Geliat Bangunan Konserver Energi
Hutan beton, kata yang tepat untuk untuk menggambarkan kota-kota besar Indonesia. Namun di balik megahnya bangunan-bangunan itu, tersimpan banyak jejak emisi. Mulai dari proses awal hingga jalannya sebuah konstruksi. Global Alliance for Buildings and Construction di tahun 2021 mencatat sektor pembangunan bangunan—dari awal dibangun hingga operasional—bertanggung jawab atas 37% emisi karbon dunia.
(Data Jejak Emisi)
Terngiang petikan bait syair Iwan Fals tentang serakahnya kota—akan tetapi dalam konteks yang berbeda, yaitu terkait jejak emisi karbon. "Tersentuh sebuah rencana, dari serakahnya kota."
Apalagi jika melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pertumbuhan perusahaan konstruksi yang terus meningkat, mulai dari skala kecil, menengah, hingga besar. Pertumbuhannya pun tidak main-main—dari 28 ribu perusahaan konstruksi di tahun 2000, menjadi 190 ribu di tahun 2023.
(Data Perusahaan Konstruksi)
Bertambahnya perusahaan konstruksi menandakan jumlah transaksi yang semakin besar. Data BPS juga menunjukkan adanya peningkatan transaksi yang diselesaikan perusahaan konstruksi yang mengalami peningkatan signifikan, mulai dari 100 miliar di tahun 2007 hingga mencapai puncak tertingginya di tahun 2018 yang mencapai 617 miliar.
(Data Nilai Konstruksi)
Tentu, ini adalah industri yang tidak akan pernah berhenti sepanjang manusia tetap hidup. Ia bersaling taut dengan kebutuhan akan rumah, kantor, dan toko.
Kondisi Bangunan Hijau
Salah satu cara mengerem emisi karbon pembangunan adalah dengan membangun gedung yang lebih ramah lingkungan alias green building. Untuk melakukannya, diperlukan perencanaan, pembangunan, dan pengoperasian yang matang. Selain itu, perlu optimalisasi penggunaan energi lewat tata kelola listrik, sistem ventilasi dan pencahayaan, manajemen sumber daya air, hingga pemilihan bahan untuk konstruksi yang mudah didaur ulang.
Figure 2 Sertifikasi EDGE pada bangunan gedung (Foto: Adi Fauzanto)
Sejauh ini ada 128 bangunan hijau di Indonesia. Perhitungan tersebut berdasarkan data bangunan yang mendapatkan sertifikasi greenship yang dinilai oleh Green Building Council Indonesia (GBCI), sertifikasi EDGE yang dikeluarkan oleh International Finance Corporation (IFC), pemenang Penghargaan Subroto—dulu bernama Penghargaan Efisiensi Energi Nasional (PEEN)—oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta terakhir ASEAN Energy Awards.
(Data Bangunan Ramah Energi)
Dari 128 bangunan, terbanyak merupakan gedung perkantoran, baik itu swasta maupun pemerintah yang berjumlah 88 gedung. Lebih menariknya, hanya 12 bangunan hotel, apartemen, dan perumahan yang sudah tersertifikasi bangunan hijau di seluruh Indonesia. Angka ini sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah hotel bintang dan non-bintang yang sudah mencapai angka 29 ribu di 2022.
(Data Hotel di Indonesia)
Begitu pula dengan apartemen. Dari 838 bangunan apartemen, hanya ada dua yang sudah mendapat predikat hijau, yaitu Menteng Regency yang sudah tersertifikasi hijau dan Apartemen Scientia Summarecon yang memenangkan penghargaan manajemen energi PEEN di tahun 2015.
(Data Apartemen di Indonesia)
Rumah susun (rusun) malah lebih sedih lagi. Tidak ada satupun yang mendapatkan predikat bangunan hijau. Kemungkinan hal ini juga dipengaruhi dengan semakin menurunnya jumlah rusun di Indonesia. Per data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di tahun 2015 ada 10 ribu unit rusun. Jumlahnya menurun ke 4 ribu unit rusun di tahun 2023.
(Data Unit Rusun di Indonesia).
Walau begitu, bukan berarti tidak ada rusun yang berusaha menerapkan prinsip bangunan hijau. Kampung Susun Cakung adalah contohnya. Dirancang oleh arsitek Yu Sing, rusun ini memaksimalkan penggunaan ventilasi sehingga mengurangi penggunaan kipas dan AC.
“Bangunannya panggung, tidak diuruk, jadi jika banjir airnya ke bawah bangunan," ucapnya dalam wawancara khusus (27/6/2024). Ia juga menambahkan rusun menggunakan ventilasi silang menghadap keluar sehingga sirkulasi udara lebih baik.
