Harley Davidson: Dipopulerkan Kelas Pekerja, Dibajak Orang Kaya

Harley Davidson: Dipopulerkan Kelas Pekerja, Dibajak Orang Kaya 


 

Iblis jalanan. Begitulah orang Amerika menyebut rombongan tur gipsi yang tiba di Hollister pada 4 Juli 1947. 5.000 pemotor melalui jalanan kota kecil itu dengan ugal-ugalan. Mereka menerobos lampu merah, berteriak dan memaki, membakar ban, membajak truk, dan mengerumuni tujuh anggota kepolisian yang berusaha menghentikan mereka.

 

Salah satu dari mereka adalah Eddie Davenport, seorang pria tambun anggota klub motor Tulare Rider. Majalah Life memotret aksinya bersandar di Harley Davidson miliknya  sambil memegang sebotol bir di antara sampah yang berserakan. Sebuah potret yang menggambarkan betapa kacaunya peristiwa yang dikenal juga sebagai Invasi Hollister itu. 

 

Randy D. Mcbee, profesor sejarah di Texas University, mencatat peristiwa Invasi Hollister dalam karyanya Born to Be Wild (2015). Ia menyebut Eddie dan dan kawan-kawan sebagai gambaran pemotor awal di Amerika, para pekerja kerah biru, tinggal di pinggiran kota, mengadopsi budaya gipsi, dan “memberontak aturan”. 

 

Hal terakhir itulah yang membuat mereka dijuluki outlaw. Terutama karena mereka sering bikin onar di jalanan. Pada 1960-an, ketika istilah bikers mulai muncul dan menggantikan motorcyclist, mereka terlibat perdagangan narkoba dan senjata.   

 

Mcbee mencatat mayoritas dari mereka mengendarai Harley Davidson (HD). Namun, era para outlaw menunggangi Harley berakhir pada 1980-an, ketika generasi Rich Urban Bikers  muncul lalu membajak HD sebagai simbol kekayaan serta patriotisme semu Amerika.

 

Dibajak Orang Kaya

 

Pembajakan itu telah dimulai pada 1966.

 

Kongres Amerika meloloskan Highway Safety Act of 1966 yang mengharuskan seluruh negara bagian membuat program keselamatan di jalan. Termasuk di dalamnya adalah aturan kewajiban menggunakan helm bagi pengendara motor. Keputusan ini diiringi dengan penganggaran dana sebesar 100 juta dolar per tahun untuk sosialisasi dan pembuatan program. 

 

Alasan Kongres, untuk mengurangi jumlah kematian di jalan akibat kecelakaan. Data Badan Statistik Amerika yang menjadi dasarnya, pada 1965 tercatat 49 ribu orang mati akibat kecelakaan, 89,2 persen di antaranya disebabkan insiden sepeda motor yang melibatkan luka kepala. 

 

Pada 1967, aturan kewajiban menggunakan helm langsung diadopsi sebagai standar minimum hukum federal nasional untuk berkendara di jalan. Sehingga, polisi bisa menindak para pelanggar. 

 

Aturan tersebut, seperti dicatat Mcbee, dianggap para outlaw sebagai diskriminasi kepada para pemotor. Mereka menilai landasan data dari Badan Statistik Amerika tak mencerminkan secara nyata fakta di jalanan. 

 

Menurut mereka, mobil yang justru jadi penyebab kematian di jalan. Sebuah anggapan yang segera dibantah pemerintah federal dengan menyatakan bahwa, “semua pengendara mobil sadar pentingnya sabuk pengaman, tapi pemotor semaunya.” 

 

Perlawanan akar rumput para outlaw tetap berlangsung secara nasional. Mereka menggaungkan slogan, “ATURAN HELM SIALAN!”. Slogan ini, menurut McBee, tanpa landasan ideologis. Sehingga, kemudian mereka mengubahnya menjadi lebih mewakili demokrasi ala Amerika dengan mengatakan, “BIARKAN YANG BERKENDARA MENENTUKAN.” 

 

Gerakan nasional tersebut cepat menyebar seiring pertumbuhan jumlah motor di Amerika. Pada akhir 1960, jumlahnya mencapai 575 ribu. Termasuk penggunanya adalah para wanita. Sehingga perlawanan terhadap aturan helm berkembang pula menjadi isu gender. 

 

Ronald Reagan, yang saat itu Gubernur California, menangkap kecenderungan massal ini. Ia pun angkat suara menolak penerapan aturan helm di wilayahnya. Langkah ini menjadi pintu masuk bagi kubu konservatif kanan Partai Republik untuk menunggangi protes para outlaw demi kepentingan elektoral. 

 

Pada 1970-an, ketika jenama luar Amerika seperti Honda mulai masuk, jumlah motor meningkat pesat. Tercatat jumlahnya mencapai 5 juta orang mengendarai motor. Termasuk para pekerja profesional yang membuat potensi pemilih Reagan dan partai Republik semakin banyak. 

