Hai Mahasiswa, Kita Berada di Masa IPK Selangit, tapi Dapat Pekerjaan Tetap Sulit
TL;DR:
-Komite Harvard pernah mengajukan komplain bahwa para profesor terlalu gampang memberi nilai A dan B.
-Pada tahun 2021 rata-rata IPK program sarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) hanya 3,34. Naik menjadi 3,57 pada tahun 2023.
-Perusahaan menyadari IPK dan lulusan cum laude semakin naik, sehingga kriteria seleksi diperketat dengan meminta kandidat pekerja memiliki IPK di atas 3,50.
Ada satu pertanyaan eksistensial yang terus menghantui dari sebelum mengikuti ospek sampai skripsi, “Apa saya bisa lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) cum laude?” Setelah lulus, pertanyaannya berubah menjadi, “Apa saya bisa dapat pekerjaan layak dengan IPK cum laude?”
Empat tahun setelah saya lulus, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden dengan IPK 2,3 dari—mengutip Kompas—kampus Singapura bernama Management Development Institute of Singapore, agen yang bekerja sama dengan University of Bradford, di jurusan Marketing pula.
Membaca berita itu membuat saya yang lulus dengan IPK cum laude tapi kerjanya (hanya) sebagai editor publikasi Jaksel–yang tidak terkenal–jadi terhenyak. Cukup lama di depan laptop sambil berpikir, “Gini amat nasib pekerja di bawah kapitalisme lanjut.”
[gambar Ann ngerasain impostor syndrome trus ada gambar Gibran ngetawain ngelilingin Ann]
Sayang, saya bukan satu-satunya yang lulus dengan pujian tapi punya karier biasa-biasa saja. Heran? Jangan, karena setiap tahun Indonesia mendapat belasan sampai puluhan ribu lulusan cum laude, baik dari kampus negeri maupun swasta. Rata-rata IPK juga terus naik, ambil contoh Universitas Gadjah Mada (UGM), rata-rata IPK lulusan program sarjana di tahun 2023 adalah 3,57. Bandingkan dengan rata-rata IPK tahun 2021 yang “hanya” 3,34. Fenomena ini tak hanya menjangkiti UGM; ITB, IPB, dan UIN juga.
KV Statistik Cumlaude IPB, ITB, UIN - Google Docs
Fenomena IPK yang terus naik tidak hanya menjangkiti kampus Indonesia, tapi juga kampus seluruh dunia. Mahasiswa Harvard yang notabene kampus terbaik dunia punya rata-rata IPK 3,8. Apa ini artinya mahasiswa sekarang makin pintar, atau dosen yang semakin murah hati memberi nilai?
Naik, Naik, dan Terus Naik
Kenaikan nilai mahasiswa beberapa dekade ke belakang sebetulnya bukan fenomena baru. Komite Harvard pernah mengajukan komplain bahwa para profesor terlalu gampang memberi nilai A dan B.
“Nilai A diberikan untuk karya yang sebetulnya tidak sebagus itu, sementara nilai B diberikan ke karya yang ‘sekadar layak’. Ini adalah permasalahan utama dalam meningkatkan kualitas pendidikan karena mahasiswa yang kurang tekun bisa mendapatkan nilai baik dengan pekerjaan yang mengada-ada.”
Komplain tadi dibuat pada tahun 1883 dan sayangnya, tidak ada perubahan sampai sekarang. Justru yang terjadi adalah nilai IPK terus naik sampai ke titik jenuh—terjebak di angka 3,8 sampai 4,00 alias nilai maksimal. Kenaikan IPK Harvard juga tidak main-main; tahun 1990, rata-rata IPK adalah 3,30. Dua dekade setelahnya, rata-rata IPK naik menjadi 3,80.
Kenaikan IPK Harvard yang drastis ini mungkin ada hubungannya dengan fakta bahwa Harvard adalah kampus swasta. Kampus swasta—terutama swasta bagus yang mahasiswanya mayoritas dari keluarga kaya—punya kecenderungan untuk mengatrol nilai. Perbedaannya pun cukup signifikan, rata-rata IPK kampus swasta Amerika Serikat ada di angka 3,3 sementara kampus negeri berada di angka 3,0.
