Fallout (2024)
Saya masih ingat rasa kekecewaan saya setelah menonton Super Mario Bros. (1993) untuk pertama kali. Saat itu saya masih duduk di bangku SD. Di umur segitu tidak ada dua hal yang lebih saya gemari dari bermain video gim dan menonton film/televisi. Ketika saya tahu bahwa ada adaptasi film Mario Bros, salah satu gim kesukaan saya, jelas saya girang bukan main.Setelah DVD itu masuk ke pemutar DVD, mata saya langsung lekat menempel ke layar. Saya memulai film dengan ekspresi bodoh-girang ala kartun. 1 jam 44 menit kemudian, alih-alih merasa senang saya malah merasa dibodohi. Ceritanya acakadut. Penggambaran dunia Mario sebagai distopia dan pembawaan yang edgy berbeda drastis dari gimnya. Kekecewaan yang saya rasakan jauh lebih membekas di ingatan daripada apapun yang ada di filmnya.
Beberapa tahun kemudian saya jadi tahu bahwa ini ternyata bukan sentimen saya saja. Super Mario Bros. memang dianggap sebagai salah satu film terburuk sepanjang masa. Lebih dari itu, Super Mario Bros. juga menandakan suatu sentimen yang mendominasi kalangan penonton film untuk lumayan lama: film-film Hollywood yang dibuat berdasarkan video gim cenderung jelek. Media sering menyebut reputasi ini sebagai ‘the video gim curse.’ Dari tahun 90-an sampai 2010-an, adaptasi gim seringkali mengalami kegagalan di layar lebar, baik dari segi pendapatan atau tanggapan khalayak maupun kritikus. Sebut saja adaptasi filmnya Assassin’s Creed, Hitman, Silent Hill, Tekken, Prince of Persia, atau Street Fighter. Para pemain gim tidak menyukai film-film tersebut karena terlalu melenceng dari sumber materi; para penonton film tidak menyukai film-film tersebut karena filmnya jelek.
Namun stigma ini perlahan mulai melunak. Semakin banyak adaptasi video gim yang ditanggapi dengan baik dari khalayak dan kritikus. Biasanya akan muncul headline mengatakan bahwa filmnya berhasil mengangkat ‘kutukan’ itu, atau setidaknya membahas soal kutukan tersebut. Tahun lalu, kesuksesan dari serial The Last of Us (2023) menuai banyak sanjungan dari publikasi-publikasi media sebagai adaptasi gim yang luar biasa. The Last of Us memang suatu gim yang mengandalkan naratif kuat dan worldbuilding kreatif, dua hal yang gampang diterjemahkan ke layar kaca. Karena alasan yang sama, saya sama sekali tidak terkejut ketika tahu Fallout akan diadaptasi menjadi serial televisi.
***
Sebagai perkenalan, Fallout adalah serial gim pasca-apokaliptik berlatar di Amerika Serikat ratusan tahun setelah suatu perang nuklir dahsyat. Sepanjang perjalanan, karakter yang Anda mainkan akan berpetualang di dunia penuh makhluk-makhluk mematikan, radiasi nuklir berbahaya, dan masyarakat-masyarakat yang yang lahir dari peristiwa luar biasa itu. Dalam dunia yang telah hancur lebur, karakter Anda bisa berupaya untuk selalu membantu orang-orang di sekitar atau sebaliknya, sengaja membuat dunia semakin buruk. Perpaduan antara penulisan, worldbuilding, 1001 cara menyelesaikan masalah, dan elemen humor gelap membuat Fallout dicintai oleh banyak orang, termasuk saya.
Aspek terunik dari dunia Fallout adalah bagaimana kultur dunia masih tertahan di Amerika tahun 1950an. Unik karena bom nuklirnya meledak tahun 2077. Busana, gaya rambut, kata slang, dan musik semua berestetika seperti era tersebut. Bahkan estetika teknologi seperti robot-robot canggih dan senjata laser merujuk langsung kepada ilustrasi-ilustrasi majalah dan film-film fiksi-ilmiah klasik. Semua ini digambarkan dalam prolog episode pertama. Perang Dingin antara kapitalisme dan komunisme juga terjadi di semesta ini. Bedanya, dunia dipimpin oleh RRT dan perang bereskalasi menjadi perang nuklir maha dahsyat. Menggunakan alat naratif ini, penulisan Fallout sering melakukan satir terhadap jingoisme Amerika dan paranoia era McCarthy terhadap komunisme, menggambarkan Amerika Serikat pra-Perang sebagai negara yang ‘gila’.
