Gapapa Jelek, Seenggaknya Typing-nya Ganteng

Gapapa Jelek, Seenggaknya Typing-nya Ganteng
Sub: “Hm? Kamu kenapa sedih, cantik?

Sebagai orang yang kalo chatting-an tidak pernah ngetik singkat-singkat dan lebih memilih satu pembahasan dalam satu pesan. otomatis membuat saya masuk dalam golongan orang yang chatting-nya panjang-panjang. 
Ini berbeda dengan gaya chatting teman-teman saya yang cenderung jutek dan irit. Yang kalau nanya "lagi di mana?", ngetiknya "lg dmn?", atau kalau ngasih ucapan selamat, ngetiknya: “habede” atau “met ultah ya”, atau yang paling irit, “WYATB”. Belum kalau ngejawab pertanyaan paling-paling jawabannya cuma sehuruf: “Y” atau “G”. 
Saya curiga orang-orang yang mengetik pesannya singkat-singkat seperti itu merasa ngobrol via teks cuma membuang waktu mereka. Padahal saya sendiri yang ngetiknya suka panjang-panjang dan berdasarkan EBI (Ejaan Berbahasa Indonesia) tidak merasa saya buang-buang waktu, apalagi kalau topiknya seru. 
[Kubu Ngetik Indonesia: Willy The Kid (ngetik bocah slengean) (https://twitter.com/cursedkidd/status/1664530621006495744?t=c3z_PrGreTwX9Lix96M5Pw&s=08) vs Ivan Lanin (Bapak Ngetik Ganteng Se-Indonesia) (https://twitter.com/ivanlanin/status/1652889314207084546?t=v9al0I2Wggp8rITpPmwXHQ&s=08)]
Berhubung saya ada di kubu ngetik Ivan Lanin, saya kaget sekaligus penasaran ketika media sosial ramai memperbincangkan ‘typing ganteng’. Bahkan Yura Yunita lewat akun twitternya, sampe-sampe ikut nanya: jadi, typing ganteng tuh yang kayak gimana sih?” 
https://twitter.com/yurayunita/status/1547166915713323010?t=1QmsrUYlzTcIDMkMulOSqg&s=08 
‘Kan saya jadi ikut penasaran—apa itu typing ganteng dan kenapa banyak yang ingin gebetan atau pacarnya punya gaya ketikan seperti ini?
Pencarian saya di Twitter mengarahkan saya ke artikel ini, yang memuat cuitan seseorang di tahun 2018:


Typing ganteng secara sederhana bisa diartikan dengan gaya ngetik rapi dan enak dibaca. Gampangnya seperti kita sedang menulis formal (eh ini hitungannya gampang gak ya?). Pokoknya typing ganteng tuh ketikannya ngikutin kaidah bahasa indonesia yang baik dan benar, lengkap dengan penempatan tanda baca yang pas.
Nah, kalo dilihat dari penjelasannya seharusnya fenomena ini cukup biasa. Apalagi di kalangan mahasiswa yang harus kontak dengan dosen, dimana mereka banyak yang terpaksa menulis serapi dan sesopan mungkin. Tapi enggak ada tuh dosen yang kesemsem. Malah seringnya chatnya dianggurin.

