Manusia adalah makhluk yang unik. Di saat hewan-hewan lain berhenti minum susu di fase bayi, manusia malah tetap minum susu—dari spesies lain pula!—sampai dewasa. Tak hanya itu, susunya juga diolah menjadi yogurt, keju, mentega, es krim, dan masih banyak lagi.
Namun praktek minum susu ini sekarang mulai dikritik. Dari segi kesehatan, banyak remaja dan orang dewasa tidak bisa memproses protein dari susu bernama laktosa alias intoleransi laktosa. Kalau kamu mual, mules, atau diare setelah minum susu, kemungkinan kamu mengidap intoleransi laktosa. Susu juga bukan makanan wajib manusia, toh gizi yang ada di susu seperti protein, lemak, dan vitamin B12 juga bisa didapatkan dari makanan lain.
Ada pula sisi kesejahteraan hewan yang diusung oleh vegetarian dan vegan. Menurut mereka industri peternakan tidak memperlakukan hewan peternakan dengan baik. Sapi dan kambing dipaksa bergerombol di kandang sempit, lembab, dan kotor lalu dipaksa diperah susunya untuk konsumsi manusia. Padahal susu tersebut seharusnya diminum oleh anakan mereka, yang seringkali sudah disapih di usia 6-7 minggu (usia sapih optimal adalah 17 minggu).
Ada juga permasalahan lingkungan. Operasi peternakan berskala besar menghabiskan banyak air dan lahan yang merusak habitat asli banyak hewan. Seolah hal-hal tadi kurang parah, sapi juga memproduksi metana alias gas rumah kaca yang mempercepat pemanasan global… lewat sendawa dan kentut mereka.
Alternatif yang lebih baik?
Karena alasan-alasan itulah para aktivis kesejahteraan hewan dan lingkungan mempromosikan “susu alternatif” atau kalau mau pedantis alias rewel, “pengganti susu sapi”. Di Indonesia debat ini bisa dibilang tidak ada. Ada dua kemungkinan: pertama, masyarakat kita tidak punya budaya minum susu yang kuat; kedua, kita sudah lama familiar dengan susu kedelai (dan selalu menyebutnya sebagai susu kedelai) sehingga argumen seperti ini tidak muncul.
Tapi di negara-negara Barat, isu pelabelan susu adalah isu yang serius. Eropa melarang penggunaan kata “susu” untuk mendeskripsikan produk susu alternatif sejak tahun 2017. Bahkan parlemen Eropa sedang menggodok aturan baru agar susu alternatif tidak boleh menggunakan kemasan yang sama dengan susu sapi.
Pelarangan ini akhirnya diikuti oleh peternak-peternak sapi dari Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Menurut mereka, hanya sapi dan kambing yang bisa diperah sehingga hanya produk mereka yang boleh disebut sebagai “susu”. Pemasaran alternatif susu sebagai “susu” juga dituding sebagai biang kerok turunnya penjualan susu sapi.
Meski dihujani banyak kontroversi, penjualan susu alternatif terus naik setiap tahunnya. Ini karena banyak orang semakin sadar akan kesehatan serta masalah etis dan lingkungan dari peternakan sapi.
Jadi kira-kira produk alternatif susu apa saja ada di pasaran yang 1) kira-kira cocok untuk pencernaan dan 2) dompet?
Bisa dibilang susu alternatif pertama yang pernah kita coba adalah susu kedelai. Ia ada dimana saja dengan harga yang relatif lebih murah dari susu sapi. Tak mengherankan mengingat kedelai di Indonesia harganya murah dan pembuatannya juga mudah. Kedelai yang sudah dibersihkan direbus, digiling, lalu disaring sarinya.
Tapi tahukah kamu kalau susu ini sudah diproduksi sejak abad ke-13 masehi di Tiongkok—atau bahkan lebih awal dari itu?
Susu ini digandrungi masyarakat Tiongkok karena lebih ramah di perut dan lebih murah dibanding susu sapi. Namun susu ini baru populer pada abad ke-18; setiap paginya, orang-orang akan keluar rumah membawa gelas untuk mengantri di pedagang susu kaki lima. Biasanya mereka mengonsumsi susu ini dengan youtiao alias cakwe.
Pengaruh Tiongkok di perdagangan dunia ikut menyebarkan susu kedelai ke benua Eropa. Susu ini disebut muncul di Inggris pada abad ke-14 dan menyebar ke seluruh Eropa daratan tiga abad setelahnya.
