Gambar-Gambar Ganjil di Piala Dunia Qatar – Sejauh Ini
Mahfud Ikhwan
Sepakbola penuh cerita ganjil. Piala Dunia lebih-lebih. Jika Anda baca buku babon Glanville, atau buku Spurling yang lebih gelap, juga mungkin ratusan buku lain tentang sejarah Piala Dunia, Anda akan dengan mudah membuat daftar panjangnya, dan barangkali membuat buku baru tentangnya—seperti yang pernah dengan konyol saya lakukan. Qatar 2022, saya rasa, akan banyak menambahkan entri baru keganjilan-keganjilan itu. Dan saya mengatakan ini ketika Piala Dunia belum lagi melewati pekan pertamanya.
Sudah menjadi nasib Qatar—sebagian besar tentu karena ulah mereka sendiri—keganjilan itu bahkan sudah dimulai bertahun-tahun sebelum turnamen. Bahkan sebelum mereka secara resmi ditunjuk jadi tuan rumah. Suap dan korupsi telah menjadi kenormalan bagi FIFA dan sepakbola, tapi terpilihnya Qatar tetaplah terlalu aneh. Seperti digambarkan FIFA Uncovered (2022), film dokumenter lima episode rilisan Netflix, sekeras apa pun mereka coba membantah, bantahan mereka terkesan lemah dan putus asa. Ditambah hantaman liputan negatif tentang daftar pelanggaran HAM, khususnya berkait laporan kematian ribuan buruh migran dan larangan atas kehadiran dan penampakan apa pun yang berkait dengan LGBTQ, tuan rumah Qatar jadi bulan-bulanan media.
Tapi, sulit menampik tuduhan dan terus-terusan defensif tak membuat mereka sepenuhnya diam. Qatar telah menyiapkan pembalasan. Dan tak ada kesempatan yang lebih baik menunjukkan itu melebihi upacara pembukaan. Dan di sanalah kita akan menemukan beberapa keganjilan lain.
***
Jika Anda melewatkan upacara pembukaan, atau sengaja tak menonton dengan berbagai alasan, berikut saya ringkaskan untuk Anda.
Stadion Al-Bayt yang mirip tenda raksasa meremang setelah sebelumnya mandi cahaya. Di sebuah tempat yang terlihat seperti gurun pasir di tengah malam dipenuhi kerlip bintang, serombongan kafilah Arab muncul lengkap dengan untanya. Barangkali menggambarkan masa lalu Badui bangsa kecil dan terpencil itu. Suara perempuan menyanyi dalam bahasa Arab memenuhi udara. Seorang perempuan berdiri di tengah barisan penari, wajahnya tertutup cadar hitam transparan. Sepertinya ialah penyanyinya.
Para penari terus berjingkrakan. Lalu dari sisi kanan layar TV kita melihat seorang bocah difabel tanpa tungkai berjalan lenggang dengan kedua tangannya. Ia lincah meski tanpa kaki. Anak itu, konon namanya Ghanim Al-Muftah, dalam jubah Arabnya yang putih dan gombor, secara fisik sangat mengingatkan kita dengan sang maskot Piala Dunia 2022, La’eeb, yang dalam bahasa Indonesia berarti “pemain”. Para pengkritiknya di Barat menyebutnya mirip hantu Casper.
Dari sisi kiri, Morgan Freeman, ya, Morgan Freeman yang itu, berjalan membelah gelanggang. Rambutnya putih, pakaiannya hitam. Dalam banyak film, Freeman hadir sebagai orang tua bijak, presiden, bahkan tuhan. Mungkin ia mewakili salah satu atau ketiganya, yang pasti, dengan suaranya yang sangat kita kenal, ia menggemakan pesan-pesan kenabian: tentang hidup, tentang kemanusian, dan—karena ini Piala Dunia—tentang hal-hal hebat berkait sepakbola.
Tepat di tengah, Al-Muftah dan Tuan Freeman berjumpa. Al-Muftah mungkin bukan La’eeb, tapi dari cara ia mempersilakan Tuan Freeman duduk, jelas ia mewakili tuan rumah. Sambil lesehan, keduanya bercakap tentang keragaman, perbedaan, dan perjumpaan, sampai kemudian Al-Muftah melantunkan Ayat Suci yang bicara tentang “manusia yang diciptakan bersuku-suku agar saling mengenal” itu.