Ajaran Bangunan Hijau
Data mengenai jumlah bangunan hijau yang ada di Indonesia sekarang sedikit banyak menggambarkan komitmen pemerintah akan bangunan hijau: minim. Hal tersebut juga diakui oleh Yu Sing. "Persoalannya dari bangunan hijau ketika ingin dipraktekkan, kadang-kadang ditolak oleh developer, karena biayanya jadi tinggi dan tidak ada subsidi dari pemerintah."
Rifqi Ikhwanuddin, konsultan gedung hijau, juga mengatakan hal yang sama. "Memang penilaian bangunan hijau (dari GBCI) mengincar bangunan mewah dan besar untuk menarik perhatian.” Lebih lanjut, ia mengatakan kemungkinan hal ini adalah strategi dari pendahulu GBCI. Toh sudah ada banyak bangunan—entah itu tempat tinggal atau restoran—sudah otomatis hijau tanpa perlunya sertifikasi hijau. Apalagi bangunan tradisional yang sampai sekarang masih eksis karena tanggap lingkungan dan iklim.
Figure 13 Wawancara dengan Rifqi Ikhwanuddin (Foto: Adi Fauzanto)
Walau begitu, untuk sebuah bangunan bisa disebut sebagai bangunan hijau perlu memenuhi beberapa syarat yang dikeluarkan oleh Kementerian PUPR dan GBCI. Persyaratan ini sudah tertuang dalam Permen No. 2/PRT/M/2015 Tahun 2015 yang mengatur perencanaan teknis gedung, pelaksanaan konstruksi, pemanfaatan gedung, hingga pembongkaran gedung.
Figure 4 Wawancara dengan Arsitek, Yu Sing (Foto: Adi Fauzanto)
Dalam hal ini Yu Sing menilai pemerintah seharusnya tidak hanya memperhatikan bangunan hijau saja, tapi juga kawasan sekitar. “...yang kurang ditekankan pemerintah ialah aspek lingkungan kawasan. Pemerintah harus berusaha keras untuk menurunkan suhu kota terlebih dahulu.”
Penurunan suhu kota ini menurutnya bisa dilakukan dengan kewajiban menanam pohon di sekitar bangunan. "Setiap kavling atau komplek wajib menanam pohon berapa? Nah itu menurunkan suhu lingkungan, itu akan lebih ringan untuk membangun sebuah bangunan hijau nantinya."
Ia juga menambahkan, “jangan sampai seperti Singapura yang banyak mendapatkan predikat juara bangunan hijau, masuk Indeks Kota Hijau akan tetapi kenaikan rata-rata suhunya dua kali lipat dari rata-rata suhu global.”
Selain aturan yang dibuat oleh Kementerian PUPR, GBCI juga memiliki persyaratan tentang bangunan hijau. Syaratnya tidak hanya meliputi operasional gedung saja, tapi juga melihat keseluruhan perencanaan pembangunan. Persyaratan itu antara lain:
Pertama, pengembangan lahan atau yang biasa dikenal dengan tapak bangunan. Mulai dari memperhatikan akan datangnya cahaya matahari, mempersiapkan area tadah hujan untuk menyimpan air, mempersiapkan ruang terbuka hijau, juga memperhatikan lalu-lalang pengguna bangunan agar bisa dijangkau oleh siapapun. Bagian ini merupakan hal yang paling mudah menurut kontraktor, konsultan, dan pemilik.
Lokasi pembangunan bangunan hijau juga tak kalah penting. “Bangunan hijau harus memperhatikan lokasi, tidak boleh sembarangan. Apakah kita boleh membangun bangnan di atas sawah? Tidak boleh, tapi faktanya pemekaran kota mengambil lahan sawah,” tutur Rifqi. Namun hal ini bisa terjadi karena pemerintah sebagai penentu kebijakan memperbolehkannya.
Kedua, efisiensi energi. Mulai dari memperhatikan selubung (dinding) dan sistem ventilasi yang baik di mana udara bisa masuk dan keluar dengan baik, pemilihan peralatan elektronik yang hemat energi, hingga merencanakan prosedur pemantauan manajemen energi secara berkelanjutan seperti pencatatan konsumsi listrik.
Selain itu, diperlukan ketepatan penggunaan alat elektronik. Terutama pendingin ruangan sebagai teknologi yang paling sering ditemui di gedung perkantoran. Ini penting mengingat pemasangan pendingin ruangan yang asal-asalan bisa membuat teknologi ini bekerja lebih keras sehingga lebih boros listrik. “Apalagi pendingin ruangan mengeluarkan gas rumah kaca, membuat lingkungan luar lebih panas, tapi ruangan di dalam lebih dingin,” tutur Yu Sing.