Alternatif susu ini semakin dilirik pada abad ke-19. John Ruhräh, seorang dokter anak Amerika Serikat, membuat susu formula dari tepung kedelai sebagai alternatif murah susu sapi. Susu kedelai baru dipatenkan oleh Li Yu Ying, pemilik pabrik susu kedelai di Prancis di tahun 1910 dan melakukan hal yang sama di Amerika Serikat pada 1913. Sejak saat itu susu kedelai menjadi susu pilihan komunitas vegetarian yang terus tumbuh di Eropa dan Amerika Serikat.
Komposisi gizi susu kedelai juga tak kalah dengan susu sapi. Segelas susu kedelai tanpa gula (240ml) memiliki 80 kalori, 4 gram karbohidrat, 4 gram lemak, dan 7 gram protein. Fun fact: kadar proteinnya hanya sedikit lebih rendah dari segelas susu sapi (8,14 gram).
Sekarang ketenaran susu kedelai tak lagi sebenderang dulu. Pasalnya sekarang ada banyak alternatif susu lain, seperti susu oat, beras, almond, dll yang rasanya tidak se-”langu” susu kedelai. Namun untuk soal harga dan profil gizi, susu kedelai tetap paling murah dibanding susu-susu alternatif lainnya. Hidup susu kedelai!
Bagi kita, susu ini cukup membingungkan. Bukan, susu kelapa tidak sama dengan santan meskipun sama-sama dibuat dari daging kelapa tua yang diparut. Santan yang umumnya digunakan untuk masakan dan campuran minuman memiliki kadar lemak yang tinggi (25-50%). Sedangkan susu kelapa yang biasa diminum sebagai pengganti susu memiliki kadar lemak sangat rendah (0-0,15%).
Karena memiliki profil rasa gurih dan kental, susu kelapa sering digunakan sebagai tambahan susu alternatif lainnya. Penambahan ini dilakukan agar susu alternatif memiliki rasa creamy yang hampir sama dengan susu sapi.
Tapi susu ini sepertinya masih jarang untuk diminum sendiri tanpa tambahan apa-apa… Kecuali kamu penganut diet keto.
Kalau kamu sering pergi ke kedai kopi kekinian, ada kemungkinan kamu mengganti susu sapi ke susu almond untuk pesanan lattemu.
Susu almond memang baru terdengar namanya sekarang, tapi eksistensinya sudah tercatat sejak abad ke-13 di Kitab al-tabik (Buku Resep Baghdad) yang ditulis oleh al-Baghdadi dkk. Sejarawan Caroline W. Bynum menulis susu almond digunakan sebagai pengganti kaldu daging merah di hari puasa bangsawan Kristiani abad pertengahan. Namun, susu ini kian tidak populer sejak tradisi puasa semakin menurun.
Susu almond dianggap sebagai produk langka yang hanya dikonsumsi sedikit orang sampai tahun 2000an. Orang-orang Amerika Serikat yang dulunya ketagihan susu sapi berkat kampanye Got Milk?, tiba-tiba beralih ke susu kedelai di akhir ‘90an. Tapi banyak orang yang tidak suka rasa kacang dari susu kedelai, jadilah mereka beralih ke susu almond.
Menariknya, sebelum dikenal oleh pasar kedua susu ini hanya dikonsumsi oleh konsumen yang alergi susu sapi, vegetarian, atau mereka yang ingin susu rendah kalori. Susu almond dan susu kedelai baru dikenal dan diperebutkan publik kala perusahaan menaruh keduanya di rak kulkas yang sama dengan susu sapi.
Meskipun dianggap sebagai pengganti susu sapi nomor wahid, kandungan gizi susu almond lebih rendah dibandingkan susu sapi. Segelas susu almond memang hanya mengandung 39,3 kalori, tapi akibatnya rendah kandungan protein dan karbohidrat. Beberapa mineral yang ada di susu almond seperti zat besi, seng, dan magnesium kurang bisa diserap oleh tubuh karena kandungan zat asam fitat.
Dari segi rasa, susu almond terasa lebih cair dan tidak se-creamy alternatif susu lainnya. Harganya pun lebih mahal dari susu kedelai, tapi tidak semahal susu oat.
Sama seperti susu almond, susu oat masuk ke kesadaran pasar Indonesia lewat kedai kopi kekinian. Saya sendiri baru tahu eksistensinya ketika % Arabica, franchise kedai kopi Kyoto, masuk Indonesia pada awal tahun 2021.
Soal sejarah, susu oat terhitung masih sangat belia dibandingkan kakak-kakaknya. Ia sendiri baru dibuat oleh Rickard Öste, seorang ilmuwan pangan Swedia pada awal 1990an. Saat itu ia meneliti alternatif susu selain kedelai dan almond bagi mereka yang intoleransi laktosa atau alergi kacang.
