Gas Air Mata: Dicintai Aparat, Dibenci Tubuh Manusia

Sejumlah Aremania berusaha keluar dari Stadion Kanjuruhan, Malang, setelah polisi menembakkan gas air mata. Mereka berdesakan dan saling dorong di lorong tribun yang sempit, sementara pintu keluar dari besi tertutup rapat.  

 

Begitulah salah satu adegan yang saya lihat dari banyak video amatir tragedi Kanjuruhan yang tersebar di linimasa Twitter. Di tengah kepungan gas air mata dalam sebuah ruangan tertutup seperti stadion, memang tak ada cara selain lekas keluar. 

 

Kenyataannya, gas air mata hanyalah eufemisme untuk Chloroacetophenone (CN), Chlorobenzylidene malononitrile (CS), dan Dibenzoxazepine (CR). Ketiganya adalah bahan kimia yang dalam suhu kamar berbentuk serbuk putih kristal. Harus dilarutkan terlebih dulu dalam pelarut organik agar menjadi aerosol yang bisa menyebar di udara.   

 

Aerosol tersebut tak bisa langsung menguap begitu saja di udara, tapi menempel pada benda-benda di lokasi paparan dalam waktu lama, membuat orang menerima tingkat konsentrasi paparan lebih tinggi ketika terus berdiam di lokasi. 

 

Studi menunjukkan manusia sehat hanya mampu bertahan selama 48 detik dalam paparan gas air mata. Bagi manusia dengan komorbid seperti asma dan hipertensi hanya mampu bertahan selama 11-20 detik. 

 

Secara bertahap, berikut adalah yang dialami tubuh manusia dalam waktu singkat tersebut: 


 

Step

Teks

Rujukan Grafik

Sumber

1.

TRPA 1, saluran kation yang menghasilkan sensasi menyengat, iritasi, dan terbakar aktif. Menyebabkan saluran ion pada serat saraf terbuka. Memungkinkan kation Na+ dan Ca2+  mengalir ke dalam sel. 

 

Jennifer L. Brown, Carey E. Lyons, Carlee Toddes, Timothy Monko & Roman Tyshynsky (2021) Reevaluating tear gas toxicity and safety, Inhalation Toxicology, 33:6-8, 205-220)

2.

Neuron terdepolarisasi dan mengirimkan sinyal listrik ke otak. 

   

3.

Otak memproses sinyal tersebut sebagai rasa sakit.  

   

4. 

Lengkung refleks parasimpatis dari sistem saraf aktif. Menyebabkan pembuluh darah melebar, peningkatan aliran darah, dan pembengkakan pada tempat kontak.

   

5.

Ca2+ yang telah masuk ke saluran TRPA 1 membuat neuron melepaskan zat neuropeptida di tempat kontak. Memperkuat sinyal nyeri, inflamasi akut dan kerusakan jaringan. Dalam jangka panjang menyebabkan kerusakan pada sel-sel di sekitarnya.  

   

6.

Pada saluran pernapasan, menyebabkan refleks batuk, penyempitan saluran napas, dan produksi lendir. Di mata menyebabkan lakrimasi atau air mata. 

   


 

Berdampak Jangka Panjang Hingga Kematian

 

Sejak 1960an, gas air mata masif digunakan polisi dan militer di dunia untuk mengendalikan massa. Selama itu, dampak gas air mata terhadap tubuh manusia dianggap hanya sementara dan tak mematikan. Namun, sebetulnya dampaknya sangat tergantung kepada tingkat konsentrasi paparan. 

 

Kini gas air mata yang paling umum digunakan berjenis CS. Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) Amerika Serikat adalah salah satu lembaga yang cukup jelas membuat pedoman tingkat konsentrasi paparan akutnya di udara. Lembaga ini membaginya dalam skala 1-3. 

 

Skala-1 menunjukkan iritasi sementara, tidak melumpuhkan, dan dapat berubah setelah paparan dihentikan. Skala-2 menunjukkan efek kesehatan serius dan permanen yang berlangsung lama dan gangguan kemampuan melarikan diri dari paparan. Skala-3 mengakibatkan kematian. 

 

EPA tak merekomendasikan tingkat konsentrasi berapapun tergolong skala-1 karena tak ada penelitian pada manusia yang menunjukkan paparan gas air mata dalam kategori ringan. Mereka menyebut tingkat konsentrasi paparan sebesar  0,083 mg/m3 selama 10 menit atau lebih tergolong skala-2. Tingkat konsentrasi lebih besar dari itu selama 10 menit atau lebih tergolong level-3. 

 

Masalahnya, sulit mengukur tingkat konsentrasi paparan gas air mata dalam kerusuhan sehingga dampaknya sulit diketahui dengan pasti. Inilah yang mendorong banyak studi mutakhir menjajaki lebih lanjut dampak kesehatan gas air mata pada manusia. 

 

Salah satunya dilakukan Rohini J. Haar dkk. yang melakukan tinjauan sistematis terhadap dampak gas air mata di seluruh dunia antara 1 Januari 1990-15 Maret 2015. Hasilnya, dari 5.910 orang yang terkena gas air mata dan butuh perawatan medis, 5.131 atau 87 persen di antaranya terluka. Dari yang terluka, dua orang meninggal dunia dan 67 orang cacat permanen.

 

Cacat permanen yang dialami orang-orang dalam studi tersebut antara lain adalah masalah pernapasan, efek kesehatan mental. kebutaan, kerusakan otak, amputasi anggota badan, dan kerusakan kulit. 

 

Studi lain pun menemukan 70% dari 546 orang yang terkena gas air mata saat protes di Turki pada 2012 mengalami sesak napas selama 2-15 hari setelah terpapar. 

 

Metode penyemprotan gas air mata yang pada umumnya menggunakan tabung, pun terbukti berdampak serius. Dari 10 orang yang terkena proyektil tabung gas air mata saat protes anti-pemerintah di Irak pada Oktober 2019, seluruhnya meninggal dunia setelah 1-3 hari dirawat di rumah sakit. 

 

Sebelum tragedi Kanjuruhan, berdasarkan analisis pemberitaan sepanjang Agustus 2014-Desember 2021, lima orang tercatat meninggal dunia dari pengendalian massa yang melibatkan gas air mata di negeri ini. Jumlah tersebut mungkin lebih banyak karena belum ada penelitian khusus terkait dampak gas air mata di Indonesia.

 

Butuh berapa banyak duka lagi agar aparat penegak hukum mempertimbangkan ulang penggunaan gas air mata?