Figure 5 Instalasi pendingin ruangan di salah satu bangunan (Foto: Adi Fauzanto)
Ketiga, konservasi air. Mulai dari memperhatikan sumber air yang ada, merencanakan kebutuhan akan air bersih dan cara pengelolaannya, penggunaan teknologi untuk menghitung air yang digunakan, hingga kampanye dan komitmen untuk menghemat air. Pasalnya, dampak dari pemborosan penggunaan air fatal dan menanggulanginya membutuhkan biaya yang tak sedikit. Maka dari itu, penting untuk memprioritaskan air dalam pengerjaan konstruksi.
Keempat, bahan konstruksi bangunan. Mulai dari penggunaan material yang ramah lingkungan dan sesuai dengan kondisi sumber daya alam dan iklim, memperhatikan siklus daur hidup bahan tersebut, hingga memperhatikan proses dari seluruh rangkaian pengerjaan rangkaian yang harus ramah lingkungan. Yu Sing juga menekankan pentingnya menggunakan material lokal untuk menekan jumlah emisi yang dikeluarkan.
Figure 6 Penggunaan batu bata sebagai dinding di suatu bangunan (Foto: Adi Fauzanto)
Kelima, kualitas udara dalam ruangan. Hal ini bisa didapatkan dengan merencanakan sistem ventilasi yang baik. Sistem ventilasi yang baik setidaknya mempertimbangkan tiga hal: sirkulasi udara yang lancar, tingkat kecerahan matahari, serta gangguan yang mungkin timbul dari lingkungan sekitar. Tak lupa penggunaan pendingin udara yang efisien serta tembok yang bisa menghantarkan panas ke dalam ruangan. Pohon juga bisa digunakan untuk membantu menyejukkan gedung.
Keenam, manajemen energi bangunan. Untuk melakukan ini, diperlukan langkah awal seperti perencanaan dan sistem manajemen yang berkelanjutan. Ini termasuk penetapan ambang batas penggunaan energi, transparansi operasional penggunaan energi dan menempatkan tenaga kerja yang ahli dalam operasional gedung hijau.
Namun kalau syarat-syarat di atas terlihat rumit, ada cara sederhana untuk melihat dan menghitung sebuah bangunan hijau.
Pertama, menggunakan rumus sistem keberlanjutan lingkungan yang diformulasikan di Kyushu University yaitu T=W-D.
T (throughput atau hasil) merupakan hasil dari pengurangan W (welfare atau kesejahteraan, dalam konteks tulisan ini kenyamanan) dan D (damage atau kerusakan). Untuk memaksimal T, maka harus memaksimalkan penekanan D tapi tanpa mengurangi W gedung. Kenyamanan ini meliputi kenyamanan ruang gerak, penerangan, suhu, dan suara.
Kedua adalah memastikan gedung memenuhi tiga jenjang konservasi energi. Jenjang dasar berupa konservasi energi lewat penggunaan ventilasi dan pencahayaan yang baik, jenjang menengah menggunakan peralatan elektronik hemat energi, dan puncaknya adalah penggunaan energi terbarukan.
Konservasi Energi
Konservasi energi bisa dibilang susah-susah gampang. Ia memerlukan manajemen yang efisien dan rasional. Langkah pertama dan paling utamanya adalah mengubah gaya hidup manusianya, seperti yang diucapkan arsitek Budi Faisal. Pernyataan ini juga diamini Fadel Iqbal Muhammad, peneliti Collaborative Labeling and Appliance Standards Program (CLASP) dalam kegiatan Workshop Efisiensi Energi yang diselenggarakan oleh SIEJ, CLASP, dan Kementerian ESDM (10/6/2024). Peralatan ramah lingkungan tidak akan membawa perubahan kalau manusianya tidak bijak menggunakannya.
Selain mengubah pola pikir dan kebiasaan, langkah selanjutnya adalah membangun gedung yang sesuai dengan iklim dan lingkungan sekitar. Di Indonesia yang memiliki iklim tropis, bisa dimulai dengan memperhatikan arah datangnya matahari, angin, dan sumber polusi suara. Lalu melihat lingkungan sekitar seperti keberadaan ruang hijau, pemilihan material bangunan, dilanjutkan dengan melihat ancaman lingkungan seperti kemungkinan banjir bandang.
