Hari-hari ̶K̶a̶s̶i̶h̶ ̶S̶a̶y̶a̶n̶g̶ Cemoohan dari Generasi Boomers Untuk Anak Mereka

Hari-hari Kasih Sayang Cemoohan dari Generasi Boomers Untuk Anak Mereka

Dua minggu sebelum hari Valentine—yang kalah oleh hingar bingar pemilu—saya bertemu dengan seorang perempuan berusia 23 tahun bernama Nala (bukan nama sebenarnya). Ia berujar, “Valentine atau kasih sayang selalu lekat dengan cinta kasih dari pasangan. Tapi orang lupa kalau orang tua dengan anak juga punya cinta kasih.”

Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.“Sayangnya, gue baru sadar selama 20 tahun ini, orang tua gue abusif dan manipulatif. Tapi mereka selalu bilang karena mereka sayang gue.” Wajahnya berubah menjadi gusar. Saya pun bertanya apakah ia berkenan menceritakan soal cinta kasih dan orangtuanya lebih lanjut. Ia mengangguk setuju. Berikut ini garis besar curahan hati seorang Nala: 


Cerita:
    Nala lahir sebagai anak tengah dari sebuah keluarga kedokteran. Ayahnya seorang dosen, dokter spesialis jantung, dan sederet jabatan lainnya. Begitu pula dengan ibunya. Kakaknya, Widy, bekerja sebagai dokter spesialis. Sedangkan adiknya yang bernama Ruhi mengambil jurusan Sastra Inggris. Nala sendiri sekarang bekerja sebagai sosial media specialist di sebuah perusahaan. Banyak orang mengatakan ia anak yang cerdas, rajin, dan gigih. Ia tak pernah berhenti belajar dan selalu berupaya membanggakan kedua orang tuanya. Namun apakah mereka bangga? Nala pun akan membawa kita semua mengulas sebuah trauma masa kecil—yang mungkin dirasakan juga oleh banyak orang.
Sebagai dokter, ayahnya mampu memfasilitasi pendidikan anak-anaknya secara habis-habisan. Maka dari itu, ia punya ekspektasi tinggi untuk anak-anaknya unggul secara akademis. Walau begitu, sejak kecil Nala sangat dekat dengan ayahnya. Di matanya, ayahnya adalah juara nomor satu; sosok terbaik dari yang terbaik yang ia kagumi. Sayang, hubungannya dengan ibunya justru berbanding terbalik. Ia cenderung menjauhi Ibunya yang tukang pukul, temperamental, dan selalu mencaci maki anak-anaknya meski mereka tak berbuat salah sedikit pun.
    Kasih sayangnya yang mendalam untuk sang ayah membuat Nala selalu menuruti apapun yang ayahnya perintahkan. Misalnya, saat libur sekolah ia tetap belajar supaya bisa mempertahankan rankingnya. Kalau tak ranking satu, ayahnya akan marah kepada anak-anaknya dan enggan mengambil rapor mereka. Sekadar peringkat dua saja sudah jadi rapor merah bagi ayahnya. 
Untungnya, Widy sebagai kakak tertua, mampu menjadi panutan yang apik bagi adik-adiknya. Jejak karirnya yang gemilang sering dijadikan contoh teladan oleh ayahnya. Sementara Nala dan Widy yang mengambil jurusan kuliah sastra tentu jadi sasaran emosi bagi ayahnya setiap hari. “Kamu mau jadi apa?”, “paling juga jadi badut”, “kamu tuh kerja apa sih?” dan sekian ribu pernyataan serta pertanyaan yang memadamkan semangat Nala dan adiknya. 
    Nala berhenti menuruti kemauan ayahnya di bangku akhir SMA. Ia membangkang dengan menolak mengabdi pada kedokteran dan memilih bertualang di dunia sastra. Mulai detik itu, hubungan antara Nala dan ayahnya berubah. Nala mulai menyadari betapa belasan tahun ini hidupnya berada dalam diktatorisme ayahnya yang disebut “kasih sayang”. 
Pada 2019, Ia mulai menyadari ada yang salah dengan kesehatan mentalnya dan itu berakar dari trauma masa kecilnya. Nala mulai menjalani sesi konseling dengan psikolog. Apakah berubah? Tidak. Ia tetap saja terjebak dalam kerangkeng kasih sayang ayahnya. 
