Sebulan belakangan orang-orang Jakarta yang berkantor di area Sudirman, Thamrin, dan Kuningan dikejutkan dengan banyaknya remaja ‘Citayam’ nongkrong seru-seruan di area halte terintegrasi Dukuh Atas.
Para pengguna MRT dengan lanyard Coach dan handbag YSL ini kaget karena tiba-tiba harus berbagi ruang dengan banyak sekali bocah yang asyik mejeng bergaya namun mengenakan outfit tiruan murahan, dengan wajah-wajah yang sepertinya tidak pernah kena 7 step skincare routine.
Istilah Citayam Fashion Week pun muncul untuk menjuluki fenomena ini. Padahal, para remaja ini tidak hanya berasal dari Citayam melainkan juga dari Ancol, Tanjung Priok, Cakung, dan daerah-daerah satelit lainnya. Citayam dijadikan wakil dari area-area pinggiran dengan kelas sosial ekonomi berkekurangan tempat bocah-bocah ini berasal.
Lucunya, setelah memicu berbagai perdebatan soal kesenjangan kelas di sosial media, sengkarut Polisi yang mengancam “menertibkan dan membubarkan” tongkrongan karena dianggap kotor, serta laporan-laporan komprehensif soal minimnya ruang publik di kota-kota penyangga Jakarta, kini fenomena ini malah naik daun dan ditanggapi positif.
Banyak agen periklanan mulai melihat Citayam Fashion Week punya potensi untuk mendongkrak produk yang mereka promosikan, dan mencoba menggandeng beberapa tokohnya untuk meningkatkan engagement. Beberapa jubirnya seperti Jeje dan Bonge menjadi terkenal dan membuka rate jutaan rupiah untuk mengunggah iklan di akun media sosial pribadi mereka. Sebuah agen periklanan malah menuai kecaman karena ingin menyalin gaya jalanan mereka dengan talent-talent yang dianggap lebih “berkelas”.
Para politisi seperti Gubernur Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga mulai berselancar di gelombang pasang Citayam Fashion Week. Mereka membawa tim untuk mengabadikan para pejabat ini melenggang di zebra cross Dukuh Atas, dan mengunggah potret-potret itu di Instagram dengan caption yang bernada mendukung kegiatan anak muda ini.
Yang tadinya dianggap kumuh, mengotori jalan, dan tidak tertib, sekarang dianggap asik, kreatif, dan positif.
Kooptasi Budaya
Sepanjang sejarah, uang dan politik selalu mengikuti tren. Ironisnya, seringkali tren tersebut dimulai oleh kalangan kelas pekerja yang menginisiasinya sebagai bentuk perlawanan. Fenomena Citayam Fashion Week mengikuti pola ini: dimulai oleh orang miskin, diadaptasi oleh kelas menengah, lalu dimonetisasi oleh kapitalis.
Dalam konteks politik, inilah yang disebut “class compromise” oleh sosiolog University of Wisconsin Erik Olin Wright: hubungan antara penguatan kelas pekerja dan hasrat eksploitatif kaum kapitalis pada satu titik mencapai titik keseimbangan. Persis di sinilah—jika kata ini masih bisa dipakai—’kooptasi’ dimulai.
Di Amerika Serikat, kooptasi budaya ini banyak dikeluhkan oleh kaum kulit hitam dan latin yang merasa estetika mereka dikooptasi oleh anak-anak gaul kulit putih. Penulis fesyen Serena Brown mengeluh ketika rumah-rumah haute couture memproduksi pakaian-pakaian tracksuit yang nyaman.
“[Tracksuits] adalah pakaian orang rendahan,” katanya. “Kami sering kali dianggap katrok atau bahkan terlihat berbahaya ketika kami mengenakannya.”
Brown marah ketika Gucci, Balenciaga, dan Louis Vuitton menjual tracksuit dengan harga selangit, dan dipopulerkan di kalangan orang kaya oleh selebritis seperti Kylie Jenner dan Ariana Grande.
“Orang-orang miskin jadi tidak mampu ambil bagian dari tren yang mereka ciptakan,” katanya. “It’s literally gentrifying fashion.”
Tidak hanya estetika fesyen, musik orang hitam pun direnggut oleh orang kulit putih dan dirayakan di panggung yang hanya bisa diakses oleh mereka.
Orang-orang kulit hitam hanya bisa geleng-geleng ketika The Beach Boys dipuja-puja setelah merilis Pet Sounds (1966) dan mengukuhkan musik rock ‘n roll sebagai musik bule, walau grup itu meniru banyak unsur dari musik yang muncul di kalangan pekerja kulit hitam.
Di dalam negeri, perdebatan sengit soal bisnis curated thrifting mungkin adalah contoh yang pas.
Indonesia masih menerima limbah pakaian bekas dari luar negeri, dan baju-baju ini dijual karungan kepada pedagang yang akan memasarkannya di toko-toko dengan label “SISA IMPOR” atau “SISA EKSPOR”. Baju-baju bekas ini menjadi pilihan orang-orang dengan ekonomi rendah karena harganya jauh lebih murah daripada baju baru di gerai-gerai fesyen di mal.