Sayangnya, Indonesia tidak memiliki data perbedaan IPK antara kampus swasta dengan kampus negeri. Tapi data nasional Pangkalan Data Pendidikan Tinggi menunjukkan praktik katrol nilai itu nyata. Rata-rata IPK tahun 2021 adalah 2,91 sementara tahun 2022 naik menjadi 3,15. Kenaikan IPK hampir pukul rata di semua daerah dan bidang ilmu.
[masukin data dari Tabel IPK Indonesia - Google Sheets. Ambil data per bidang ilmu sama rata-rata per daerah.
Grafik baru lagi, [perbandingan rata-rata IPK Teknik tahun 2021 3,06; 2022 3,23. MIPA tahun 2021 3,08; tahun 2022 3,24. Sosial tahun 2021 3,18; tahun 2022 3,36. Humaniora tahun 2021 2,74; 2022 3,15].
Progress liputan Inflasi Cumlaude - Google Sheets
Dari data di atas, bisa dilihat bahwa rata-rata IPK Jurusan Ilmu Sosial dan Humaniora (Soshum) lebih tinggi dibanding rata-rata IPK Jurusan Sains dan Teknologi (Saintek). Tren ini memang sudah menjadi fenomena umum, sampai-sampai muncul stereotip kalau IPK mahasiswa saintek pasti lebih rendah dari mahasiswa sosial-humaniora. Penyebabnya antara lain dosen killer dan standar nilai yang lebih tinggi karena tugasnya lebih kuantitatif.
Siapa Biang Keroknya?
Pada tahun 2019, hampir separuh lulusan UGM menyabet gelar cum laude. Pada tahun 2023, rata-rata IPK lulusan UGM naik 0,23 poin. Tren kenaikan IPK yang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir bukan fenomena yang terisolasi dalam satu kampus. Ia adalah fenomena nasional yang perlu kita cermati.
[grafis rata-rata nilai IPK nasional tahun 2022 naik 0,24 poin dari tahun 2021].
Ada beberapa hal yang menyebabkan hal ini bisa terjadi. Pertama, liberalisasi pendidikan. Hal ini bermula tatkala beberapa perguruan tinggi berubah menjadi badan hukum. Perubahan ini memberikan kebebasan bagi universitas untuk mencari sumber dana baru, termasuk penanaman modal asing.
Kebijakan tersebut diikuti dengan perubahan bea kuliah dari sistem bayar per Satuan Kredit Semester (SKS) ke Uang Kuliah Tunggal (UKT) di tahun 2013. Adanya UKT menghapuskan uang pangkal untuk semua mahasiswa S1 jalur reguler dan diharapkan bisa meratakan tarif kuliah yang mahal.
Seiring dengan berjalannya waktu, harga UKT yang dipatok oleh universitas semakin banyak dan rentangnya semakin panjang. Sebagai contoh, pada tahun 2013 tingkatan UKT di UGM hanya 5 tingkat. Tahun 2014 naik menjadi 6 tingkat. Tahun 2022 beranak menjadi 8 tingkat, sebelum akhirnya UGM mengubah sistem UKT di tahun 2023.
Perubahan-perubahan ini yang menyebabkan kampus menjadi institusi pemberi jasa pendidikan dan mahasiswa sebagai pembeli jasa. Contoh riilnya adalah dosen mendapat tekanan untuk memberikan nilai yang lebih tinggi. Mahasiswa juga jadi lebih kreatif mencari nilai A lewat “belanja mata kuliah”, alias mencari dosen yang murah nilai, atau tugasnya tidak sulit, seperti mata kuliah wajib universitas dan fakultas.
Geger Riyanto, Dosen Antropologi Sosial Universitas Indonesia menyatakan ia agak kesulitan memberikan nilai rendah ke mahasiswa.