Singkat kata, serial Fallout jauh melampaui ekspektasi saya. Dari latar suasana, desain produksi, dan gaya penulisan terasa diangkat langsung dari gimnya. Hanya dalam beberapa episode, penonton yang sama sekali belum pernah menyentuh gimnya sudah langsung bisa menangkap dunianya seperti apa, dari komunitas-komunitas vault bawah tanah, faksi-faksi besar seperti The Brotherhood of Steel, sampai berbagai jenis makhluk mutan berbahaya. Elemen humor dan satir khas Fallout pun juga tidak terlupakan oleh para penulis naskah. Semua aspek sinematografi, desain audio, dan segala efek visual melebur menjadi salah satu adaptasi gim paling akurat yang pernah saya tonton.
Seperti series Cyberpunk: Edgerunners (2022), Fallout melakukan hal yang lumayan baru dibandingkan adaptasi-adaptasi gim lainnya. Alih-alih mengadaptasi cerita langsung dari sumber materi, Fallout menyajikan cerita baru yang masih tersambung ke cerita utama Fallout. Berlatar di tahun 2297, serial ini menceritakan tentang Lucy (Ella Purnell), seorang penghuni Vault 33. Vault 33 adalah satu dari sekian vault yang ada di semesta ini.
Kontrol populasi para warga diatur oleh sistem vault untuk menghindari kecacatan dan perkawinan sedarah. Seumur hidup, dia dan ayahnya (Kyle MacLachlan) tinggal di dalam vault bawah tanah bersama keluarga-keluarga lain. Untuk ratusan tahun, para penghuni vault menjalani kehidupan yang aman, damai, dan terlindung. Namun pada suatu hari itu semua berubah. Pada hari pernikahan Lucy, vault mereka diserang oleh sekelompok orang misterius yang kemudian menculik ayahnya. Setelah melawan serangan tersebut, Lucy mengambil suatu keputusan dramatis. Hanya dengan persediaan ala kadarnya, ia membulatkan tekad untuk kabur ke dunia luar untuk mencari ayahnya, sekaligus mencari tahu alasan penculikannya.
Hal yang paling saya sukai dari series ini adalah dunia Fallout benar benar digambarkan sebagai dunia yang mengerikan dan penuh bahaya. Tokoh utama sudah bukan lagi tokoh gim yang memiliki banyak sekali senjata dan mampu menebas ratusan musuh. Lucy tidak tahu apa-apa tentang dunia di luar tempurungnya. Selayaknya seorang penghuni vault, ia berwatak polos dan dididik agar memegang nilai-nilai seperti keadilan, sopan santun, dan pentingnya berbuat baik. Kepribadiannya terus menerus bertentangan dengan betapa kejamnya dunia di atas tanah (Wasteland). “Kau datang dari dunia dengan aturan dan hukum. Tempat ini berbeda dari semua itu,” ujar salah satu tokoh ke Lucy. Semakin beriring waktu, semakin dia belajar untuk menyesuaikan diri dengan dunia anjing makan anjing.
Orang-orang di Wasteland saling mengkhianati, saling membunuh, dan bahkan memakan satu sama lain demi bertahan hidup. Tidak ada tokoh yang lebih menggambarkan ini dari The Ghoul (Walton Goggins). Ia adalah seorang ghoul, istilah dalam dunia Fallout untuk manusia yang sel-selnya telah terhancur oleh radiasi sampai mereka terlihat seperti zombie. Tapi radiasi ini pula yang membuat mereka bisa hidup sampai ratusan tahun. Seperti banyak ghoul di gimnya, The Ghoul sudah hidup sebelum perang nuklir. Lebih dari dua ratus tahun hidup di Wasteland telah mengubahnya menjadi sosok yang kejam. Kekejamannya membuatnya menjadi salah satu individu paling berbahaya di Wasteland. Tentunya ini bertentangan dengan Lucy. Dinamika antara mereka berdua—idealisme dan sinisme—adalah salah satu bagian terkuat dari penulisan serial ini.