Suara penyanyi perempuan surut ke belakang, digantikan bunyi genderang. Seorang pria berotot dengan dada telanjang menabuh ke kiri ke kanan. Bendera-bendera tim peserta berseliweran, nama-nama negara dinyanyikan.
Masih dalam iringan suara genderang, jinggel-jinggel Piala Dunia lama dinyanyikan bergantian, yang bersamaan dengan kemunculan maskot-maskotnya. Orang-orang berjaket gilap dan berkaca mata serupa kotak berjingkrak, sorot cahaya berseliweran. Lalu, entah dari mana, La’eeb sesungguhnya (yang bukan manusia) akhirnya muncul. Ia kadang melayang seperti ikan manta, kadang seperti layang-layang putus benang, tapi kadang seperti bulu yang tertiup angin.
Di bawah lindungan La’eeb yang melayang-layang, penyanyi Jungkook dari Korea Selatan dan penari pengiringnya muncul di panggung, mengentak dengan suara dan gerak badannya. Penyanyi lokal Fahad Al Kubaisi kemudian muncul dan bergabung. Kedua orang Asia dari puak yang berbeda itu kemudian bersama-sama mendendangkan lagu resmi turnamen yang berjudul Inggris, “Dreamers”.
Ketika lagu selesai, dan tepuk tangan menggemuruh, Morgan Freeman muncul lagi. Kali ini ia mempersembahkan kepada kita rekaman lama sepakbola padang pasir; barangkali di Qatar; barangkali itulah footage satu-satunya yang mereka punya.
Lalu, Emir Qatar dan Presiden FIFA meresmikan dimulainya Piala Dunia 2022.
***
Mudah menemukan komentar bangga dan haru di media sosial bahwa Piala Dunia yang profan itu berhasil disakralkan di Qatar, dengan nuansa Arab dan sitiran ayat Al-Quran sebagai titik tekannya. Saya kira itu sama sekali tidak salah, meskipun orang memang cenderung melihat apa yang ingin ia lihat. Tapi saya pikir tuan rumah Qatar ingin lebih dari itu.
Ayat Al-Quran jelas menjadikan Piala Dunia lebih terkesan religius, setidaknya dari sudut pandang orang Islam. Namun, Al-Hujurat ayat 13, ayat yang dibaca Al-Muftah, sangat dikenali kebanyakan orang Islam bahkan yang awam. Alasannya jelas: ayat ini sangat populer. Ia sering dikutip untuk menjelaskan tentang kerukunan dan harmoni antara orang/kelompok-kelompok yang berbeda, sesering dikutip di kertas undangan pernikahan.
Sebelum menyebut soal “bersuku-suku dan berbangsa-bangsa”, ayat ini mendahului bicara tentang “laki-laki dan perempuan” yang menjadi asal-muasal diciptakannya manusia yang berbeda-beda. Tak perlu dijelaskan lebih jauh, jelas, inilah dasar bagi otoritas Qatar menolak LGBTQ dan semua hal yang merepresentasikannya. Maka, meski bisa dibaca sebagai pesan perdamaian seperti yang ditegaskan Tuan Freeman, menurut hemat saya, alih-alih dikirimkan kepada sesama Muslim untuk menunjukkan Islamisasi Piala Dunia, oleh tuan rumah Qatar ayat ini pertama-tama ditujukan kepada para pengritik Barat-liberalnya.
Barney Ronay dari The Guardian menulis panjang lebar tentang upacara pembukaan ini, dan mencibir keseluruhannya sebagai “tidak nyata, dibuat-buat, dangkal, bikin capek, dan dikerubungi hantu dan sampah”. Tapi ia sama sekali tak menyinggung soal surah Al-Hujurat itu. Mungkin ia tidak enak. Tapi mungkin juga karena ia tak pernah mengaji.
***
Kemunculan Junkook saya rasa juga lebih berlapis dibanding sekadar dibahas sisi tontonan dan representasi Asia-nya semata—seperti banyak disebut para penggemarnya. Kenapa penyanyi Korea, bukan Jepang atau Cina, atau Asia Tenggara? Jawabannya mudah: karena saat ini K-Pop-lah yang paling populer. Tapi saya ingin membacanya secara berbeda: bahwa Korea Selatan adalah model dan teladan yang sangat cocok untuk Qatar. Terkait banyak hal!
