Hal yang Tak Dibicarakan Snob Musik Rock ketika Membicarakan Musik Rock

Hal yang Tak Dibicarakan Snob Musik Rock ketika Membicarakan Musik Rock

 

Selalu ada yang luput dalam sejarah. Entah dilupakan atau memang sengaja dihilangkan. Dalam sejarah musik Amerika Serikat, misalnya, penemuan-penemuan hebat seakan hanya dilakukan oleh musisi kulit putih.

 

Mungkin kamu pernah melihat cuitan pengguna twitter yang mengeluh betapa dangkal musik hari ini, isinya cuma orang jogat-joget. Atau seorang yang berkata, “Ah, nggak asik lu, Bro.” ketika membahas musik di luar musik. Dalam dunia musik, kaitan sejarah dan politik seakan terputus begitu saja setelah seseorang menegur kamu, “Santai, Bro. Musik tuh universal, nggak kenal suku, ras, agama. Nggak usahlah urusin politik!”

 

Tetapi, esai video Adam Neely berjudul Music Theory and White Supremacy menjawab dengan cermat bahwa musik yang kamu kenal tidak sesantai yang kamu pikir, sekalipun kamu mengklaim apolitis dan sekarang mungkin sedang duduk woles mendengarkan beats to relax/study to sambil membaca artikel ini. Musik tidak pernah lepas dari urusan politik dan sosial di mana mereka tumbuh, dan sejarah selalu milik mereka yang sanggup mendominasi.

 

Musik tidak pernah universal. Ia terdengar seolah universal, seolah semua orang berbicara ‘bahasa’ yang sama, karena musik hari ini didominasi oleh gaya harmonik musisi Eropa abad ke-18. Gaya musik musisi kulit putih.

 

Masalah rasisme dalam dunia musik mudah dilihat di Amerika Serikat, negara yang sering mengklaim bahwa tanah mereka menawarkan kebebasan dan peluang baru, di mana seseorang bisa mendapat apa pun yang mereka mau, tidak peduli latar belakang mereka.

 

Siapa yang tak mengenal nama-nama besar seperti Janis Joplin hingga Elvis Presley. Mereka dipuja-puja, dicap jenius oleh kritikus musik, dan terdokumentasikan dengan baik. Namun, tak banyak yang mengenang siapa Big Mama Thornton. 

 

Big Mama Thornton adalah pencipta lagu blues Ball n’ Chain, yang di kemudian hari dibawakan ulang oleh Janis Joplin pada tahun 1967. Utang budi Janis Joplin karena menyanyikan lagu-lagu ciptaan musisi kulit hitam tak sebatas Big Mama Thornton seorang. Richard M. Jones, dan Lorrain Ellison turut menciptakan dua hits yang dinyanyikan Janis Joplin yakni Trouble in Mind dan Try (Just a Little Bit Harder).

 

Dalam beberapa kesempatan–sebagai bentuk penghormatan, Janis Joplin memang kerap mengundang Big Mama Thornton menjadi penampil pembuka di beberapa konser. Hanya saja, kesadaran Janis Joplin tersebut tak cukup menjadikan musisi kulit hitam menjadi tuan atas karyanya.

 

Sebelum menciptakan Ball n’ Chain, Big Mama Thornton menciptakan Hound Dog pada tahun 1952 yang dinyanyikan ulang olehi oleh Elvis Presley empat tahun setelahnya. Berkat lagu ini, Elvis menduduki puncak tangga lagu R&B dan pop selama tujuh minggu.

 

Kesuksesan yang diraih Elvis berkat lagu tersebut berbanding terbalik dengan yang didapat Big Mama Thornton. Alih-alih bergelimang uang, Big Mama Thornton tak sepeserpun mendapat royalti atas lagu tersebut.

 

Belum lagi, kredit penulisan lagu tersebut tidak pernah mencantumkan namanya sebagai pencipta karya. Big Mama Thornton tak menerima kompensasi apa pun dari lagu tersebut, baik secara materi maupun moril. Di sisi lain, kita tahu bagaimana nasib Elvis di majalah-majalah musik.