Saya yakin banyak yang akan setuju jika saya mengatakan The Ghoul termasuk salah satu elemen terbaik dari serial ini. Walton Goggins membawa peran ini dengan kharisma luar biasa. Dalam adegan flashback ke masa sebelum perang nuklir, kita disuguhkan penggalan-penggalan masa lalu sang ghoul sebagai aktor Hollywood. Hal-hal seperti ini yang membuat The Ghoul menjadi karakter dengan penokohan terkuat. Karakternya begitu kuat sampai saya merasa ia membayangi karakter-karakter lain. Ini bukan berarti penampilan pemeran-pemeran lain kurang, hanya saja Goggins memainkan perannya dengan terlalu baik.
Tokoh utama ketiga, Maximus (Aaron Moten) adalah perkenalan kita kepada The Brotherhood of Steel, salah satu faksi terbesar dan terkuat. Mereka mengikuti struktur sosial berdasarkan feodalisme abad pertengahan dan fanatisme terhadap teknologi-teknologi canggih. Merekalah pemilik baju-baju zirah besar nan canggih yang sering muncul di dalam poster-poster series ini. Walau terlihat menyeramkan, karakternya kurang lebih berfungsi sebagai comic relief. Ia selalu ingin menjadi pahlawan, tapi malah seringkali bertingkah egois atau bodoh. Dinamika dia dan tokoh-tokoh lain seperti Lucy yang mendorong unsur komedis dari cerita. Tapi tetap saja, peran karakter dia hanya sebatas itu saja.
Tanpa masuk ke ranah spoiler, cerita utama justru adalah bagian yang menurut saya paling lemah. Series ini baru benar benar terasa ‘Fallout’-nya ketika para tokoh utama berpetualang melakukan hal-hal sampingan, seperti masuk ke vault-vault lainnya atau berinteraksi dengan individu-individu Wasteland yang selalu berwarna dan mengesankan. Persis seperti gimnya, cerita justru malah lebih seru ketika tidak fokus kepada cerita utama. Alasannya karena cerita utama series ini terasa sangat Hollywood. Setap twist--nya terlalu gampang ditebak. Penulisan klimaks cerita lebih terasa seperti film blockbuster klise alih-alih penulisan gim Fallout yang selalu inventif dalam merancang suatu konflik seperti Fallout 1, 2, atau New Vegas.
Rasa ‘Hollywood’ ini juga terasa di ketiadaan ambiguitas moral. Dengan gampang penonton bisa memilah tokoh mana yang ‘baik’ dan tokoh mana yang ‘jahat’. Padahal salah satu hal yang membuat penulisan Fallout unggul adalah dilema-dilema moralnya. Dalam New Vegas, misalnya, tidak ada akhiran yang ‘terbaik.’ Kita hanya memilih faksi mana yang kita ingin berkuasa dan setiap akhir pasti punya kekurangan. Tidak ada yang hitam putih karena semuanya punya dilemanya sendiri.
Jenis ending seperti ini, yang memaksa kita sebagai pemain memikirkan masak-masak pilihan kita, yang membuat Fallout unik. Saking uniknya sampai sekarang masih ada perdebatan-perdebatan panas te ntang mana ending terbaik untuk New Vegas yang keluarnya 14 tahun yang lalu. Aspek itu, yang bagi saya termasuk salah satu dimensi terpenting dari Fallout, sayangnya tidak terwujud dalam series ini.
***
Cerita series Fallout masih jauh dari selesai. Masih akan ada season kedua yang keluarnya entah kapan. Saya rasa tidak adil untuk memberikan nilai pasti untuk serial yang bahkan belum selesai. Meski begitu, saya yakin bahwa Fallout adalah salah satu adaptasi gim terbaik yang pernah saya tonton. Salah satu skeptisisme utama saya, yaitu persoalan estetika dan penulisan Fallout, ternyata terbukti salah. Dua aspek tadi berhasil diterjemahkan oleh Amazon ke layar kaca. Senang dan lega? Jelas!
Dunia yang dibangun dan karakter-karakter unik di dalamnya, yang penuh percikan darah, lendir, dan bau busuk, sudah berhasil memikat tidak hanya penggemar gimnya, tapi juga penonton awam. Adaptasi buruk seperti Super Mario Bros sudah menjadi masa lalu yang asing. Setelah berdekade lamanya, langit menjawab doa para gamers—kutukan adaptasi sudah diangkat, digantikan oleh Fallout (2024) yang menjadi standar baru untuk adaptasi gim selanjutnya.