Qatar adalah bangsa kemarin sore, kecil, dan terpencil. Di tengah Dunia Arab yang membentang dari Maghrib hingga Irak, mereka hanya butiran pasir. Di kawasan Teluk, mereka adalah liliput di tengah impitan kaki para raksasa seperti Saudi Arabia, Irak, dan Iran, tetangga-tetangga terdekat sekaligus ancaman terbesar mereka. Mereka inferior nyaris dalam semua hal, sampai mereka punya cukup uang dari cadangan gas alam. Dengan uang itu, juga dengan uluran perlindungan Inggris dan AS, mereka mencoba merangsek ke tengah barisan, mencoba masuk hitungan. Sebagian uang itu dipakai untuk membuat mereka layak menjadi pintu masuk dan tempat singgah lalu-lintas perdagangan internasional. Sebagian lagi untuk belanja hal-hal yang mudah mengundang perhatian, semisal olahraga, khususnya sepakbola.
Dengan mengabaikan beberapa detail yang berbeda, Korea Selatan adalah Qatar di Timur Jauh. Mereka bukan hanya sebuah bangsa kecil di tengah kepungan Cina di barat, Rusia di utara, dan Jepang di timur. Mereka juga sangat dibayangi kebesaran dan ketinggian peradaban para tetangganya yang lebih tua dan lebih kompleks. Lepas dari Perang Korea 1953, di bawah asistensi Amerika, mereka merangsek di antara jajaran negara dengan kemajuan ekonomi yang mencengangkan. Tapi itu sepertinya tak cukup untuk membuat mereka lebih dipandang. Karena itu, Korea mulai menciptakan ceruk mereka sendiri di dunia olahraga. Di antara karut-marut dan jatuh bangunnya kekuatan-kekuatan politik yang saling bertarung, juga di bawah para pemimpin despotik yang membunuh musuh politiknya dan menindas rakyatnya, Korea Selatan menggelar dua ajang olahraga global secara berdekatan: Asian Games 1986 dan Olimpiade Seoul 1988. Saat itu, tak terlalu berbeda dari Qatar saat ini, Korea Selatan bukan tempat di mana demokrasi telah mapan dan HAM telah ditegakkan. Setelah tiga dekade, kita kini jelas telah melihat Korea Selatan yang sama sekali berbeda. Mereka terus membesar secara ekonomi, punya tempat istimewa di gelanggang olahraga, dan berkibar dengan ekspor kebudayaannya.
Saya tak tahu apakah Qatar mengundang Jungkook (dan representasinya atas Korea) dengan hitung-hitungan demikian. Tapi saya pikir mereka membuat pilihan yang tepat.
***
Penampilan tim nasional Qatar di pertandingan pertama sama ganjilnya dengan upacara pembukaan.
Bagaimana bisa tuan rumah yang selama 12 tahun menghabiskan uang ratusan miliar dolar, membangun delapan stadion yang sama sekali baru, mendirikan ribuan hotel, membangun kereta api bawah tanah, dan bahkan membeli apa pun yang menjadikan mereka terlihat pantas menjadi sahibul hajat sepakbola sejagat, tidak mempersiapkan 11 orang yang bisa bermain dengan pantas di pertandingan pertama Piala Dunia? Untuk Qatar, tak banyak tim luar benua yang lebih empuk dibanding Ekuador yang bisa mereka dapat. Namun, mereka terlihat canggung dan enggan, dan gemetar, seperti sedang menghadapi Brazil. Mereka seperti penonton sepakbola yang tiba-tiba diminta ikut bermain di lapangan.
Tak bisa dibandingkan dengan negara-negara bertradisi sepakbola yang jadi tuan rumah dalam 30 tahun terakhir seperti Prancis, Jerman, Brazil, atau bahkan Rusia, tapi mari sandingkan mereka dengan tuan rumah AS, Jepang, Korea, dan Afrika Selatan.
Ketika AS jadi tuan rumah Piala Dunia untuk pertama kalinya, tradisi dan tim sepakbola mereka diremehkan. Namun mereka lolos ke 16 besar, di antaranya dengan menjungkalkan salah satu favorit juara, Kolombia. Dan nama-nama seperti Tony Meola, Alexi Lalas, dan Eric Winalda pun jadi legenda.