 

“Big Mama Thornton tidak punya pengacara. Dia tidak memiliki jaringan yang bisa mengatakan kepada label rekaman: ‘anda harus menarik lagu Elvis, atau kami nggak akan memberikan sisa katalog kami kepada anda,” ujar Eric Alper, pakar musik Amerika Serikat.

Anda tak usah kaget dengan kisah pilu yang dialami Big Mama Thornton tersebut. Sama seperti praktik di berbagai bidang seperti sosial atau politik, menemukan kejahatan diskriminatif dalam industri musik Amerika Serikat semudah mengorek tahi hidung sendiri.

Praktik rasisme dalam industri musik ini turut dirasakan oleh trombonis jazz, komposer dan pendidik Ron Westray. Sepanjang kariernya sebagai musisi, ia mengaku acap menjalani kenyataan pahit karena terlahir sebagai orang yang berkulit gelap. 

“Beginilah industri musik. Bukan karena kami berkulit hitam, tetapi karena sistemnya berwarna putih,” terang Ron Westray.

Menambahkan pernyataan Ron Westray, musisi asal Toronto Julian Taylor menyebut musisi kulit hitam seakan tak pernah dibicarakan kehadiran dan sumbangsihnya, seperti di musik rock misalnya. 

“Saat mendengarkan radio rock di mana pun saya berada, musisi kulit hitam yang sering saya dengar cuma Jimi Hendrix atau Lenny Kravitz,” kata Julian Taylor.

Kehadiran Jimi Hendrix atau Lenny Kravitz sedikit menyelamatkan musik rock dari dominasi orang kulit putih. Sedangkan di genre lain, nama Bob Marley sebagai pelopor musik reggae juga kerap menjadi perbincangan. Namun yang bikin Julian Taylor miris, Bob Marley hanya dilihat dalam konteks begitu lekatnya ia dengan ganja, alih-alih karya atau sumbangannya terhadap dunia musik. Kenyataan ini membuat Julian Taylor heran bukan main.

“Sangat aneh menerima stereotip seperti itu,” ungkap Julian Taylor.

Padahal, selain kebiasaannya mengonsumsi ganja, banyak hal yang bisa dibicarakan dari Bob Marley. Salah satunya, mungkin kita bisa bertanya-tanya kenapa Eric Clapton bisa-bisanya dapat Grammy Hall of Fame pada tahun 2003 buat lagu I Shot the Sheriff?

 

Suluh Musik Rock

Kalau mau jujur-jujuran, musisi kulit hitam membawa pengaruh besar terhadap perkembangan musik rock di dunia. Tanpa musisi seperti Little Richard dan Chuck Berry, rock 'n' roll bukan apa-apa.

Majalah Rolling Stone menyebut Little Richard– “bapak pendiri rock 'n' roll”. Dengan teriakan nyaring, berpakaian flamboyan, dan persona yang riang gembira, Little Richard melahirkan semangat dan bentuk seni baru.

Sedangkan Chuck Berry adalah “Shakespeare rock 'n' roll, sebagaimana yang diproklamirkan Bob Dylan. Berkat dua orang inilah di kemudian hari muncul anak-anak muda yang manancapkan bendera rock 'n roll seperti Elvis Presley dan Rolling Stones. 

Tapi sayangnya, sejarah hanya menaruh nama Little Richard dan Chuck Berry di level tertentu saja, cuma disebut satu atau dua kali sebagai bentuk ‘penghormatan’ dan cuma sebatas itu. Belum lagi, sepanjang perjalanan karier, mereka harus diuji dengan tuduhan orang yang berbahaya atau orang yang tidak menyenangkan, seperti yang dialami mayoritas kulit hitam.

Beda cerita jika seorang pria kulit putih seperti Elvis Presley datang. Elvis Presley yang terang-terangan cuma copy-paste musik, persona, dan goyangan Little Richard dianggap bak dewa: Si Paling Jenius, Si Paling Pembuka Jalan, Si Paling Rock ‘n Roll. Dan kita tahu siapa yang jadi ikon rock kemudian.

