Glass Cliff: Ketika Perempuan Diangkat Jadi Bos untuk Dikambinghitamkan

Untuk membuktikan bahwa diri mereka sama kompetennya atau untuk menjadikan mereka tumbal?
 

Elizabeth Truss hanya bertahan selama 45 hari sebagai Perdana Menteri Inggris. Pemerintahannya yang begitu pendek dipenuhi tragedi; dari kematian Ratu Elizabeth II, program pemotongan pajak (tax-cuts) untuk korporat dan populasi 1% Inggris di tengah krisis ekonomi, serta pemotongan budget untuk National Insurance (semacam BPJS-nya Inggris), dipecatnya kanselir Kwasi Kwarteng yang kemudian digantikan oleh Jeremy Hunt, mundurnya salah satu staf loyalisnya, Suella Braverman, karena kesalahan bodoh, yang berujung ke partainya sendiri menolak mendukung pemerintahan Truss. 

 

Program ekonomi Truss berujung kacau. Pound terperosok jauh yang kemudian memaksa Bank of England untuk mengintervensi supaya dana pensiun masyarakat tidak berkurang nilainya dan bunga cicilan rumah tidak semakin mencekik. Masyarakat Inggris sangat kecewa dengan pemerintahan Truss, dibuktikan dengan 80% pemilih Inggris tidak menyukai kinerjanya.

 

Dari satu tragedi ke tragedi lainnya, Truss memilih untuk mengundurkan diri. Pemerintahannya yang begitu pendek memicu banyak ledekan–dari kol yang bisa bertahan lebih lama dari pemerintahannya sampai ke pertanyaan dan serangan seksis tentang kehidupan pribadinya dan kecerdasannya.

 

Namun yang paling penting dari tragedi Truss ini adalah bagaimana ia bisa diangkat sebagai perdana menteri. Ia dipilih karena parlemen butuh pengganti Boris Johnson secepatnya. Truss menang melawan Sunak, koleganya dari Partai Konservatif. Kemenangan Truss cukup mengejutkan mengingat Sunak sempat unggul. 

 

Kemenangan itu tidak menjamin posisi aman. Rakyat Inggris punya kepercayaan yang rendah karena ia dipilih oleh parlemen, sedangkan partai dan parlemennya–ironisnya!–tak cukup percaya  ia bisa bertahan hingga Natal sejak Truss dan Kwarteng mengeluarkan program ekonominya. 

 

Truss bukan satu-satunya perempuan yang mendapat posisi kepemimpinan kala negara atau perusahaannya sedang dalam posisi krisis. Keluhan soal perempuan di posisi kepemimpinan ini setidaknya sudah tercatat sejak awal 2000-an. Jurnalis Elizabeth Judge pada 2003 mengeluhkan CEO-CEO perempuan justru membuat posisi dan profit perusahaan semakin menurun. Hal ini memantik obrolan baru–benarkah perempuan membuat perusahaan semakin jatuh atau justru kebalikannya? 

 

Pertanyaan ini dijawab oleh peneliti dari University of Exeter. Hasilnya menarik, karena perempuan justru baru dilantik ketika performa perusahaan sedang buruk alih-alih kebalikannya. Pola yang sama justru tidak terlihat di laki-laki. Fenomena inilah yang kemudian disebut sebagai glass cliff. 

 

Berbeda dengan glass ceiling dimana perempuan dibuat kesulitan untuk mendapat promosi, glass cliff justru merujuk ke situasi dimana perempuan dilantik di posisi kepemimpinan ketika negara atau perusahaan sedang mengalami krisis, hanya dengan dukungan minimal atau bahkan tanpa dukungan sama sekali. Situasi Truss secara sempurna menggambarkan kondisi ini. 

 

Untuk menguji kenapa glass cliff bisa ada, Susanne Bruckmüller dan Nyla R. Branscombe melakukan penelitian. Mereka meminta 119 mahasiswa untuk membaca dua artikel tentang perusahaan makanan organik; artikel pertama membahas tentang CEO yang mau pensiun dan artikel kedua membahas tentang situasi perusahaan–satu membahas tentang perusahaan yang sedang tumbuh, satunya lagi menceritakan perusahaan yang menutup cabang-cabangnya dan memecat pekerjanya. Para mahasiswa kemudian disuruh memilih dua kandidat yang mumpuni untuk posisi CEO, satu perempuan dan satunya lagi laki-laki. 

 

Hasilnya mengejutkan: ketika perusahaan sedang berjalan dengan baik, 62% mahasiswa memilih CEO laki-laki. Ketika perusahaan sedang dilanda kesulitan, para mahasiswa malah memilih CEO perempuan. Keduanya menyimpulkan bahwa sejarah kepemimpinan suatu perusahaan dan asumsi seksis tentang gender dan kemampuan memimpin berkontribusi ke glass cliff. Perusahaan yang sedang krisis diasumsikan bisa kembali bagus kalau dipimpin oleh pemimpin perempuan yang diasumsikan punya komunikasi yang baik dan bisa lebih mengayomi dibanding laki-laki. 

 

Penelitian lainnya soal glass cliff yang dilakukan oleh Kulich, Gartzia, Kommaraju, dan Aelenei (2021) menunjukkan pemimpin perempuan lebih dipilih ketika perusahaan sedang mengalami krisis relasi, diikuti oleh krisis finansial, dan terakhir ketika tidak ada krisis. Ini penting mengingat penelitian ini menunjukkan perempuan lebih dipilih bahkan ketika sifat-sifat yang lekat dengan feminitas dianggap kurang cocok untuk menangani krisis tersebut.  

 

Hal ini masih membingungkan mengingat perempuan masih sering dianggap tak cocok memimpin perusahaan dan negara, bahkan ketika krisis sekalipun. Banyak keputusan yang diambil oleh pemimpin perempuan berujung kurang populer. Tingkat kepercayaan pada mereka juga cenderung rendah, padahal kepercayaan erat kaitannya dengan seberapa besar kuasa yang bisa didapatkan oleh pemimpin.  

 

Yang lebih membuat garuk-garuk kepala adalah meskipun pemimpin perempuan punya performa yang bagus, ia tak serta-merta membuat penilaian publik membaik. Sektor perbankan yang mendapat efek positif dari pemimpin dan manajer perempuan pun tetap dipenuhi oleh pemimpin dan manajer laki-laki

 

Namun bukan berarti para perempuan ini secara sengaja diberikan posisi kepemimpinan kala dunia sedang digonjang-ganjing krisis. Ada pemimpin perempuan yang secara sengaja memilih membuat keputusan yang cukup krusial atau yang bisa menentukan kesuksesan perusahaan mereka. Kesempatan-kesempatan ini mereka gunakan untuk menunjukkan bahwa mereka sama kompetennya dengan kolega-kolega laki-laki mereka. Keputusan ini memang mengagumkan, tapi juga menunjukkan seberapa sulitnya perempuan untuk membuktikan diri mereka sendiri. 

 

Ya, beginilah sedihnya tinggal di dunia yang memandang kompetensi perempuan dengan sebelah mata.