Anak-anak muda perkotaan juga senang dengan kegiatan berburu baju bekas ini, karena di antara tumpukan baju-baju yang kotor dan bau sering kali ditemukan model-model baju yang unik atau merk ternama yang harga aslinya sangat tinggi. Di Jakarta dan sekitarnya, kegiatan ini disebut ngaduk. Di Jogja dan Jawa Tengah, kegiatan ini disebut ngawul.
Pebisnis curated thrift mencium potensi ekonomi limbah fesyen ini. Mereka pergi ngawul di pasar yang panas dan bau, terkadang sampai keluar kota. Mereka membawa pulang baju-baju pilihan yang kemudian dicuci bersih, disetrika, dikenakan ke model, dipotret dengan estetika ciamik, lalu diunggah ke Instagram. Pembeli cukup memilih koleksi yang mereka inginkan dari kenyamanan kamar tidur mereka yang wangi dan adem. Untuk kemudahan itu mereka bersedia membayar ratusan ribu rupiah, seringkali lebih mahal daripada harga rata-rata baju baru.
Bisnis curated thrift bisa mendatangkan cuan jutaan rupiah tiap bulan bagi pebisnisnya. Namun, mereka juga harus menahan panasnya kuping dari orang-orang yang menuduh mereka menjual baju bekas jauh di atas harga pasaran, dan mencuri trend dari orang-orang miskin.
Impor ‘budaya gembel’
Musik rock, punk, metal, dan segala turunannya menjamur di Inggris dan Amerika lewat tongkrongan anak-anak kelas pekerja. John Lennon lahir dari keluarga orang susah dan orangtua Ozzy Osbourne adalah buruh pabrik.
Tapi, musik-musik ini masuk Indonesia menumpang bagasi anak-anak orang kaya yang kuliah di luar negeri.
Budaya gembel luar negeri ini pun jadi salah satu yang ditiru oleh anak-anak gaul Indonesia dan akhirnya menyebar menjadi subkultur di dalam negeri.
Menurut berbagai catatan, punk masuk Indonesia lewat Ondy Rusdy dari band Submission yang sempat kuliah ke Amerika Serikat, Effi dari band Punktat yang kerap bolak-balik Jerman, dan teman-teman menengah ke atas mereka. Menurut wawancara Effi dengan CNN, Ondy punya kerabat dekat orang pangkat di Militer. Rumahnya besar dan bebas ditongkrongi anak-anak muda yang gemar mendengarkan rilisan-rilisan yang ia bawa dari luar negeri.
Ondy dkk., yang juga suka nongkrong di pub di Pondok Indah, mendirikan kolektif Young Offender pada awal 1990an. Dari sini muncul berbagai band cadas dari berbagai genre seperti Pestolaer, Wonder Gel, The Fly, Chapter 69 dan lain-lain. Uniknya, gaya berpakaian urakan, musik pekak, serta ideologi anti kemapanan ternyata menarik bagi anak-anak muda lintas kelas di bawah pemerintahan Soeharto. Banyak anak muda kelas bawah baik dari Jakarta maupun dari kota-kota kecil di semua provinsi di Indonesia pun mengadaptasi fesyen dan ideologi punk, hingga saat ini.
Tapi tetap saja, hanya bocah berduit yang mampu membeli brand-brand fesyen yang identik dengan punk, misalnya sepatu boot Dr. Martens yang tadinya populer di kalangan punk Inggris karena merupakan sepatu paling awet dan tangguh untuk dipakai mburuh. Rilisan-rilisan piringan hitam band-band punk luar dengan lirik politis dan kritik sosial juga laris diimpor oleh record store dalam negeri. Yang bisa beli tentu saja mereka yang rajin menabung, atau yang banyak duit.
Yang dianggap gembel oleh bule, digandrungi oleh anak-anak gaul dalam negeri.
Gembel by Choice
Pada 2018-an, kalangan anak SMA di Amrik punya sebutan derogatif “hot cheeto girl” bagi gadis-gadis kulit hitam atau latina yang punya karakteristik berikut ini: suka pakai anting-anting hoop earrings besar, kuku palsu panjang, mengenakan hoodie Trasher, dan selalu ngunyah citos pedes. Gadis-gadis ini juga selalu punya pembawaan yang dianggap ghetto: suaranya keras dan cablak, malas belajar, dan suka nyontek. Singkatnya, kebalikan dari citra gadis bule baik-baik dari keluarga baik-baik yang tinggal di daerah suburban baik-baik.
Uniknya, pada satu titik trend ini pun diikuti oleh cewek-cewek kulit putih! Fenomena white hot cheeto girl yang suka mejeng di TikTok sempat bikin alis terangkat. Kok kalau cewek-cewek kulit hitam yang dandan begitu mereka dianggap nggak banget, tapi kalau mbak-mbak kulit putih yang dandan begitu mereka dibiarin aja?
Ya kurang lebih mirip fenomena Citayam Fashion Week yang sekarang kabarnya dibanjiri oleh para content makers asal Jaksel, dan menggeser anak-anak ‘Citayam’ kembali ke pinggiran, hehe.