Di Mana Ada Amis, Di Situ Ada Gosip

"Dian itu kerjanya apa ya? Kok ada yang bilang kalau kerjaannya nggak benar,” ucap Bu Tejo ke Bu Tri yang mendengarkan dengan khidmat. "Ada yang bilang kalau kerjaannya keluar masuk hotel gitu loh.” lanjut Bu Tejo. 

Yu Ning yang panas mendengar gosip tidak mengenakkan soal keponakannya langsung menyanggah. "Siapa tau lagi nganter tamu wisata, Bu.”

Potongan di atas adalah cuplikan dialog Tilik (2018) besutan Wahyu Agung Prasetyo. Film yang viral pada 2020 ini tak hanya berhasil menggambarkan kehidupan kampung di Yogyakarta, tapi juga membuka banyak diskusi. Salah satunya tentang stereotip perempuan dan bergosip

Di Tilik, gosip digambarkan sebagai suatu hal yang negatif. Benarkah?

Menilik Asal-Usul Gosip

Gosip sebetulnya memiliki sejarah panjang. Robin Dunbar, antropolog sekaligus psikolog evolusioner berteori bahwa gosip yang kita lakukan sekarang merupakan versi manusia dari perawatan diri para primata. Para primata saling menggaruk punggung satu sama lain sebagai cara untuk memperkuat hubungan sosial. 

Primata kemudian berkembang menjadi hominid, lalu berkembang lagi menjadi homo atau manusia purba. Berbeda dengan sepupu hominid lainnya, manusia purba jauh lebih cerdas dan sosial. Kehidupan berkelompok mereka jauh lebih besar sehingga dicarilah cara lain yang lebih efisien untuk bersosialisasi. Gosip pun akhirnya menjadi pelumas dan perekat hubungan sosial paling tokcer.

Seiring waktu, manusia membentuk kelompok yang jauh lebih besar dengan tatanan sosial yang lebih rumit pula. Gosip yang awalnya bisa mendekatkan hubungan, malah menghancurkannya. Jadilah agama melarang gosip. Kitab Talmud adalah yang pertama melarang membicarakan hal-hal buruk soal orang lain. Ajaran ini juga disebutkan di Alkitab dan Al Qur’an.

Lalu kenapa gosip erat kaitannya dengan perempuan? Kemungkinan karena para ibu-ibu abad ke-17 yang sedang menunggu kelahiran anaknya sering membicarakan suami, keluarga, dan tetangga mereka—ya pokoknya orang-orang yang tak ada di ruangan itu—bersama para suster dan bidan. Maklum, menunggu anak lahir butuh waktu berjam-jam sampai berhari-hari, jadi apa lagi yang bisa mereka lakukan selain ghibah?

Kebiasaan mereka ini akhirnya disebut sebagai "gosip”. Saking seringnya kata ini digunakan, kata "gosip” sampai digunakan di Alkitab versi Raja James, menggantikan istilah "pembisik” (whisperer) dan "pembawa cerita” (talebearer) yang umumnya memiliki konotasi negatif.

Pandangan negatif soal gosip terus eksis hingga sekarang. Pandangan negatif soal gosip paling terlihat di lingkungan kantor. Ini karena gosip, menurut orang-orang Human Resources, adalah penyebab utama kondisi kantor yang tidak kondusif. Gosip dianggap memantik konflik, mengikis kepercayaan antar pegawai, menurunkan moral, serta menghambat kerja tim. Lebih pentingnya lagi, gosip kantor juga merusak usaha untuk membuat sistem komunikasi yang sehat, profesional, dan terbuka di tempat kerja. Tak mengherankan kalau ada yang menyebut gosip sebagai bentuk kekerasan di tempat kerja.

Tapi, seperti layaknya gosip, kita juga perlu mempertanyakan klaim itu. Apa betul semua jenis gosip di kantor 100% berbahaya?

Mematahkan mitos dan prasangka tentang gosip

Penelitian-penelitian empiris sebelumnya tentang gosip justru mematahkan mitos seputar gosip. Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Robbins dan Karan (2020) dengan responden mahasiswa S1 berbagai universitas Amerika Serikat menunjukkan sekaligus mengkonfirmasi ulang bahwa ⅔ gosip bernada netral atau bahkan positif. 

Penelitian ini  juga mematahkan pandangan bahwa hanya perempuan yang bergosip. Baik laki-laki maupun perempuan bergosip, tapi perempuan cenderung lebih sering bergosip tapi bernada netral. Sedangkan laki-laki lebih sedikit bergosip tapi nadanya lebih negatif daripada perempuan. 

Orang-orang ekstrovert dan ramah juga cenderung lebih suka bergosip dibanding yang introvert dan tertutup. Ini mendukung teori Dunbar yang menyatakan gosip sebagai lem sosial manusia.  

Temuan menarik lainnya adalah orang-orang belajar norma sosial lewat bergosip. Mungkin hal ini pula yang menyebabkan anak-anak muda lebih sering bergosip buruk dibanding orang-orang tua. Kemungkinan karena 1) keinginan untuk bergosip negatif semakin turun seiring bertambahnya umur dan 2) banyak kelakuan kita saat muda yang memalukan sehingga lebih rawan dijadikan bahan gosip.

Karena mayoritas bersifat netral, gosip menjadi sarana yang tepat untuk mengumpulkan informasi di ruang kerja. Tak hanya itu, gosip juga membuat kita bisa mengetahui apa saja yang terjadi ketika waktu dan perhatian kita disedot oleh pekerjaan. Bayangkan, Anda sedang istirahat makan siang di pantry sambil membicarakan kebiasaan si anu yang sering telat kirim pekerjaan di Slack. Perilaku seperti ini bukan hanya menyindir si anu, tapi juga sebagai bentuk kontrol sosial supaya orang-orang di situ tidak melakukan hal yang sama.

Tapi kan sekarang zamannya WFH, memangnya ngegosip sama rekan kantor masih ada? Jawabannya tentu saja masih ada! Bedanya aktivitas gosip ini berpindah ke email, video call via Zoom atau Google Meet, pesan Slack, WhatsApp, atau platform pesan lain. Bahkan ada kemungkinan frekuensi gosip kantor selama pandemi semakin meningkat berkat ketidakyakinan yang juga ikut naik.

Namun, perpindahan gosip ke media baru ini bisa membuat gosip secara tidak sengaja dibaca oleh orang yang dibicarakan. Atau lebih buruknya lagi, sengaja disebarkan ke orang yang sedang diomongkan karena alasan tertentu.

Akhir kata, gosip tidak selalu buruk—selama tidak menjelek-jelekkan seseorang atau sampai menyakiti hati. Gosip juga bisa menjadi penanda bahwa ada sesuatu yang salah di suatu lingkungan. Orang-orang yang menjadi korban perundungan atau pelecehan cenderung menceritakan kejadiannya ke orang lain dengan janji anonimitas. Sayang keuntungan ini juga bisa disalahgunakan oleh orang-orang untuk merundung atau menyudutkan seseorang.

Jadi bijaklah ketika bergosip, ya.