    Belum kelar dengan masalah jiwanya, bom atom jatuh ke dalam hidupnya pada tahun 2022. Ia lulus kuliah dan dihadapi dengan dilema baru: mencari pekerjaan yang bisa membanggakan orangtuanya. Ia mencoba berkarir layaknya pekerja kantoran yang terlihat ‘kerja’ di mata orang-orang konservatif—termasuk ayahnya. Namun ia benci pekerjaan itu. Ia angkat kaki dari korporasi pada 2023 awal. Lalu ia memilih kembali ke bidang yang ia sukai: media sosial. Ia sekarang bekerja sebagai social media specialist. Tapi sampai di sini, semua bisa ditebak, seorang dokter kondang yang ia sebut ayah itu jelas tak paham apa itu “social media specialist?” pekerjaan macam apa itu?
    Syukur, pada awal 2023, ia dipertemukan oleh seorang psikolog yang ternyata mampu membedah sakit demi sakitnya semasa kecil. Awalnya ia enggan, namun ia pun sadar bahwa tak ada gunanya kalau terus berlari. Sampai kapan ia mau bermusuhan dengan Nala kecil, Nala remaja hingga Nala sekarang? Ia memilih menghadapinya. Persetan soal ayahnya, apalagi Ibunya. Mereka hanya akan menyebut Nala itu gila, dan benar saja, Nala tidak menampik tuduhan orang tuanya pada dirinya. Ia pun menjaga jarak dari orang tuanya dan lantas meyakinkan dirinya sendiri, “aku akan pulih dan melanjutkan hidupku dengan lebih baik.”
    Saya menahan tangis selama mendengar cerita Nala. Sayang, kasus Nala hanya satu dari sekian juta kasus rusaknya mental generasi muda karena tuntutan orang tua. Di tahun 2019, World Health Organization menyatakan terdapat separuh dari 800 ribu orang yang melakukan upaya bunuh diri adalah anak muda. Indonesia menempati tingkat bunuh diri 2.4 persen.
    Tingginya angka gangguan kesehatan mental di anak-anak muda memang membuat mereka kerap dicap sebagai generasi lembek. Namun kondisi ini juga tidak bisa dilepaskan dari tekanan yang diberikan oleh generasi sebelumnya alias orangtua mereka. Psikolog Peter Gray, profesor psikologi riset di Boston College mengatakan, tren bunuh diri di kalangan muda mungkin tidak selalu soal media sosial, melainkan karena rasa stres akibat tuntutan yang kurang realistis untuk berprestasi di sekolah.
    Tekanan bertambah ketika anak muda mulai menggeluti beragam profesi di dunia digital—profesi yang tidak dipahami oleh generasi tua. Misalnya, saat ini 57% generasi muda yang lahir antara 1997-2012 cenderung memilih berkarir sebagai influencer atau content creator. Sementara tak semua yang ingin atau sedang menggeluti bidang ini didukung oleh orang tua. 
Di Indonesia misalnya, orang tua cenderung ingin anaknya punya pekerjaan yang pasti-pasti saja seperti dokter—pekerjaan yang paling diidamkan orangtua setelah PNS— atau pegawai bank agar mapan secara ekonomi. Pekerjaan-pekerjaan tadi cenderung dianggap bukan pekerjaan, melainkan hiburan. Pandangan itu merambat hingga anggapan kalau kegiatan berprofesi di media sosial semacam itu tak ada gengsinya sama sekali. Toh, tinggal modal HP dan nampang di depan kamera saja. Berbeda dengan pekerjaan sebagai dokter yang jelas-jelas harus lulus dari fakultas kedokteran dulu. 
Sampai di sini, saya ditarik kembali pada cerita Nala. Semakin banyak orang tua terobsesi menjadikan anaknya mengikuti profesi yang mereka kehendaki, akan semakin berjatuhan pula anak-anak muda Indonesia ke dalam lubang depresi, bukan?