Ia kemudian bereksperimen dengan oat, salah satu produk tani unggulan Swedia. Ia menambahkan oat, enzim, dan air lalu… ta da! Lahirlah susu oat dan Oatly, raksasa susu oat pertama dunia.
Untuk profil gizi, susu oat memiliki kalori yang sama dengan segelas susu sapi, tapi dengan kandungan gizi yang biasa saja dibandingkan susu kedelai. Susu oat tinggi karbohidrat (14 gram—tidak mengherankan mengingat oat merupakan biji sereal), 4 gram protein, 2,5 gram lemak, dan 2 gram serat.
Namun Oatly sempat dikritik habis-habisan. Jeff Nobbs—ahli marketing, bukan ahli gizi, FYI—mengatakan Oatly tidak sesehat yang diklaim karena mengandung maltosa dari enzim yang membantu pembuatan susu oat mereka dan minyak kanola (berfungsi untuk membuat susunya membuih) yang memiliki kandungan lemak jenuh yang tinggi. Ia menuding segelas (250ml) Oatly mengandung indeks glikemik 105, setara dengan segelas Coca-Cola dan lemak jenuh yang setara kentang goreng porsi medium.
Oatly kemudian merespon klaim Nobbs, yang kelak di-update di tulisan terbarunya. Nobbs mengoreksi perhitungannya tapi tetap bersikukuh bahwa Oatly—atau susu oat lainnya yang dijual secara umum—tidak sesehat yang mereka klaim.
Argumen Nobbs disanggah oleh Colin Groundwater yang menganggap Nobbs terlalu melebih-lebihkan efek buruk Oatly. Justru, tulisnya, fokusnya seharusnya diberikan ke strategi pemasaran Oatly yang gila-gilaan karena hal inilah yang membentuk persepsi soal suatu makanan ke konsumen.
Tapi kalau kalian suka susu oat dan ingin alternatif yang lebih baik dari susu oat pasaran, kalian bisa membuat susu oat sendiri. Lebih murah juga dari beli di toko (asal punya semua alatnya. Hehehe…).
Bukan, ini bukan air tajin. Susu beras dibuat dari beras coklat yang direndam, lalu digiling dan disaring sampai tak ada ampas yang tersisa.
Ada pula horchata, varian susu beras dari Meksiko. Horchata dibuat dari beras putih yang telah direndam bersama stik kayu manis dan almond. Bahan-bahan yang telah melunak digiling sampai menjadi bubuk. Setelahnya tambahkan susu evaporasi dan saring sampai tak ada sisa ampas bubuk.
Sama seperti susu oat, susu beras tinggi karbohidrat dan rendah kandungan protein, lemak, kalsium, dan mineral-mineral penting lainnya. Oleh karena itu susu beras yang dijual di pasaran difortifikasi dengan berbagai vitamin. Kalau kalian tidak yakin dengan susu yang dijual di pasaran, membuatnya sendiri bisa jadi alternatif yang lebih baik.
Susu alternatif lebih baik dari susu sapi?
Banyak orang memilih susu alternatif dibanding susu sapi karena alasan lingkungan atau kesehatan. Asumsinya, susu alternatif memiliki jejak karbon yang lebih rendah dan tidak tersandung masalah etis, tapi apakah ini benar?
Jika hanya melihat dari gas rumah kaca yang diproduksi, susu sapi memiliki jejak karbon paling besar, diikuti oleh almond. Namun, perhitungan ini bisa berubah jika kita memasukkan faktor-faktor seperti eksploitasi manusia di negara-negara eksportir (salah satunya Indonesia), penanaman almond di daerah gersang dan banyaknya lebah yang mati di perkebunan almond.
Dari sisi kesehatan dan harga, hanya susu kedelai yang bisa menyaingi susu sapi. Namun banyak orang yang tak suka dengan profil rasanya atau alergi dengan kedelai. Alternatif yang lebih mahal seperti susu oat dan almond jauh lebih enak. Masalahnya, keduanya memiliki kadar karbohidrat yang lebih tinggi. Ini membuat transisi dari susu sapi ke alternatif yang lebih ramah lingkungan sulit dilakukan dalam konteks Indonesia.
Susu alternatif juga tergolong produk pangan yang diproses berlebihan. Ada banyak zat tambahan seperti mineral, gula, minyak, dan pengawet agar susu lebih tahan lama dan lebih enak di lidah. Sayangnya ini berarti orang-orang di spektrum neurodivergent, epilepsi, dan diabetes harus lebih berhati-hati dalam mengonsumsi alternatif susu.
Pada akhirnya kalau kamu percaya apa yang kamu konsumsi membantu dalam meredam jejak karbon, mengkonsumsi susu alternatif adalah pilihan yang tepat.