“Beberapa perguruan tinggi sekarang menetapkan bahwa nilai minimum untuk lulus ujian akhir adalah B-, sehingga dosen merasa punya kewajiban meluluskan mahasiswa,” tuturnya. “Nilai juga berpengaruh ke peringkat program studi, standar nilainya pun jadi terkerek.”
Di satu sisi, perubahan ini menyebabkan kampus lebih cepat menegur dosen-dosen bermasalah. Tapi di sisi lain, kampus dianggap sebagai institusi yang membantu mahasiswa mendapatkan pekerjaan, alih-alih institusi pendidikan. Sehingga ketika dosen memberikan nilai rendah, mahasiswa atau bahkan orangtua mereka, bisa mempertanyakan hal ini ke kampus.
Kedua, kaitannya dengan kesehatan mental mahasiswa yang dianggap lebih rentan. Banyak tenaga pengajar mengeluhkan mahasiswa sekarang mudah stres karena mendapat nilai di bawah ekspektasi—bahkan sekedar dapat B- pun bisa membuat mereka jatuh ke lubang depresi. Kerentanan emosional ini yang dituding membuat dosen terpaksa memberikan nilai bagus.
Ketiga, dan ini yang paling disayangkan, adalah fungsi universitas sekarang bukan lagi mencetak pemikir yang terampil, tapi pabrik buruh kerah putih. Industrialisasi yang mandek mengurangi daya lajur pendidikan vokasional untuk mendapat sumber penghidupan layak.
Terbukti, per Agustus 2022 memang hanya 7,9% lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Angka ini jauh di bawah pengangguran lulusan SMA sebanyak 29,4%, dan SMK sebanyak 19,7%. Selaras dengan persepsi masyarakat akan prospek pekerjaan sarjana yang lebih baik.
[Infografis. Status Penduduk Usia >15 Tahun Menurut Sakernas 2023]
Namun peningkatan jumlah sarjana turut memberi sumbangsih terhadap jenuhnya pangsa tenaga kerja yang bisa mewadahi mereka. Sarjana, banyak yang berakhir bekerja di karier yang sebetulnya tidak butuh pendidikan tinggi (underemployment).
Ini belum ditambah dengan fakta bahwa biaya kuliah yang terus merangkak setiap tahun. Biaya mahal tersebut harus bisa dijustifikasi dengan kemungkinan seseorang bisa mendapatkan pekerjaan sesuai dengan biaya kuliah yang digelontorkan. Makanya banyak orangtua yang mendorong anaknya untuk mengambil jurusan yang menjanjikan, seperti Keguruan, Teknik, Kesehatan, dan Hukum agar “cepat balik modal”.
Kampus Melawan
Praktik inflasi nilai paling terlihat di masa ketika kondisi ekonomi sedang lesu. Tapi kampus terus meningkatkan nilai walaupun pasar kerja kembali normal karena ada prestise kampus yang harus dijaga.
Meski tak semua kampus tunduk pada rezim inflasi nilai. Pada tahun 2004, Princeton—salah satu bagian dari Ivy League—meningkatkan standar nilai mereka. Tujuannya satu, mengembalikan marwah universitas sebagai tempat belajar dan berpikir kritis. Langkah yang dilakukan oleh Princeton mengejutkan banyak pihak—pasalnya, kampus Ivy League terkenal suka mengerek nilai mahasiswanya.
Kebijakan ini dimulai dengan perlahan-lahan menurunkan distribusi jumlah nilai A dan A- ke angka 35%. Lima tahun setelah kebijakan tersebut diadakan, jumlah mahasiswa yang mendapatkan nilai A turun ke angka 40,6% untuk Jurusan Teknik dan 42,5% untuk Jurusan Humaniora. Ini cukup signifikan mengingat distribusi nilai A di seluruh jurusan ada di angka 46% di tahun 2003-2004.
Tentu, kebijakan ini diprotes oleh para mahasiswanya karena dianggap merusak prospek mereka untuk bekerja di perusahaan top atau masuk ke jurusan-jurusan ultra kompetitif untuk studi lanjut mereka.
