Femisida: Ancaman yang Dihadapi Perempuan

Lidya Burhan Kartolo seorang mahasiswi Universitas Kristen Petra ditikam oleh seorang laki-laki di dalam kamar mandi yang berada di Gedung P kampusnya pada 2003. Semua saksi hanya melongo dan ketakutan menyaksikan seorang pria bertopi keluar dari dalam kamar mandi bersimbah darah pergi melarikan diri.

Si pelaku adalah Bambang Suryo, seorang cleaning service di kampus tersebut. Setelah menghabisi nyawa Lidia, Bambang turun menggunakan eskalator untuk menemui Erwin Jaya Saputra, bekas kekasih Lidia untuk mengambil uang yang dijanjikan sebesar Rp500 ribu. Butuh waktu sembilan bulan bagi polisi untuk mengungkap kejahatan tersebut karena minimnya bukti.

Erwin melakukan pembunuhan berencana tersebut lantaran tak suka dengan korban setelah putus. Erwin dijatuhi vonis delapan tahun penjara oleh majelis hakim. Namun ia tidak ditahan karena keluarganya meminta untuk Erwin menjadi tahanan kota dengan jaminan uang Rp25 juta.

Kasus di atas adalah contoh dari femisida yang merupakan pembunuhan yang dilakukan kepada perempuan karena mereka adalah perempuan. Menurut penjabaran yang diberikan WHO dalam artikel bertajuk Understanding and Addressing Violence Against Women, Femisida, juga dikenal sebagai feminisida, adalah bentuk paling ekstrem dari kekerasan berbasis gender (GBV).

Pembunuhan terhadap Perempuan, Nyata?

Ada banyak kasus femisida yang bisa kita temukan. Di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kenaikan kasus selama rentang tahun 2018-2020. Pada  2018 terdapat 730 kasus, tahun 2019 sebanyak 1.184 kasus dan sampai Oktober 2020 tercatat 1.156 kasus.

Femisida berbeda dari pembunuhan biasa karena dalam femisida bisa ditemukan adanya aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi. Tidak seperti kematian akibat pembunuhan sebagaimana umumnya, femisida merupakan produk budaya patriarkis dan misoginis. Femisida bisa terjadi baik di ranah privat, komunitas, maupun negara.

Mengejutkannya, Komnas Perempuan menyebutkan bahwa sebagian besar femisida terjadi di ranah rumah tangga atau lingkup personal di dalam relasi keluarga, perkawinan, atau pacaran. Relasi yang sering dianggap sebagai ruang aman bagi korban di mana korban berelasi dengan orang yang paling dekat dan ia percayai.

Komnas Perempuan merilis pernyataan bahwa lima peringkat teratas untuk relasi pelaku dengan korbannya yaitu suami (48 kasus), relasi pertemanan (19 kasus), relasi pacaran (13 kasus), kerabat dekat (7 kasus), dan belum diketahui (21 kasus).

Satu suara dengan Komnas Perempuan, data World Health Organization (WHO) juga menunjukkan hal yang sama. Mereka menemukan bahwa pembunuhan perempuan sering terjadi di dalam relasi hubungan yang dilakukan oleh pasangannya maupun bekas pasangannya. Temuan awal dari WHO dan London School of Hygiene and Tropical Medicine menunjukkan bahwa lebih dari 35% dari femisida secara global dilaporkan terjadi oleh pasangan intim. 

Adakah Ruang Aman bagi Perempuan?

Meskipun perempuan sudah melepaskan diri dari pasangan yang menyakitinya. Komnas Perempuan melihat bahwa kekerasan tidak berhenti bahkan setelah mereka berpisah. Ada pola yang yang dilakukan oleh mantan suami terhadap mantan istrinya bahkan ketika hubungan suami-istri berakhir. Alih-alih berhenti, kekerasan hanya beralih ke bentuk baru yang disebut sebagai post-separation abuse’ atau KDRT yang dapat menyebabkan kematian korban.

Seperti yang terjadi kepada UK (inisial korban) di Soppeng, Sulawesi Selatan. US (inisial pelaku) menikam korban yang sedang tidur bersama anaknya. Pelaku datang dan menikam korban pada bagian leher, dada, perut, lengan kiri, punggung lantaran merasa cemburu.

Tidak seperti kasus pembunuhan terhadap perempuan, kasus perempuan yang membunuh laki-laki (pasangannya) seringkali dilakukan untuk membela diri dari kekerasan dan intimidasi yang terus berlangsung. Menggunakan data dari Statistics Canada’s Homicide Survey, penelitian menunjukkan bahwa perempuan membunuh akibat dari pertengkaran, sedangkan laki-laki cenderung memiliki motivasi kecemburuan untuk membunuh.