Makanya mengherankan kenapa bisa ada yang mengidamkan, bahkan sampai jatuh cinta dan gregetan sama orang yang ketikannya ganteng.
Nothing Outside The Text
Typing ganteng ini kan erat kaitannya dengan teks, dengan tulisan. Ini mengingatkan saya dengan Jacques Derrida, filsuf Prancis yang berjibaku dengan teks. Menurut Derrida, suatu teks selalu punya hal yang disembunyikan atau ditutup-tutupi. Untuk menyingkapnya, diperlukan suatu cara, yaitu dekonstruksi. 
Sayangnya, dekonstruksi Derrida sangat sulit untuk didefinisikan. Derrida sendiri ketika ditanya oleh wartawan mengakui tidak mampu membuat definisnya. Yang punya teorinya saja ga mampu—bahkan cenderung gamau—mendefinisikan dekonstruksi, jadilah kita dipaksa untuk meraba-raba maksud dekonstruksinya.
Tapi untuk mempermudah tulisan ini, saya menggunakan definisi yang diutarakan oleh 
kita pakai definisi yang diutarakan oleh Chris Barker. Ia mendefinisikan dekonstruksi sebagai “memisahkan, membongkar, untuk menemukan dan menelanjangi berbagai asumsi, strategi retoris dan ruang kosong teks.” Sehubungan dengan teks, dekonstruksi berhubungan dengan dua konsep, yaitu description dan transformation, yaitu menggambarkan maksud teks (description), sekaligus mengubah dan mengembangkannya dalam makna atau pemahaman baru (transformation). Dan bagi Derrida, tulisan tampil apa adanya—yang memberikan makna tambahan adalah kita sendiri sebagai penerima teks.  
Merujuk pada penjelasan dekonstruksi di atas, typing ganteng bisa kita pahami sebagai cara penerima teks memahami teks pengirim. Pemahaman ini muncul karena kita memahami tulisan sebagai simbol dari ucapan. Maka tak heran berbicara dipandang lebih penting dari menulis. Karena orang yang berbicara hadir secara langsung dengan pendengar. Pembicara dapat melihat bagaimana respon pendengar akan informasi yang disampaikan. Demikian juga sebaliknya, pendengar dapat melihat pembicara baik gaya berbicara, gestur tubuh, emosi dan intonasi yang dilakukan.
Tapi Derrida justru menganggap berbicara dan menulis tidak jauh berbeda. Kedua kata itu sama-sama membentuk apa yang disebutnya sistem menulis pada umumnya (system of writing in general). Dengan kata lain, berbicara merupakan sebuah bentuk tulisan, yaitu sistem untuk merekam dan dengan demikian menghasilkan makna. 
Derrida percaya pembicaraan secara langsung itu sifatnya deterministik. Kata dan makna dikuasai oleh si pembicara dan si pendengar dipaksa masuk ke dunia pemaknaan si komunikator, untuk bisa mengerti dan memahami yang diucapkan. Oleh karenanya ia lebih  mempercayai tulisan, sebab tulisan sifatnya setara. Si pembaca bisa mengekspresikan makna apa saja dalam teks yang dibacanya. Kalaupun salah memahami maksud si penulis, kesalahan bisa terjadi pada keduanya. Si penulis yang kurang bisa menjelaskan apa yang dimaksudnya dan si pembaca kurang referensi untuk memahami makna yang dimaksud si penulis.
Lalu apa hubungannya dengan typing ganteng? Fenomena typing ganteng tidak akan ada tanpa smartphone dan media sosial. Dulu, untuk membunuh kebosanan orang-orang memperhatikan lingkungan sekitar atau berinteraksi dengan orang lain. Kenalan untuk basa-basi adalah hal biasa. Lahirlah percakapan dan dalam percakapan orang bertukar suara. Lalu lahirlah anggapan bahwa laki-laki yang memiliki suara berat dan dalam adalah pria sejati yang bisa membuat perempuan jatuh cinta hanya lewat suaranya.
Sekarang suara dan dunia berisiknya ada pada dunia digital. Sebab orang-orang sekarang menuliskan segala kehidupannya dan komentarnya di media sosial, termasuk berkenalan dan mencari pasangan. Dan dalam dunia yang hampir seluruhnya tertuang dalam teks dan pesan, typing ganteng bisa tercipta. 
Terlebih di masa yang mengharuskan kecepatan dan serba instant, orang-orang (terlebih anak muda sekarang) hampir tidak lagi bisa membedakan mana chatting formal atau informal. Chatting ke guru, dosen, atau atasan sering disamakan dengan chatting ke teman tongkrongan yang kadang slengean dan berantakan. 
Hal tersebutlah yang kadang membuat dunia media sosial sekarang  terasa chaotic dan penuh kebencian. Sebab dalam tulisan sifatnya jelas setara, si pembaca pesan membayangkan maknanya sendiri ketika membaca pesan dan dalam pemaknaannya sendiri inilah lahir imaji.
Dulu bisa jatuh cinta melalui suara yang berat dan dalam, sekarang lewat typing ganteng. Dari dua fenomena tersebut sederhananya bisa kita bayangkan, dalam imaji perempuan, cowok yang bersuara berat dan dalam atau sekarang yang typing-nya ganteng adalah keren, seksi, berwibawa dan mengesankan. 
Lagi-lagi typing ganteng adalah manifestasi dari bagaimana semua hal di dunia ini tergenderkan. Bahkan teks yang seharusnya tampil apa adanya malah dikotak-kotakkan lagi, bahkan sampai diberi makna sedemikian rupa. 
Typing ganteng juga adalah bentuk kerinduan pada suara nyata yang berat dan dalam. Tak heran ketika kita sedang berbalas pesan dengan seseorang dan saat kita membaca teks whatsapp misalnya, bersamaan dengan itu ada suara yang terputar di kepala kita.