Figure 8 Bangunan yang dikelilingi kaca dan sinar matahari (Foto: Adi Fauzanto)
Dalam hal ini, pemilihan material bangunan merupakan hal yang penting. Untuk menghalau iklim panas Indonesia, orang-orang biasanya menggunakan cat terang untuk memantulkan panas. Rifqi Ikhwanuddin menyatakan warna terang memang baik untuk memantulkan panas. Namun cara ini tidak selalu efektif. “Seberapa cerah material terkadang tidak bisa memantulkan 100 persen, bisa saja 50 persen dan sisanya terserap oleh bangunan, [sehingga] tidak bisa menjadi strategi utama untuk bangunan hijau," ucapnya.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah ongkos bangunan tersebut terhadap aktivitas manusia. Untuk memaksimalkan status hijau sebuah bangunan, lokasinya bukan di pinggir kota dan harus bisa dijangkau dengan transportasi umum. Apalah guna gedung hijau kalau untuk mencapainya harus menggunakan kendaraan pribadi?
Mengelola Energi
Pun jika kondisi bangunan sudah kepalang tanggung boros energi, yang bisa dilakukan adalah melakukan manajemen energi yang lebih baik. "Sebagian besar keberhasilan efisiensi energi diperoleh dari perubahan cara mengelola energi dibandingkan instalasi teknologi baru," tulis materi presentasi dari Kementerian ESDM di dalam Seminar Nasional Dekarbonisasi di Sektor Bangunan Gedung (20/09/2023).
Di sinilah pentingnya audit energi untuk mengetahui keseluruhan penggunaan listrik dan air serta memutuskan bagian mana yang bisa dipangkas. Supaya audit energi bisa efektif, ia perlu dilakukan secara rutin. Untuk melakukannya bisa dimulai dengan melakukan observasi dengan tujuan mencari potensi penghematan yang terlihat secara langsung, lalu mengumpulkan data konsumsi energi dengan membuat daftar ruangan dan peralatan elektroniknya serta total konsumsi energinya.
Figure 11 Fadel Iqbal Muhammad (kiri) sedang memberikan materi (Foto:SIEJ)
Audit energi bukan hanya himbauan semata—ia sudah tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 30 Tahun 2023. Aturan ini meminta seluruh pihak untuk melakukan audit energi, terutama bangunan yang memiliki konsumsi energi lebih dari 500 ton tiap tahunnya. Gedung ini diwajibkan untuk menunjuk manajer energi, menyusun program konservasi energi, melakukan audit secara berkala, melaksanakan rekomendasi hasil audit energi, dan melaporkan manajemen energi.
Selain itu, pemerintah juga membuat SNI berbentuk ISO 50001:2018 yang berkaitan dengan sistem manajemen energi. “Pemerintah memberikan memberikan standar materi sertifikasi profesi kepada auditor dan manajer energi bangunan,” ucap Anggraeni Ratri Nurwini, Sub Koordinator Penerapan Teknologi Efisiensi Energi, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM dalam Workshop Efisiensi Energi (11/6/2024). Ia juga menambahkan ke depannya akan ada peraturan menteri turunan PP No. 33 Tahun 2023 yang membahas tentang peraturan manajemen energi di jajaran pemerintah pusat dan daerah.
Figure 12 Wawancara dengan Anggraeni Ratri Nurwini (Foto: Adi Fauzanto)
“Target dari manajemen energi pada bangunan gedung ini diestimasikan dapat menghemat energi sebesar 111,6 ribu ton per tahun atau setara dengan 1,9 triliun rupiah per tahun,” ucap Sripeni Inten Cahyani, Tenaga Ahli Menteri ESDM dalam Seminar Nasional Dekarbonisasi di Sektor Bangunan Gedung.
Untuk akuntabilitas, Kementerian ESDM menerapkan mekanisme pelaporan via Pelaporan Online Manajemen Energi (POEM). Sayang, aplikasi tersebut belum bisa diakses oleh masyarakat umum. "Sepertinya lagi maintenance," klarifikasi Anggraeni.
Ia menambahkan pemerintah akan menegur manajemen gedung yang tidak melaporkan hasil audit energi. Sementara mereka yang konsisten melakukan audit energi dan memangkas konsumsi energi, konservasi energi, serta emisi gas rumah kaca akan diikutkan Penghargaan Subroto di bidang efisiensi energi.
Adanya penghargaan ini diharapkan bisa memicu semangat manajemen gedung untuk mengkonservasi energi. “Ada semakin banyak tim manajemen gedung yang berpartisipasi dalam Subroto Award. Pemenang juga bisa mengikuti kompetisi gedung hijau lainnya, seperti ASEAN Energy Award,” ucap Anggraeni.