Princeton berharap kampus-kampus lain, terutama kampus Ivy League, bisa mengikuti langkah mereka. Tapi sampai kebijakan ini diberhentikan di tahun 2014, tidak ada satupun universitas yang mengikuti jejak Princeton. Inflasi nilai terus berjaya hingga sekarang; ironisnya, termasuk Princeton.
Perusahaan Tidak Buta
Universitas bisa menyulap nilai lulusan mereka sedemikian rupa, tapi perusahaan tidak buta. Mereka menyadari IPK dan lulusan cum laude semakin naik. Kriteria seleksi perlu diperketat: perusahaan tak lagi meminta lulusan dari perguruan tinggi dengan reputasi baik, tapi juga IPK di atas 3,50. Namun ada juga yang menanggalkan IPK sebagai kriteria dan menggantikannya dengan aspek lain, seperti pengalaman magang.
Dataset Perusahaan Liputan Cumlaude - Google Sheets → bikin graph judulnya “IPK Tinggi Menjadi Syarat Untuk Melamar”
Dikutip dari laporan Deduktif, Human Resources Development (HRD) PT CMM Global International Yusi Halizah Balqis menyatakan banjir lulusan cum laude di perguruan tinggi mempengaruhi perekrutan perusahaan. Misalnya, pada tahun 2023, PT CMM Global International menerima banyak pelamar dengan IPK di atas 3,2.
Ia juga mengobservasi adanya perubahan dalam curriculum vitae (CV) pelamar kerja setelah 2022. Banyak pelamar mencantumkan IPK di CV mereka. Yang melakukan ini tak hanya pelamar dengan IPK tinggi, IPK rendah pun juga melakukan hal yang sama.
Yusi menekankan, kiwari IPK dan nama baik kampus tidak menentukan karakter atau kualitas calon pekerja. Oleh karena itu, perusahaan melakukan berbagai macam tes—skolastik, Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ)—lalu wawancara bertahap yang dimulai dari HR hingga user. Belum lagi masa probasi yang kadang bisa mencapai 6 bulan.
Kriteria pelamar kerja yang diminta perusahaan sekarang:
-IPK (bisa nego, tapi kalau bisa di atas 3,5)
-Jurusan dan universitas
-Tempat kerja sebelumnya
-Domisili
-Usia
-Penampilan (penting terutama untuk divisi marketing)
-Attitude alias mampu bekerja di bawah tekanan dan gaji seadanya
…Dan Efeknya ke Mahasiswa
Dihadapkan oleh kenyataan ini, mahasiswa harus melakukan berbagai macam cara untuk membuat CV mereka terlihat unggul. IPK tinggi saja tidak lagi cukup; mereka harus mengkerek nilai CV dengan mengikuti magang (yang kerap kali eksploitatif dan tak berbayar), Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA), kursus untuk meningkatkan kemampuan profesional, dan lain-lain.
Menjalani segala macam tuntutan tersebut dalam waktu yang sempit, ditambah dengan asupan nutrisi buruk, dan minimnya aktivitas fisik jadi membikin efek buruk bagi kesehatan. Tak hanya fisik, tapi juga mental.
[gambar Ouroboros: belajar -> nugas -> magang -> kegiatan kampus -> makan dan tidur gak jelas -> gagal IISMA -> IPK turun -> stres]
Apakah ini artinya mahasiswa tidak perlu peduli IPK lagi? Tidak juga. Di satu sisi, IPK tinggi memang tidak seberharga dulu. Tapi di sisi lain, IPK menunjukkan disiplin dan tekad seseorang dalam menjalankan kuliahnya.
Tapi ya, tidak apa-apa sih kalau kamu tidak peduli IPK, asal bapakmu presiden. Atau lulus kuliah langsung mewarisi perusahaan MNC, ongkang-ongkang kaki tanda tangan dokumen seperti di sinetron.
Editor: Aditya Widya Putri