Korea Selatan mungkin sedikit diuntungkan beberapa keputusan wasit, tapi mereka jelas lebih dari sekadar tuan rumah yang baik saat bisa sampai ke semifinal Piala Dunia 2002; sementara, meski hanya sampai 16 besar, Jepang menjuarai grup yang di dalamnya terdapat tim-tim seperti Belgia dan Rusia.
Afsel 2010 gagal lolos dari grup. Tapi pekikan Peter Drury saat mengomentari gol Afsel ke gawang Meksiko dan menyebut nama Tshabalala masih terus menggema bahkan setelah lewat 10 tahun.
Apa yang saya ingat dari pertandingan pertama Qatar? Barangkali nama Afif, yang terdengar familiar.
Padahal, Qatar bersiap menuju Piala Dunia 2022 tidak dengan blanko kosong. Ketika menjuarai Piala Asia 2019, Qatar mengalahkan Arab Saudi, Korea Utara, Korea Selatan, dan kemudian Jepang di final. Semua adalah tim Asia yang punya tradisi Piala Dunia. Di Piala Emas CONCACAF 2021 mereka sampai semifinal dengan mengatasi tim-tim tradisional Amerika Tengah seperti Honduras dan Panama, dan itu jelas bukan sembarang. Di luar itu, sebelum memulai kampanye Piala Dunianya, mereka mengalahkan tim-tim seperti Bulgaria, Ghana, dan Albania, dan menahan Slovenia, Maroko, dan Cile—setidaknya demikian yang dicatat Wikipedia.
Secara statistik, jelas itu bukan angka yang buruk. Kecuali, siapa tahu, mereka juga membeli angka statistik itu.
***
Agar tuan rumah Qatar tak terkesan sendirian, keganjilan-keganjilan lain mungkin perlu ditambahkan:
Lagu kebangsaan Qatar berjudul “as-Salam al-Amiri”. Saya tak begitu menghiraukannya sampai kemudian saya menonton pemain Inggris menyanyikan lagu kebangsaannya, “God Save The King”. Rupanya, dua negara itu tak hanya mesra di politik dan ekonomi. Mereka juga seselera soal mencipta lagu.
Ketika Iran menantang Inggris, media sosial ramai oleh foto-foto pemain Iran yang bungkam saat lagu kebangsaan diputar, dan menyebutnya sebagai perlawanan terhadap rejim Mullah di Teheran. Tapi layar TV terestrial yang saya tonton justru lebih banyak diam. Beberapa gambar terpotong. Beberapa gambar diulang. Secara umum terlihat ganjil. Ekspresi penonton absen. Saya tahu saya menonton siaran yang telah disensor.
Meski menang besar, Inggris saya pikir tampil normal-normal saja. Yang tidak normal adalah para pendukungnya. Tidak banyak dan tak terlihat mengancam seperti biasanya, mereka malah tampak lucu dengan tangan tanpa gelas bir. Bayangkan jika Piala Dunia dilangsungkan di Bojonegoro atau Lamongan, barangkali akan lebih lucu lagi. Di tangan mereka bukan bir, melainkan es teh plastikan lengkap dengan sedotannya.
Senegal vs. Belanda terlihat aneh sepanjang pertandingan. Senegal tanpa kapten sekaligus pencetak gol mereka, Mane, dan karena itu mereka tumpul (4 on target, tapi 0 gol). Belanda sama anehnya karena bahkan kelihatan tak memiliki siapa pun untuk bisa mencetak gol. “Bagaimana tim tempat lahirnya Cruyff, Van Basten, Bergkamp, hingga Van Persie datang ke Piala Dunia tanpa pencetak gol yang layak?” begitu saya bertanya. Dan pertanyaan itu tetap menggantung bahkan ketika Cody Gakpo dan Davy Klaassen menceploskan dua gol telat di akhir pertandingan.
Argentina kalah 2-1 dari Saudi Arabia di pertandingan pembuka. Ini rekor untuk Saudi. Tapi ini kebiasaan lama Argentina. Mereka sudah sering mengalaminya. Jadi, mestinya tidak masuk daftar ini.