Peranti Hemat Energi
Manajemen gedung, mau sehijau apapun, tidak akan bisa maksimal apabila masih menggunakan peralatan elektronik yang tidak ramah lingkungan. Pun peralatan elektronik ramah lingkungan juga tidak akan maksimal apabila penggunanya menggunakannya secara serampangan. Sayangnya, masih banyak orang yang belum paham akan hal ini. Hal ini juga disebut oleh peneliti IESR, Marlistya Citraningrum: “Banyak yang sudah mempraktikkan perilaku konservasi energi, tetapi banyak yang belum paham tentang peralatan elektronik yang efisien atau desain bangunan yang menggunakan energi secara optimal.”
Pernyataan tadi bukanlah anekdot—temuan dari survei CLASP tahun 2020 menunjukkan hanya 6,5% masyarakat Indonesia yang baru sadar mengenai hal ini, dengan Maluku dan Papua sebagai daerah dengan kesadaran tertinggi dan Bali dan Nusa Tenggara Timur-Barat sebagai daerah dengan kesadaran terendah.
(Survey Peralatan Hemat Energi)
Untuk menekan konsumsi energi, manajemen bangunan bisa menggunakan peralatan elektronik yang sudah tersertifikasi standar kinerja energi minimum (SKEM) dan memiliki label tanda hemat energi (LTHE). Skema ini diberlakukan untuk mempermudah kontrol penggunaan energi di tingkat masyarakat. Pengecekan nilai LTHE dan SKEM suatu piranti elektronik bisa dilihat di sini.
Figure 14 Tabel Dinamis Label LTHE milik Kementerian ESDM
"Semakin tinggi bintangnya, maka peralatan tersebut semakin hemat energi," ucap Endra Dedy Tamtama, Koordinator Pengawasan Konservasi Energi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM dalam kegiatan pelatihan efisiensi energi di Bogor (10/6/2024). Ia lalu melanjutkan, “[LTHE dibuat] karena pemerintah tidak bisa mengontrol penggunaan energi di masyarakat, tidak seperti manajemen energi di industri atau gedung.”
Figure 15 Kardus berlabel LTHE (Foto: Adi Fauzanto)
Sampai di tahun 2024 terdapat beberapa alat yang sudah memiliki label tersebut, di antaranya pendingin udara (AC), penanak nasi, kipas angin, kulkas, lampu LED, kulkas warung (showcase), serta televisi. Rencananya, pada tahun 2030 akan ada beberapa peralatan baru yang mendapat label ini, antara lain pompa air, setrika, mesin cuci, dan dispenser.
"Dalam pemberlakuan regulasi terkait SKEM ini, (kita) tidak bisa asal dalam memilih peralatan elektronik, maka dibuat Residential End Use Survey untuk pendataan prioritas apa yang harus diregulasi di masyarakat," ucap Fadel.
Yang menjadi pertanyaan, apakah pemerintah sudah melakukan sosialisasi perihal hal ini? “Jangan sampai pemerintah mendorong sesuatu yang dianggap tidak penting oleh masyarakat,” komentar Rifqi. Ia menambahkan pemerintah juga perlu bersikap transparan. “Bagaimana kita bisa mengakses dan menguji cara mendapatkan data itu di kampus, apakah itu (label) hanya gimik? Bisa saja (bintang lima) jika ditempatkan di kondisi sebenarnya jauh dari harapan (karena berkaitan dengan instalasinya)."
Refleksi Hijau
Pada prinsipnya, membangun dan memelihara bangunan hijau adalah dengan mendukung konservasi dan manajemen energi yang efisien dan ramah lingkungan. Pengelola gedung tidak bisa menyebut gedungnya bersertifikasi hijau hanya dengan menggunakan peralatan elektronik ramah lingkungan. Perlu ada usaha yang lebih, seperti membangun gedung menyesuaikan dengan lingkungan, memastikan gedung bisa dijangkau oleh transportasi umum, audit energi, dan masih banyak lagi.
Namun lebih penting dari hal-hal di atas adalah hubungan antara bangunan hijau dengan lingkungan sekitarnya. Apakah ia membantu lingkungan sekitarnya semakin hijau? Atau malah membuat area sekitarnya semakin gersang? Atau seperti yang diucapkan Yu Sing: “kita tidak bisa menilai sesuatu itu hijau hanya dari bangunan mati atau alat itu hijau. Percuma dia hijau, tapi lingkungannya rusak dan masyarakatnya semakin kesusahan. Terus apanya yang hijau?"
Liputan ini merupakan fellowship efisiensi energi oleh SIEJ (The Society of Indonesian Enviromental Journalist) dan CLASP yang bekerjasama dengan Kementerian ESDM