Hampir Seperempat Abad Reformasi, Ruang Politik Masih ‘Abang-abangan’

Di atas kertas, demokrasi adalah ruang yang setara bagi semua orang, termasuk dalam kategori gender. Sejak reformasi 1998 yang mengawali alam demokrasi baru, keterwakilan politik dengan pertimbangan gender berusaha diwujudkan. Salah satunya lewat aturan pemilu yang mengafirmasi keterwakilan perempuan sebesar 30%. 

 

Namun, dari pemilu ke pemilu hingga hampir seperempat abad kemudian, masih cukup sulit untuk mencapai angka afirmasi tersebut. Ruang politik di Indonesia pun bisa dikatakan masih sangat maskulin dengan dominasi laki-laki. Masih ‘abang-abangan’. 

 

Pada pemilu legislatif 2019 lalu misalnya, persentase keterwakilan perempuan di DPR RI baru sebesar 20,5%. Angka ini hanya meningkat 3,18% dari hasil pemilu sebelumnya. Dibandingkan pemilu 1987 atau pada masa Orde Baru, pun hanya meningkat kurang dari 7%. 

 

 

(Sumber: KPU, Mahkamah Konstitusi, diolah)

 

Sementara, sejak pemilihan langsung dilakukan untuk tingkat eksekutif pada 2004 lalu, belum ada satupun perempuan yang terpilih sebagai presiden. Memang Indonesia punya satu presiden perempuan, Megawati Sukarnoputri, tapi itu sebelum era pemilihan langsung. Megawati pun terpilih menjadi presiden karena menggantikan Abdurrahman Wahid yang dilengserkan DPR lewat Sidang Istimewa pada 2001 lalu. 

 

Megawati sempat mencalonkan diri lagi sebagai presiden pada pemilu 2004 dan 2009. Namun, dalam dua palagan tersebut ia kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sejak kekalahan terakhir Megawati, belum pernah ada satupun kandidat calon presiden atau wakil presiden perempuan yang maju. 

 

Di tingkat eksekutif daerah memang lebih baik. Banyak kepala daerah perempuan yang terpilih, salah satunya Khofifah Indar Parawansa yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur. Kendati begitu, dalam empat pilkada serentak terakhir (2015, 2017, 2018, 2020) tingkat keterpilihan kandidat perempuan masih jauh dari 30%. 

 

 

 

(Sumber: Cakra Wikara Indonesia)

 

Pertanyaannya, kenapa itu bisa terjadi? Setidaknya ada dua hal utama secara sistem yang menyebabkan hal itu, yakni sebagai berikut: 

 

Perempuan Tak Punya Peran Sentral di Parpol

 

Partai politik (parpol) adalah aktor sentral dalam politik dan pemilu di Indonesia. Salah satu perannya adalah menentukan kandidat yang bakal bertarung di pemilu. Baik di tingkat legislatif, maupun di tingkat eksekutif. 

 

Namun, kenyataannya perempuan tak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan pencalonan di tingkat parpol. Hal ini karena tak banyak perempuan yang memiliki jabatan strategis dan sentral di parpol. Terbukti dari sembilan parpol yang ada di parlemen saat ini, hanya PDIP yang dipimpin perempuan.

 

Memang banyak parpol yang memiliki organisasi sayap perempuan. Namun, berdasarkan hasil riset Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol-UI), dari 10 partai besar di negeri ini hanya Golkar yang memberi peran formal kepada organisasi sayap perempuannya. Sebagaimana bisa dilihat dalam tabel berikut: 

 

 

 

Dalam pemilu legislatif, misalnya, dampaknya kandidat perempuan lebih sedikit mendapatkan nomor urut strategis dibanding laki-laki. Berdasarkan data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), hanya 7,3% caleg perempuan yang menempati nomor urut 1. Caleg perempuan paling banyak menempati nomor urut 3 (24,4%) dan 6 (17,9%). 

 

Padahal, riset Puskapol-UI pada pemilu legislatif 2014 mendapati mayoritas caleg terpilih berada di nomor urut 1 (62,2%) dan 2 (16,9%). 

 

Dana Kampanye Timpang

 

Uang memang bukan penentu tunggal kemenangan seorang kandidat dalam pemilu. Namun, bagi perempuan ternyata akses terhadap sumber pendanaan kampanye masih menjadi kendala utama mereka untuk memenangi pemilu. Hal ini sebagaimana hasil survei UN Women pada 2013 lalu. Setidaknya 80% responden survei itu yang menyatakan demikian. 

 

Di Indonesia, kecenderungan tersebut pun terlihat. Misalnya, terlihat dari caleg DPR-RI PDIP di Dapil II DKI Jakarta. Berdasarkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) untuk pemilu 2019, total sumbangan dana kampanye caleg laki-laki PDIP di Dapil tersebut sebesar Rp 6.084.690.505. Sebaliknya, total dana kampanye caleg perempuan sebesar Rp 340.697.600. 

 

Dua caleg yang terbanyak menyumbang dana kampanye adalah Eriko Sotarduga dan Masinton Pasaribu. Masing-masing menyumbang Rp 3.046.794.000 dan Rp 2.414.131.500. Keduanya laki-laki. 

 

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), PDIP berhasil mendapat dua kursi DPR-RI dari Dapil DKI Jakarta II pada pemilu 2019. Kedua kursi itu pun ditempati Eriko dan Masinton sebagai peraih suara terbanyak dengan masing-masing 104.468 dan 82.891 suara. 

 

Orang boleh saja tak suka pemilu dan politik. Namun, pada kenyataannya seluruh hajat hidup warga negara diatur secara politik. Termasuk urusan perempuan. Minimnya keterwakilan perempuan di ruang politik, tentu bakal berimbas pada aturan-aturan yang menyangkut perempuan. 

 

Kita pun telah melihat dampaknya pada proses penyusunan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Aturan sepenting ini mesti terlebih dulu hampir satu dekade terkatung-katung di DPR sebelum akhirnya disahkan awal tahun ini.

 

Tentu saja sebagai warga negara kita berharap hal serupa tak terjadi lagi di masa mendatang. Tapi, tampaknya harapan tersebut tak bisa terjadi dalam waktu dekat. Sebab, aturan pemilu yang berlaku untuk 2024 masih sama. Meskipun sudah mengatur afirmasi politik bagi perempuan, aturan itu belum secara tegas mencakup penyelesaian dua masalah di atas.