Pembunuhan yang terjadi di ruang privat yang terjadi kepada perempuan juga tidak hanya dilakukan oleh pasangan saja. Di rumah, perempuan juga dibunuh dengan dalih menyelamatkan kehormatan diri dan keluarga (honour killing) karena dianggap sudah merusak harkat martabat keluarga termasuk karena hubungan seksual atau kehamilan di luar pernikahan, atau bahkan karena diperkosa. Jika perempuan tidak aman di ranah privat, di dalam rumah, lalu ke mana lagi perempuan bisa mendapatkan keamanan?

Ragam Rupa Laki-laki Membunuh

Banyak femisida terjadi karena laki-laki mengalami penolakan. Pada Juni Naira Ashraf, seorang mahasiswi di Mesir ditikam hingga tewas di ruang publik karena menolak lamaran seorang laki-laki. Empat hari kemudian di dekat Yordania Iman Irshaid ditembak di depan kampusnya karena hal yang sama.

Seperti kasus di atas, seorang ibu tunggal di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat bernama Wiwin Sunengsih juga mati bersimbah darah di depan rumahnya karena menolak ajakan menikah. Mereka adalah perempuan yang mati di tangan laki-laki yang rapuh.

Bagi pelaku, mudah untuk melenyapkan mereka seakan mereka tidak memiliki kehidupan yang berarti. Tidak memiliki teman, keluarga, juga cita-cita. Ada banyak faktor laki-laki untuk tega menghilangkan nyawa perempuan, antara lain karena mendapatkan penolakan dan merasa maskulinitasnya direndahkan.

Selain itu ada juga pembunuhan yang terjadi karena cemburu, upaya menghindari tanggung jawab materiil, konflik dalam rumah tangga dan tidak mau dicerai, perlawanan saat diperkosa, dan seterusnya. Banyak dari kasus femisida juga terjadi saat laki-laki marah karena didesak bertanggung jawab atas kehamilan. Di berbagai negara, ada peningkatan kasus kekerasan kematian terhadap ibu hamil.

Risiko femisida juga muncul karena tidak dijalankannya perintah pelindungan dari pengadilan terhadap korban, padahal korban sudah mengadukan ancaman terhadap dirinya. Inilah alasan mengapa korban memerlukan bantuan yang besar dari berbagai pihak bahkan peran negara untuk dapat terbebas dari kekerasan.

Pelucutan Harkat Martabat Perempuan

Komnas Perempuan mengatakan bahwa perempuan tidak hanya dibunuh, banyak dari perempuan korban femisida juga mengalami sadisme berlapis. Perempuan dianiaya, dimutilasi, dibakar, diperkosa sebelum dan/atau setelah tewas, dirusak wajah atau organ seksual, sampai kepada ditelanjangi. Dilihat dari perspektif kekerasan berbasis gender Komnas Perempuan memasukkan penelanjangan korban yang telah menjadi mayat sebagai bentuk tindak pelucutan martabat korban.

Sri Kemala Dewi (inisial korban) adalah salah satu korban dari pelucutan martabat. Mayatnya ditemukan dalam keadaan tanpa busana di kebun tebu setelah tiga hari terakhir ia menghilang. Dukun Ahmad Suradji membunuhnya karena mengaku ini adalah bagian dari praktik perdukunan untuk mendapatkan kekuatan. Sebelum membunuh, ia juga melakukan ritual-ritual menjijikan kepada korbannya.

Kasus keji ini sangat menggemparkan tidak hanya pada zamannya, tetapi juga hingga kini. Selama 11 tahun (1986-1997) Ahmad Suradji telah membunuh 42 perempuan dibantu oleh salah satu dari ketiga istrinya. Berkedok ilmu perdukunan untuk melancarkan aksinya, Ahmad Suradji mengatakan bahwa ia harus menumbalkan 72 nyawa perempuan.

Kasus pembunuhan berantai memang seringkali memakan korban perempuan. Dianggap sasaran empuk, perempuan dianggap rapuh ketika sendirian seringkali dikuntit (stalking) terlebih dahulu oleh pelaku sebelum dibunuh.

Pembunuhan terhadap perempuan tidak hanya dilihat sebagai matinya seseorang akibat pembunuhan. Pelaku tidak hanya membunuh orang tersebut tetapi juga menginjak-injak perempuan secara keseluruhan. Pelaku bukan hanya menghilangkan nyawa korbannya, tetapi berusaha menghancurkan perempuan sebagai gender.