“Garnacho dibungkus Asnawi!” Kata Fans Bola yang Ga Bisa Nendang Bola

Ketika Sekadar 'Ngawur' Lebih Bernilai daripada Skill Sepak Bola

 

Subtitle: “Garnacho dibungkus Asnawi!” kata fans bola yang ga bisa nendang bola. 

 

Setelah pertandingan epik antara Timnas Indonesia dan Timnas Argentina, sebuah fenomena menarik menghiasi dunia maya: banter. Bagi yang belum familiar, ‘banter’ adalah seni khusus dalam dunia fandom sepak bola yang memanfaatkan kata-kata tajam dan kecerdasan verbal untuk menjatuhkan rival. Sebuah permainan psikologis yang tak berkesudahan, dimana klaim keunggulan tim sendiri dan ejekan kepada rival dilontarkan tanpa ampun. Namun, kali ini, banter tampaknya mengambil alih peran utama, mengungguli skill dan permainan itu sendiri. 

 

Ada sebuah pepatah yang mengatakan "banyak omong, sedikit tindakan." Nah, sepertinya pepatah itu telah menjadi mantra bagi banyak penggemar sepak bola. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar, melontarkan komentar-komentar yang lebih mengocok perut daripada menunjukkan pemahaman yang sebenarnya tentang suatu pertandingan. 

 

Setelah pertandingan antara Indonesia dan Argentina, netizen Indonesia dengan bangga membanjiri media sosial dengan banter tentang Garnacho, pemain muda Manchester United yang kebetulan tampil kurang gemilang. Tapi tunggu dulu, mengapa hanya Garnacho yang menjadi bulan-bulanan para pembuat lelucon? Apa yang terjadi dengan Alvarez, pemain Manchester City? Bukankah penampilannya juga tak begitu memuaskan? Kenapa hanya Manchunian yang membuat banter tentang Alvarez yang bermain untuk tim kaya yang baru meraih treble winner itu?

 

Garnacho menjadi sasaran ejekan karena klubnya memiliki sejarah kejayaan yang panjang dan penggemar yang terkenal berisik. Ini memberikan kesempatan sempurna bagi penggemar rival untuk menunjukkan kreativitas mereka dalam menghina dan mengejek. Bagi penonton, skill dan permainan hanyalah sampingan yang bisa diabaikan. Apalagi masalah taktik, itu urusan pelatih yang telah dibayar klub untuk berteriak di pinggir lapangan. Maka dari itu, tugas kita sebagai penonton adalah menghina rival.

 

Ironisnya, dalam kesenangan kita mengolok-olok pemain seperti Garnacho, kita melupakan apa yang seharusnya kita hargai dari permainan sepak bola: kemampuan, kerja keras, dan dedikasi para pemain. Kita lupa bahwa di balik setiap kesalahan atau kegagalan, ada manusia yang berjuang keras di lapangan. Tapi siapa peduli dengan itu? Kita lebih suka membiarkan kejenakaan kita berkembang biak, menciptakan meme, lelucon dan komentar yang tajam di media sosial.

 

Di era ini, banter telah menggantikan segalanya. Kita mengukur prestasi tim dan pemain berdasarkan seberapa banyak kami bisa mengolok-olok mereka. Semakin banyak lelucon yang diciptakan, perasaan superior akan fans lawan semakin besar. Talenta?  Trofi dan gelar? Itu hanya bahan bakar kita untuk menetapkan standar yang harus dipenuhi pemain. Jika pemain tidak memenuhi standar kita, maka kita tinggal menaikkan namanya dalam tagar dan memerintahkan klub untuk menendang dia keluar dari klub. 

Kejadian ini seharusnya mengingatkan kita untuk berhenti—atau kalau begitu sulit, meminimalisir—hinaan dan cemoohan terhadap pemain. Jangan sampai tawa dan omong kosong kita malah mengubur keindahan permainan. 

 

Tak hanya itu, kita perlu menanyakan kepada diri sendiri, apakah banter ini telah melampaui batasnya? Apakah kita telah kehilangan pemahaman yang sebenarnya tentang sepak bola? Lagi-lagi kita harus mengingat bahwa kemampuan individu, taktik permainan, dan kerjasama antar pemain adalah inti dari olahraga ini. 

 

Mereka pantas mendapatkan penghargaan yang seharusnya, alih-alih hinaan.