan sendiri, mulai tahun ini, bakal melibatkan 32 tim (sebelumnya 24). Ini semua berarti, secara tiba-tiba, para pesepak bola perempuan level top dipaksa bermain jauh lebih sering daripada sebelumnya.
Para pesepakbola laki-laki yang sudah mendapatkan fasilitas terbaik saja kewalahan menghadapi jadwal super padat yang ada. Dan sekarang, para pesepakbola perempuan yang masih kerap harus menjalani semua dengan fasilitas seadanya pun dipaksa menjalani hal yang sama.
Perubahan tak pada tempatnya ini dikritik keras oleh penggawa Tim Nasional Kanada, Janine Beckie, yang naga-naganya juga bakal absen di Piala Dunia. "Kalian mengubah jadwal kami supaya mirip sepak bola laki-laki tetapi kalian tidak memberikan kami, para perempuan, sumber daya yang sama," ucap Beckie, dikutip dari Reuters.
Ketimpangan sepak bola laki-laki dan perempuan memang bukan cerita baru. Bahkan, di klub sekelas Manchester United sekalipun ketimpangan itu dirasakan betul oleh para pemain perempuan. Faktor inilah yang, salah satunya, membuat Casey Stoney—manajer pertama Manchester United Women—angkat kaki.
Jelang kepergiannya dari Manchester United Women, Stoney berulang kali mengkritik fasilitas latihan yang disediakan "Iblis Merah" untuk para pemain perempuannya. Bahkan, untuk ganti pakaian pun para pemain perempuan itu mesti menggunakan kamar kecil portabel!
Dari sini, perlu ada penyeimbangan antara ambisi memajukan sepak bola perempuan dan upaya yang dikeluarkan untuk mewujudkannya. Boleh dibilang, sampai sekarang, para administrator sepak bola hanya memanfaatkan aji mumpung untuk mengeruk rente sembari mengeksploitasi tubuh para atlet. Padahal, jelas-jelas, aktor terpenting di balik melejitnya popularitas sepak bola perempuan adalah para pemain itu sendiri.
Setidak-tidaknya, mereka yang bertanggung jawab atas perkembangan sepak bola perempuan mesti mulai memberikan yang terbaik bagi para atlet, mulai dari fasilitas berlatih, layanan kesehatan, sampai studi-studi untuk mengoptimalkan performa sekaligus meminimalisir risiko cedera.
It takes money to make money, begitu kata orang. Artinya, seseorang mesti mengorbankan sesuatu untuk mencapai apa yang dia inginkan. Sepak bola perempuan punya potensi pasar yang luar biasa. Di kemudian hari, gap profit yang bisa didapat antara sepak bola laki-laki dan perempuan pasti akan menipis. Akan tetapi, tanpa pengorbanan yang cukup, tujuan itu takkan pernah tercapai.