Obrolan mengenai isu feminisme di skena bukan menjadi hal yang asing, seiring dengan semakin maraknya poster-poster A3 dengan tulisan anti seksisme dan homofobia bertema ruang aman bersama pada sudut-sudut lokasi gig bawah tanah. Bahkan, saya jamin tulisan mengenai perempuan dan transpuan dalam skena musik akan sangat mudah kalian temukan pada mesin telusur hingga zine-zine gratisan yang bertebaran. Sisi toksik maskulin yang tak kentara, setidaknya dalam jarak pandang saya.
Jika saya merunut band-band dengan personil perempuan, tentu tak akan cukup dalam satu artikel serta pengetahuan saya. Terlebih perempuan di skena ini juga banyak saya temui dengan figur penikmat, jurnalis, fotografer, rekayasawan audio, pramuvideo, dan banyak lainnya sebagai sosok di balik layar sebuah band. Sebagai seorang perempuan, hal ini tentu menjadi angin segar bagi saya. Skena menjadi tempat yang lebih inklusif.
Seiring dengan perkembangan zaman – yang semoga saja – tak lagi maskulin, keadaan yang saya kira sudah jauh lebih membaik karena moshpit tidak melulu diisi dengan abang-abang berkaus Morfem atau Teenage Death Star. Tapi, sebagaimana sebuah utopia yang terlalu melenakan, hingga saya tak habis pikir ada manusia yang masih bertingkah konyol mengobjektifikasi manusia lainnya.
Sekitar tahun 2021, saya mendatangi sebuah gig kecil yang cukup padat. Pada gig tersebut, saya berjumpa dengan kawan-kawan yang tentunya tak hanya lelaki. Sembari menunggu band selanjutnya main, seorang yang dipercaya sebagai MC menawarkan perempuan-perempuan di gig tersebut untuk diajak kencan. Belum turun kernyitan di dahi saya, kemudian dia memberikan label pada perempuan di sana sebagai “Candy” atau singkatan dari “Cewek Indie”. Sudah dipastikan saya tak lagi menikmati malam itu, meskipun deretan band yang main memiliki daftar lagu yang sering saya putar.
Sialnya lagi, kehadiran band-band dengan personil perempuan ini juga tidak luput dari cangkeman mas-mas skena seksis. Kalian mungkin pernah mendengar celetukan bahwa perempuan dalam band hanya sebagai eye candy. Pemanis dan tanpa kemampuan.
Sampai ada sebuah artikel yang membuat testimoni atas beberapa personil perempuan tentang seberapa mampu dan pantas mereka untuk ada di band tersebut.
Ancen lanangan lambe gatel. Begitu pikir saya.
Tak hanya perasaan sedih dan marah yang muncul ketika membaca tulisan tersebut. Saya jadi bertanya-tanya, kenapa kami, perempuan, harus repot-repot mendapatkan validasi dari kalian, wahai lelaki?
Sepertinya saya tak perlu muluk-muluk untuk membahas sisi perempuan sebagai subjek melalui kacamata feminisme atau idealisme lainnya. Kalau saja logika kita berjalan dengan baik, tentu tak akan repot-repot untuk mengobjektifikasi manusia lainnya.
Band keren atau jelek tentu perkara preferensi personal. Pun tak boleh ada yang mempermasalahkan selera saya tentang sound yang busuk. Tapi, ketika dikaitkan dengan gender dari personilnya akan menjadi hal yang mutlak aneh bin nyeleneh. Seumur-umur, saya belum pernah membaca rentetan tulisan bagaimana seseorang mencoba menunjukkan kemampuan mereka dalam bermain musik sebagai lelaki.
Saya tak akan ambil pusing ketika ada yang mengomentari suara saya jelek di The Caroline’s. Jujur saja, suara saya jelek karena saya tak pandai bernyanyi dengan teknik olah suara, bukan karena saya seorang perempuan. Saya juga tidak merasa harus bisa falsetto untuk mengisi suara di sebuah band twee pop abal-abal. Teman-teman saya di The Caroline’s juga tampak tidak membahas seberapa jelek suara saya di band. Toh, awal kami membuat band ini atas nama kesenangan dan pertemanan. Ini mungkin terdengar seperti curhatan marah-marah yang panjang. Namun, saya juga tidak ingin terus-terusan dipertanyakan.
“Eh, gimana caranya personil perempuan bisa membuat karya di band ya?”
Sebuah pertanyaan yang benar-benar dilontarkan kepada saya beberapa waktu lalu. Saya yakin dia tidak bermaksud bersikap seksis. Mungkin dia hanya penasaran karena sudah lama tertimbun dan tidak muncul ke permukaan. Saya menjawab ngeband ya ngeband saja. Tidak ada yang membedakan saya, sebagai perempuan, dengan gender lainnya untuk bernyanyi. Kita sama-sama membuka mulut dan mengeluarkan suara. Tulis lirik ya tulis saja pakai tangan.
Apakah personil perempuan kalau memetik gitar dan membetot bass tidak pakai jari? Atau jangan-jangan ada yang berpikir kalau personil perempuan menginjak pedal efek menggunakan khodam?
Baik perempuan atau lelaki yang memiliki band juga melakukan hal yang sama. Dengan senang hati menulis lirik, membuat musik, dan datang ke studio untuk mengulik. Sama-sama melakukannya atas dasar kesenangan.
And just let us be.
Maka dari itu, saran saya, biasa saja kalau melihat perempuan di gig yang kalian datangi. Kami hanya ingin bersenang-senang dan tak ada urusan untuk jadi pemanis di matamu, cok!