Aksi saling support antar orang kulit putih ini pula yang mengantar kelahiran Rolling Stones hingga musik rock bermutasi menjadi genre musik yang didominasi musisi kulit putih.

 

Musisi Kulit Hitam = Setan Pecandu Narkoba

Selain terlupakan, menjadi musisi berkulit hitam di Amerika membawa pada petaka lain. Seperti cerita di bawah ini.

Pada 1930-an, Komisaris Biro Narkotika Federal (FBN) kala itu, Harry Anslinger tengah gencar mengampanyekan perang merawan narkoba. Tapi sayang, niat memberantas narkoba malah dibikin ruwet oleh pernyataan Harry Anslinger yang keblinger. 

Harry Anslinger bikin opini jelek yaitu menyebut tingginya angka pengguna narkoba lantaran orang kulit hitam yang sering memainkan musik jazz dan swing, musik ini juga dinilai memberi pengaruh buruk bagi perempuan kulit putih di negara tersebut.

“Musik setan jazz, dan swing mereka lahir karena penggunaan ganja. Ganja membuat wanita kulit putih ingin melakukan hubungan seksual dengan orang Negro,” ujar Harry Anslinger.

Pernyatan rasis Harry Anslinger itu membawa petaka buat musisi kulit hitam. Seperti yang dialami oleh musisi jazz Billie Holiday.

Semasa hidup, Billie Holiday merupakan penyanyi jazz yang dijuluki 'Lady Day'. Berkat kepiawaiannya di dunia tarik suara, ia memberikan pengaruh besar terhadap musik perkembangan jazz, blues, dan pop setelahnya.

Salah satu lagunya, Strange Fruit, yang direkam pada tahun 1937 di label independen Commodore Records bikin panas kuping orang-orang rasis, termasuk  Harry Anslinger. Lagu ini bercerita tentang seorang kulit hitam yang mendapatkan hukuman mati tanpa adanya proses pengadilan. Liriknya merupakan puisi karya penyair, advokat James Baldwin untuk kasus rasisme, dan anggota Partai Komunis Amerika Serikat (CPUSA) Abel Meeropol.

Setelah lagu tersebut dirilis, Billie Holiday enggan menyanyikan lagu tersebut di muka umum. Menurut Billie Holiday, tiap menyanyikan lagu tersebut, ia selalu terkenang ayahnya yang meninggal dalam usia tiga puluh sembilan yang sempat ditolak mendapatkan perawatan medis di rumah sakit “khusus orang putih” di Texas.

Baru di tahun 1939, ia untuk pertama kali menyanyikan lagu tersebut dalam sebuah konser di Manhattan. Aksi Billie Holiday yang membawakan lagu tersebut berbuntung panjang. Ia mendapat peringatan keras dari Federal Bureau of Narcotics yang melarang Billie Holiday membawakan lagu itu kembali. 

Tapi Billie Holiday bukan seorang pengecut. Ia menolak tunduk atas larang tersebut. Sikap ngeyel Billie Holiday bikin Harry Anslinger naik pitam. Harry Anslinger kemudian mencari akal untuk menjatuhkan karier Billie Holiday.

Suatu waktu, ia mendapat informasi jika Billie Holiday mengonsumsi kokain. Ia lantas menugaskan salah satu anak buahnya untuk menyamar sebagai penjual narkoba. Nahas, Billie Holiday tertangkap dan dijatuhi hukuman satu tahun enam bulan. 

Setelah keluar dari penjara, langkah Billie Holiday kembali bermusik makin dipersulit.Ruang geraknya dibatasi. Dalam keadaan frustasi, ia kembali mengonsumsi kokain. Seiring berjalannya waktu, ia jatuh sakit. ‘Lady Day’ ini tutup usia pada tahun 1959 dalam usia 44 tahun.

Kisah Billie Holiday memberikan gambaran bagaimana rasime yang mengakar sanggup membungkam hingga membunuh musisi berkulit hitam. Hanya karena perbedaan warna kulit, apakah sahih jika salah satu pihak merasa dirinya lebih dibanding yang lain? Rasisme dari level rendah hingga level tertinggi tetaplah rasisme. Ceritanya berserakan di sepanjang zaman.