 

Pada 1972 terbentuk organisasi All Brotherhood Against Totalitarian Enactment (ABATE) sebagai gerakan gabungan antara pekerja kerah biru dan kerah putih melawan aturan helm. Mereka aktif berdemonstrasi di ibu kota-ibu kota negara bagian. 

 

Meski demikian, kerja sama ini menurut McBee sebetulnya cukup longgar. Ia menggambarkan saat itu para pekerja kerah putih menolak aturan helm tapi sekaligus menyalahkan para outlaw sebagai penyebab kematian di jalan. 

 

Reagan akhirnya terpilih menjadi presiden pada 1981 setelah mengalahkan Jimmy Carter. Perdebatan soal aturan helm belum usai dan meningkat kepada isu ekonomi politik. Partai Republik memanfaatkan kondisi ekonomi yang buruk saat itu untuk mendulang dukungan dari para outlaw. 

 

Kebijakan Reagan saat itu, salah satunya adalah dengan menaikkan tarif bagi pabrikan motor Jepang pada 1983. Dengan begitu, ia bisa menyelamatkan Harley sebagai satu-satunya perusahaan motor asli Amerika yang tersisa. 

 

Dari sinilah kemudian Harley menjadi simbol patriotisme Amerika yang semakin menarik pekerja kerah putih untuk menggunakannya. Mereka ini disebut McBee sebagai “gentrified biker” alias orang-orang kaya baru yang naik motor. Mereka adalah Rich Urban Bikers (RUB).


 

RUB Terbit, Outlaw Terbenam

 

“... Beberapa motor mereka berwarna jambon, lilak, dan hijau. Jaket kulit hitam mereka tampak terlalu baru, beberapa pengendaranya sangat rapi,” tulis sebuah liputan The Wall Street Journal pada 1988 tentang rombongan 100 motor Harley yang parkir di tengah sebuah tur, sebagaimana dikutip McBee dalam bukunya. 

 

Laporan itu yang pertama kali menggunakan istilah RUB untuk orang-orang terlalu kaya untuk menjadi bikers. McBee memaknai ulang RUB sebagai “baby boomer dari generasi pemberontak 60-an dengan pekerjaan mapan ditambah pengaruh Marlon Brando.”   

 

Mereka mendirikan klub motor bernama Gotham City Riders, dengan motto: Anti Corporate Corporate Club. Dan mereka membagikan wine di setiap acara kumpul-kumpul. 

 

Manajemen perusahaan Harley lantas menangkap kehadiran RUB sebagai pasar baru untuk menyelamatkan mereka dari kebangkrutan. Penjualan Harley sempat hanya 4% dari total seluruh motor di Amerika akibat desakan jenama Jepang. Sementara, mereka sadar para outlaw tidak seloyal RUB kepada Harley. 

 

Mereka memperluas jenis model dan menambah kapasitas mesin sembari menjaga bentuk motornya tetap gagah, bermakna, dan sangat Amerika. Mereka juga memproduksi kaos, jaket, box, dan perlengkapan lain yang semakin menarik minat pekerja kerah putih. Harley pun getol mengampanyekan agar pekerja kerah putih menjadi “pahlawan akhir pekan.” 

 

Sehingga, muncul slogan di kalangan RUB: “TIDAK NAIK HARLEY, TIDAK KAYA.” 

 

Di saat yang sama, harga Harley semakin mahal dan tak terjangkau kaum pekerja kerah biru. Semakin sedikit dari mereka yang menggunakan Harley. Pada 1999, seperti dicatat McBee, 60 persen pemilik Harley adalah orang kuliahan. Naik dari 45 persen pada 1984. dan 1 dari 3 pemilik Harley adalah manajer profesional dengan rata-rata penghasilan 45 ribu dolar. 

 

Tak ada lagi Eddie Davenport yang urakan. Tur gipsi berujung kekacauan pun semakin jarang terjadi. Motor gede yang berjasa bagi Amerika dalam Perang Dunia II dan simbol bapak-bapak pinggiran Amerika ini tak lagi ditunggangi para outlaw. RUB terbit, outlaw tenggelam. 

 

Seiring waktu, sebagaimana dicatat dalam Consumption in Asia: Lifestyle in Identities (2002), pola konsumsi Amerika menyebar hingga ke Asia, termasuk kendaraan bermotor seperti Harley; menjadi identitas dan gaya hidup baru masyarakat benua kuning, tak terkecuali di Indonesia. 

 

Kita kemudian melihat orang-orang kaya macam Mario Dandy Satriyo, anak pejabat Dirjen Pajak yang hobi pamer Harley di medsos sebagai penanda kekayaan. Barangkali, yang tak dibayangkan McBee, para pemilik Harley di luar Amerika bisa juga melakukan kekerasan, menjadi outlaw, karena merasa punya uang dan mampu mengakali hukum.